Mengecualikan Ne Bis In Idem Pada Peradilan Umum Dalam Perselisihan Hak Asuh Anak

Rasio ne bis in idem adalah untuk menjamin kepastian hukum dan mencegah adanya putusan yang berbeda atau bertentangan.
Ilustrasi Hak Asuh anak | Foto : depositphotos.com/
Ilustrasi Hak Asuh anak | Foto : depositphotos.com/

PENDAHULUAN

Pada tahun 2007, Mahkamah Agung mengadakan Rapat Kerja Nasional, dan didapatkan salah satu rumusan yang berkaitan dengan pengecualian keberlakuan Ne bis in idem, sebagaimana dalam hasil Diskusi Komisi II Bidang Urusan Lingkungan Peradilan Agama, tepatnya bagian A. Bidang Teknis, angka 5: “Dalam perkara sengketa perkawinan termasuk perkara hadhanah, tidak berlaku azas “Nebis in Idem” sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 110 K/AG/1992 tanggal 24 Juli 1993”.

Adapun yang dimaksud dengan hadhanah atau kaffalah dalam arti yang sederhana adalah pemeliharaan atau pengasuhan”l, dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan.

Mengingat perselisihan mengenai penguasaan/hak asuh akan sebagai akibat putusnya perkawinan karena perceraian juga dapat terjadi pada peradilan umum, yakni bagi mereka yang tidak terikat asas personalitas keislaman, (vide: Pasal 41 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), maka berdasarkan hal tersebut, apakah pedoman mengenai pengecualian terhadap asas ne bis in idem tersebut dapat juga diterapkan pada lingkup peradilan umum ?

ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PERDATA INDONESIA

Asas ne bis in idem, adalah contoh asas yang termasuk dalam asas hukum umum karena memiliki cakupan yang melibatkan berbagai bidang hukum, termasuk perdata, pidana, dan bidang hukum lainnya.

Ada tiga postulat lainnya yang berkaitan dengan ne bis in idem. Pertama, nemo debet bis vexari yang berarti tidak seorang pun boleh diganggu dengan penuntutan dua kali untuk perkara yang sama. Kedua, nihil in lege intolerabilius est (quam) eandem rem diverso jure censeri, artinya hukum tidak membiarkan kasus yang sama diadili di beberapa pengadilan. Ketiga, nemo bis punitur pro eodem delicto, yang berarti tidak ada yang boleh dihukum dua kali atas perbuatan yang sama.

Rasio ne bis in idem  adalah untuk menjamin kepastian hukum dan mencegah adanya putusan yang berbeda atau bertentangan. Dalam konteks hukum perdata, hal ini dimaksudkan agar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak mengalami perubahan.

Putusan hakim harus dianggap final karena sebuah gugatan untuk diputus oleh hakim telah melalui banyak tahapan, mulai dari jawab-menjawab, pembuktian, penarikan fakta hukum, kesimpulan, pertimbangan hukum dan diakhiri dengan amar putusan, sehingga putusan tersebut harus dianggap final dan memiliki kepastian hukum. Hal mana berkaitan juga dengan adagium "Litis finiri oportet" yang berarti "setiap perkara harus ada akhirnya".

Pada ranah perdata, ne bis in idem yang sering disebut juga dengan exceptie van gewijsde zaak, tercermin pada Pasal 1917 KUH Perdata: “Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan. Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama; dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula.” Dari ketentuan tersebut, didapatkan elemen-elemen sebagai berikut:

a. Putusan berkekuatan hukum tetap: Berlaku hanya jika putusan hakim telah memperoleh kekuatan hukum pasti (inkracht van gewijsde).

b. Identitas pokok perkara (objek): Pokok perkara/duduk perkara yang menimbulkan sengketa atau perselisihan dalam perkara sebelumnya dan perkara baru harus sama.

c. Identitas dasar tuntutan (causa petendi): Alasan atau dasar hukum tuntutan harus sama antara perkara sebelumnya dan perkara baru.

d. Identitas para pihak (subjek): Para pihak, baik bertindak sendiri maupun menguasakan dalam perkara sebelumnya dan perkara baru harus sama. Yang dianggap pihaknya meliputi : 1. Yang mendapat hak dari putusan berdasarkan titel umum (seperti ahli waris)  2. Yang mendapat hak berdasarkan titel khusus (seperti pembeli, penerima hibah dan sebagainya). Para subjek tersebut dalam hubungan hukum (rechtsbeterekkingen) yang sama.

