Mengenal Konsep Bahaum Bakuba Sebagai Falsafah Masyarakat Dayak Lamandau

Bahaum Bakuba bermakna bermusyawarah dan bermufakat dengan tidak membeda-bedakan agama, suku, warna kulit, dan golongan.
Ilustrasi konsep Bahaum Bakuba sebagai moto Kabupaten Lamandau. Foto matakalteng.com/
Ilustrasi konsep Bahaum Bakuba sebagai moto Kabupaten Lamandau. Foto matakalteng.com/

Bahaum Bakuba adalah moto Kabupaten Lamandau, yang berasal dari bahasa Dayak, yang berarti musyawarah untuk mufakat. Bahaum Bakuba bermakna bermusyawarah dan bermufakat dengan tidak membeda-bedakan agama, suku, warna kulit, dan golongan.

Semboyan Bahaum Bakuba awalnya muncul pada masyarakat Dayak di Kabupaten Lamandau. Ketika masyarakat akan mengadakan acara tradisi, mereka mengumpulkan sejumlah masyarakat (bahaum) mulai dari pemuka adat hingga rakyat biasa untuk bermusyawarah di rumah adat, dan ketika ada permasalahan yang harus dipecahkan bersama, semua orang berhak mengutarakan pendapatnya agar tercapai kesepakatan bersama (bakuba).

Dalam perjalanannya, Bahaum Bakuba menjadi falsafah hidup masyarakat Lamandau dalam mewujudkan tata kehidupan sosial yang penuh kedamaian dan solidaritas untuk mencapai tujuan bersama melalui musyawarah untuk mufakat. Falsafah Bahaum Bakuba juga sejalan dengan sila keempat Pancasila.

Internalisasi Falsafah Bahaum Bakuba dalam Dunia Peradilan

Pandangan hidup bangsa Indonesia yang tercermin melalui Pancasila, menjadikan sila keempat Pancasila penting untuk diinternalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Pengambilan keputusan melalui musyawarah adalah nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sejak lama. Nilai ini terus dipertahankan dalam berbagai bentuknya.

Di dunia peradilan Indonesia, pengambilan putusan terhadap suatu perkara oleh Majelis Hakim dilaksanakan melalui musyawarah untuk mufakat. Tidak ada perbedaan nilai dan kekuatan suara antara Ketua Majelis dengan anggotanya, semua bernilai sama. Putusan Majelis Hakim akan menjadi kuat dengan adanya suara bulat hasil mufakat dari musyawarah Majelis Hakim.

Dalam menjalankan roda organisasi peradilan, rapat monitoring dan evaluasi bulanan juga menekankan pentingnya musyawarah untuk mufakat dalam mencari solusi atas persoalan yudisial atau administratif yang ditemui. Pimpinan hanya menjadi fasilitator dalam pembahasan serta mendapat legitimasi untuk mengeluarkan kebijakan. Namun semua itu juga berasal dari hasil musyawarah bersama untuk mufakat.

Penerapan Konsep Bahaum Bakuba dalam Pembentukan Pengurus Cabang IKAHI Nanga Bulik

Pengurus Cabang IKAHI Nanga Bulik melakukan pertemuan pada Jumat (4/7). Ada beberapa agenda yang menjadi pembahasan bersama pada pertemuan tersebut, dua di antaranya adalah pemilihan struktur Pengurus Cabang IKAHI Nanga Bulik serta pembahasan teknis internal organisasi.

Sebagai bagian dari Kabupaten Lamandau, Pengurus Cabang IKAHI Nanga Bulik turut menerapkan konsep bahaum bakuba dalam pengambilan keputusan, yaitu bermusyawarah tanpa memandang jabatan dan senioritas untuk menemukan kesepakatan. Penerapan bahaum bakuba tersebut kemudian menghasilkan struktur baru Pengurus Cabang IKAHI Nanga Bulik serta hal-hal teknis terkait internal organisasi.

Dengan demikian, dapat dikatakan semboyan Bahaum Bakuba adalah identitas masyarakat Lamandau, yang juga harus diinternalisasi oleh segenap aparatur Peradilan khususnya di Kabupaten Lamandau. Sebab dengan Bahaum Bakuba lah, dapat tercipta kehidupan masyarakat Lamandau yang penuh dengan kedamaian, rasa toleransi, solidaritas, serta penegakan hukum yang menjadi tujuan bersama dengan muasyawarah mufakat tanpa membeda-bedakan satu sama lain.

Penulis: Ahmad Rafuan
Editor: Tim MariNews