Apa Ismailmu?

Apa Ismail kita, sampai rela jungkir balik menjadikan kaki sebagai kepala dan kepala menjadi kaki dalam mengejar jabatan, mengharap pujian, dan validasi yang tak pernah cukup?
Ilustrasi Iduladha. Foto freepik.com/
Ilustrasi Iduladha. Foto freepik.com/

Setiap kali Iduladha datang, kita diingatkan kembali pada kisah luar biasa Nabi Ibrahim. Sosok yang dijuluki sebagai bapak para nabi ini bukan hanya dikenal karena ketaatannya yang luar biasa, tetapi juga karena perjalanan spiritualnya yang penuh pencarian dan pengorbanan.

Sejak kecil, Ibrahim sudah berani berpikir. Ia tak langsung ikut-ikutan menyembah apa yang disembah orang-orang di sekitarnya. Ia bertanya, ia mencari, ia merenung. Siapa sebenarnya Tuhan yang menciptakan alam semesta ini?

Dalam Al-Qur’an surah Al-An’am ayat 76-79, dikisahkan bagaimana ia sempat mengira Bulan adalah Tuhan karena cahayanya yang indah di malam hari. Tapi ketika Bulan menghilang, ia pun ragu. Lalu ia melihat Matahari yang lebih terang, lebih menghangatkan, lebih dahsyat dibanding Bulan. Mungkin inilah Tuhannya. Namun saat matahari tenggelam, keraguan itu muncul lagi.

Ibrahim sadar: Tuhan tidak mungkin terbit dan tenggelam. Tidak mungkin hilang dan kembali. Tuhan harus ada setiap waktu, menjaga dan mengatur segalanya. 

Hingga kemudian ia sampai pada keyakinan bahwa Tuhannya adalah Allah. Semenjak itu, ia memiliki keimanan yang di atas rata-rata. 

Dan ketika keyakinan itu mengakar semakin kuat, datanglah ujian besar. Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Anak yang sangat ia cintai, yang ditunggu kehadirannya selama puluhan tahun. Anak satu-satunya.

Namun Ibrahim taat. Dan Ismail pun rela. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Keduanya sama-sama berserah diri kepada kehendak Allah. Sebuah momen puncak dari keimanan yang luar biasa.

Tetapi seperti yang kita tahu, Allah mengganti Ismail dengan seekor kambing. Ibrahim lulus ujian. Ia berhasil membuktikan bahwa cintanya pada Allah jauh lebih besar dari cintanya pada apapun-bahkan anaknya sendiri.

Lalu, apa Ismail kita?

Setiap kita mungkin punya “Ismail” masing-masing.

Hal-hal yang begitu kita cintai, kita kejar, kita bela mati-matian-kadang tanpa sadar sampai menggeser posisi Allah di hati kita.

Apa Ismail kita, sampai panggilan salat lewat begitu saja?

Apa Ismail kita, sampai kita lebih peduli pada barang branded daripada membantu saudara yang sedang kesusahan?

Apa Ismail kita, sampai rela jungkir balik menjadikan kaki sebagai kepala dan kepala menjadi kaki dalam mengejar jabatan, mengharap pujian, dan validasi yang tak pernah cukup?

Apa Ismail kita, sampai  lupa bahwa hidup ini sementara, dan mati itu pasti-tetapi bekal akhirat belum juga disiapkan?

Iduladha bukan hanya soal menyembelih hewan kurban. Tapi juga tentang belajar melepaskan. Belajar menempatkan Allah kembali di posisi tertinggi dalam hidup kita.
Semoga tahun ini, kita bisa mengenali “Ismail-Ismail” kita-dan berani meletakkannya di bawah iman.

Agar hidup kita benar-benar berjalan dari-Nya, karena-Nya, dan untuk-Nya.

Selamat Iduladha. 

Copy