MARINews, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) RI menunjukkan komitmen seriusnya untuk memastikan keadilan tidak hanya berhenti pada palu hakim.
Melalui Sarasehan Interaktif (Perisai) Episode ke-10, Pimpinan MA secara langsung memimpin diskusi tuntas mengenai isu paling krusial dalam sistem peradilan yakni Eksekusi Perdata.
Acara virtual Sarasehan Interaktif (Perisai), yang diumumkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) melalui surat resmi dengan nomor 2629/DJA/HM1.1/IX/2025, untuk mengundang satker peradilan agama seluruh Indonesia ini berlangsung sukses besar pada Senin, 6 Oktober 2025.
Forum strategis yang merupakan gabungan acara antara peradilan umum dan peradilan agama ini berhasil menarik partisipasi yang melampaui batas, dengan total 416 satuan kerja (satker) dari lingkungan Peradilan Umum dan 446 satker dari Peradilan Agama di seluruh Indonesia.
Keaktifan tinggi para peserta, yang ditunjukkan melalui sesi tanya jawab yang hidup via Zoom Meeting, secara nyata mencerminkan kebutuhan mendesak di lapangan akan panduan dan solusi konkret terkait isu Eksekusi Perdata.
Menghadirkan Komitmen dari Puncak Yudisial
Sesi Perisai kali ini menjadi istimewa dengan kehadiran narasumber utama, Suharto, S.H., M.Hum., Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Yudisial. Ia memaparkan tema yang sangat relevan, “Mengurai Kompleksitas Eksekusi Perdata: Problematika, Solusi dan Prospek Pembaruan Hukum.”
Dalam paparannya, Suharto menegaskan Eksekusi Perdata adalah babak akhir keadilan dan cerminan sesungguhnya dari wibawa hukum. Putusan yang bersifat condemnatoir (perintah untuk melakukan sesuatu) wajib dilaksanakan.
Namun, data statistik menunjukkan adanya kekhawatiran. Hal tersebut didasarkan pada data yang mana dari total 34.305 permohonan eksekusi yang masuk hingga September 2025, sebanyak 12.877 kasus (37.54%) telah berkekuatan hukum tetap (BHT) namun masih menunggu pelaksanaan eksekusi.
Tiga Simpul Masalah dan Strategi MA untuk Mengurainya
Suharto mengidentifikasi tiga simpul masalah utama yang menghambat efektivitas eksekusi. Pertama, Objek dan Prosedur yang Rumit. Objek eksekusi yang tidak jelas atau prosedur hukum acara perdata yang panjang dan birokratis sering dimanfaatkan pihak tereksekusi untuk menunda.
Kedua, Resistensi Lapangan. Adanya perlawanan dari pihak termohon atau pihak ketiga yang kerap memicu ketegangan dan membutuhkan penanganan keamanan yang kompleks. Ketiga, Kualitas SDM. Keberhasilan eksekusi sangat bergantung pada profesionalisme Ketua Pengadilan Negeri (KPN) dan Panitera.
Menanggapi berbagai tantangan kompleks yang menghambat efektivitas eksekusi perdata, Mahkamah Agung (MA) telah meluncurkan strategi pembaharuan yang ambisius dan terpadu.
Strategi ini bertumpu pada tiga pilar utama: digitalisasi revolusioner, penguatan regulasi, dan peningkatan integritas SDM.
Di bidang teknologi, MA kini mengoptimalkan aplikasi Perkusi (Pelaksanaan Eksekusi) dan Satu Jari. Inisiatif ini dirancang untuk meningkatkan transparansi, mempercepat proses kerja, dan memungkinkan pengawasan real-time terhadap potensi pelanggaran kode etik, menciptakan sistem yang lebih akuntabel.
Secara paralel, MA memperkuat fondasi hukum dengan menyusun Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (R-PERMA), yang akan menjadi pedoman pelaksanaan putusan yang lebih modern, melengkapi regulasi yang sudah ada (SEMA dan SK KMA).
Terakhir, untuk memastikan semua kebijakan berjalan optimal, MA fokus pada peningkatan integritas dan profesionalisme sumber daya manusia melalui Diklat dan Bimbingan Teknis, serta memperkuat peran Badan Pengawasan (Bawas) untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan menumbuhkan mentalitas profesional di kalangan hakim dan panitera.
Sorotan Khusus: Jaminan dan Perlindungan Hukum
Diskusi juga menyoroti kasus-kasus khusus yang dinamis, seperti eksekusi jaminan. Y.M. Suharto menjelaskan bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Nomor 2/PUU-XIX/2021 telah mengubah praktik Parate Eksekusi pada Jaminan Fidusia.
Keputusan MK tersebut, yang bertujuan menciptakan keseimbangan posisi hukum antara kreditur dan debitur, kini mewajibkan eksekusi melalui Pengadilan Negeri jika terjadi perselisihan atau penolakan penyerahan objek jaminan.
Perubahan ini menjamin bahwa hak-hak debitur terlindungi dan praktik penarikan aset tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
Selain itu, MA juga menegaskan bahwa pelaksanaan dan pembatalan putusan Arbitrase Syariah telah menjadi kewenangan penuh Peradilan Agama (sesuai PERMA Nomor 14 Tahun 2016).
Dengan strategi komprehensif ini, Mahkamah Agung berkomitmen memastikan proses eksekusi berjalan lebih cepat, adil, dan berwibawa.
Perisai Episode ke-10 bukan hanya forum diskusi, melainkan penegasan bahwa MA bertekad menjadikan "babak akhir keadilan" sebagai realitas yang dirasakan nyata oleh seluruh pencari keadilan di Indonesia.