Dalam kriteria Yahya Harahap, perihal putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap haruslah bersifat positif yakni yang telah masuk mempertimbangkan pokok perkara, dengan amar berupa menolak atau mengabulkan (sebagian atau seluruh) gugatan.

Mahkamah Agung berdasarkan kesatuan pendapat yang tertuang dalam SEMA No. 7 tahun 2012 juga memberi tafsir terhadap Pasal 1917 KUH Perdata yaitu: Menyimpangi ketentuan Pasal 1917 KUHPerd Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai Nebis In Idem meskipun pihaknya tidak sama persis dengan perkara terdahulu asalkan:

1. Pada prinsipnya pihaknya sama meskipun ada penambahan pihak;

2. Status objek perkara telah ditentukan dalam putusan terdahulu;

MEMBEDAKAN INTERVENSI HUKUM KUASA ORANG TUA BERDASARKAN PENYEBABNYA

UU Perkawinan tidak memberikan definisi kuasa/penguasaan orang tua, akan tetapi diatur dalam Pasal 1 angka 11 UU 23/2002 jis 35/2014 jis 17/2016 tentang perlindungan anak (UUPA): “  Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.” Kuasa tersebut dapat mengalami intervensi secara hukum berdasarkan 2 (dua) sebab disertai karakteristiknya sebagaimana tabulasi berikut:

PENYEBAB

ALASAN MATERIIL

YURIDIS-FORMIL

AKIBAT HUKUM

Karena Perceraian (vide: Pasal 41 huruf a UU Perkawinan jo 14 ayat 1 UUPA)

Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Diajukan dalam bentuk gugatan yang dapat dikumulasikan dengan gugatan percerian, sehingga pengadilan memberikan Putusan.

Putusan hanya menentukan penguasaan fisik, hal mana didasarkan pada argumen orang tua tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak serta di sisi lain anak tetap berhak:

  1. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya.
  2. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
  3. Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya. dan
  4. memperoleh Hak Anak lainnya.

Karena Pencabutan Kuasa (Pasal 49 ayat 1 UU Perkawinan jo Pasal 30 ayat 1 UUPA)

Salah seorang atau kedua orang tua sangat melalaikan kewajiban sebagai orang tua maupun berkelakuan buruk sekali.

Diajukan dalam bentuk permohonan oleh permintaan salah satu orang tua/orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas, saudara kandung yang telah dewasa, keluarga sampai derajat ketiga, atau pejabat yang berwenang, sehingga pengadilan memberikan Penetapan.

Penetapan pengadilan sekurang-kurangnya memuat ketentuan:

  • tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya.
  • tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya. dan
  • batas waktu pencabutan.

LANDAS PIJAK FILSAFATI YANG SAMA ANTAR LINGKUNGAN PERADILAN DALAM PENERAPAN PENGECUALIAN ASAS NE BIS IN IDEM

Dasar Universal dalam menentukan penguasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian yakni prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The Best Interest of the Child), setiap kali sebuah keputusan akan diambil dan akan mempengaruhi seorang anak atau sekelompok anak tertentu, maka harus diambil secara hati-hati dengan mempertimbangkan baik dari dampak positif yang timbul maupun dampak negatif atas keputusan tersebut terhadap anak atau anak-anak yang bersangkutan. Jadi, fokus utama atau orientasi dalam kuasa asuh sejatinya bukanlah terletak pada siapa pemegang kuasa asuh, melainkan kepentingan-kepentingan terbaik bagi anak dapat dihormati, dilindungi, dan dipenuhi.

Korelasi antara rasio urgensi pengecualian asas Ne Bis In Idem dengan pemenuhan prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak adalah: Tidak seperti penetapan pengadilan dalam pencabutan kuasa asuh (yang memuat batas waktu pencabutan secara definitif), dalam penentuan kuasa asuh sebagai akibat perceraian (dalam putusan pengadilan tidak memuat jangka waktu tertentu), sehingga untuk memastikan terpenuhinya kewajiban pemegang kuasa asuh terhadap hak-hak anak seperti hak kelangsungan hidup, perlindungan, tumbuhkembang, dan berpartisipasi maupun kebutuhan-kebutuhan anak seperti kebutuhan spiritual, psikologis, fisik, intelektual, dan sosio-budaya.

Maka sewaktu-waktu, salah satu orang tua/orang tua lainnya yang tidak memegang kuasa asuh haruslah diberikan kesempatan untuk meninjau kuasa asuh tersebut dengan mengajukan gugatan (baru) yang mendasarkan pada dalil bahwa orang tua pemegang kuasa asuh lalai dalam menjalankan amanahnya, sebagaimana salah satu contoh penerapannya dapat ditemukan dalam bagian pertimbangan Mahkamah Agung Putusan No. 2970 K/Pdt/2025: “Bahwa terhadap perkara hak asuh anak tidak dikenal ne bis in idem oleh karena terhadap hak asuh anak selalu dapat dilihat dan dinilai tentang perkembangan atas hak asuh anak, baik pihak yang diberi hak asuh maupun terhadap kepentingan jasmani Rohani anak dan kebutuhan hak-hak si anak yang kesemuanya bertumpu kepada kepentingan terbaik si anak, sehingga manakala terjadi keadaan yang mempengaruhi tumbuh kembang si anak baik jasmani dan rohaninya yang akan mengakibatkan perkembangan anak terganggu maka dapat dimintakan pengajuan pergantian terhadap asuh atas diri anak”.

Sumber Referensi

Amir Syarifuddin, 2007, Hukum perkawinan Islam di Indonesia: antara fiqh munakahat dan undang-undang perkawinan, Kencana Prenada Media, Jakarta.

Dharma Setiawan Negara, et.al, 2025, Analisis Kritis Terhadap Relevansi Asas Ne Bis In Idem Dalam Perkara Perceraian, Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.6. No.6 (2025).

Muhammad Imdad Azizy, 2024, Tesis: Nebis In Idem Dalam Perkara Gugatan Hadhanah (Tinjauan Maqashid Syariah dalam Putusan Acta Van Dading dan Hadhanah di Pengadilan Agama Tanjung Balai Karimun), Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Pădurariu, I. (2020). The principle of best interests of the child. Lex ET Scientia International Journal, 27(2).

Rita Alfiana, et.al, 2025, Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Dalam Perspektif Hukum Keluarga Di Indonesia (Studi Kasus Perceraian Irish Bella dengan Ammar Zoni), Arus Jurnal Sosial dan Humaniora (AJSH), Vol. 5, No. 2, Agustus 2025.

Syarifatul Fadhilah, et.al, 2025, Tinjauan Yuridis Penerapan Asas Nebis In Idem Oleh Hakim dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Negeri Mungkid, Majelis : Jurnal Hukum Indonesia, Volume. 2 Nomor. 2 Mei 2025.

Yazid Nashrullah dan Endah Hartati, 2023, Pengaruh Prinsip Best Interest of Child Dalam Penentuan Hak Asuh Anak Pada Kasus Perceraian Menurut Hukum Perdata (Analisis Terhadap Putusan-Putusan Pengadilan), Lex Patrimonium: Vol. 2: Iss. 2.