Paradoks Peran Pemerintah dalam Sengketa administrasi : Primum Remedium atau Sekedar Retorika

Dalam penegakan hukum administrasi, terdapat ketentuan yang disyaratkan kepada pihak yang akan mengajukan gugatannya ke PTUN.
Ilustrasi pendidikan hukum berkelanjutan
Ilustrasi pendidikan hukum berkelanjutan

Dewasa ini, sistem penegakan hukum sangat mengedepankan penyelesaian sengketa melalui jalur perdamaian. 

Dalam pidana misalnya, instrumen penyelesaian melalui Restorative Justice telah memberikan pandangan bahwa fokus pada pemidanaan dialihkan menjadi proses dialog dan mediasi yang bertujuan menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara yang adil dan seimbang bagi para pihak serta mengembalikan pola hubungan baik dalam Masyarakat. 

Dalam ranah hukum administrasi, pola penyelesaian sengketa tanpa melalui pengadilan sebenarnya sudah digaungkan sejak lahirnya Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 

Pengadilan menempatkan dirinya sebagai Ultimum Remedium yang berarti upaya terakhir yang ditempuh ketika upaya lain belum menemukan titik penyelesaian.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta perubahannya (disebut UU Peratun) dalam Pasal 47 secara eksplisit menjelaskan bahwa “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”. 

Tersirat harapan, sebagai salah satu lembaga peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung, segala permasalahan sengketa tata usaha negara bukan hanya sekedar putus namun segala permasalahan yang muncul finish di garis ini. 

Dalam penegakan hukum administrasi, terdapat ketentuan yang disyaratkan kepada pihak yang akan mengajukan gugatannya ke PTUN. Begitu pula sebaliknya, terdapat syarat kewenangan bagi PTUN untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. 

Pasal 48 UU Peratun menyatakan bahwa “Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan”. 

Dalam bagian penjelasannya, upaya administratif dinyatakan sebagai suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintah itu sendiri.

Menelisik dari sisi pemerintahan, hadir Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UUAP) yang menjamin hak-hak dasar dan memberikan perlindungan kepada Warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum. 

Undang-Undang ini pun memberikan ruang penyelesaian sengketa di ranah internal pemerintahan. 

Dalam Pasal 75 UUAP menyatakan dengan tegas bahwa “Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau kepada Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan”. 

Hal demikian memiliki maksud sebagai jaminan perlindungan kepada setiap Warga Masyarakat serta memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau Tindakan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan. 

Setelahnya, barulah Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tersebut ke Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari rangkaian pola yang dibangun melalui ketentuan dalam sistem administrasi pemerintahan tersebut, terlihat bahwa penyelesaian sengketa di ranah internal pemerintahan melalui ruang upaya administrasi sangat diharapkan dapat menjadi solusi penyelesaian terbaik sebelum warga Masyarakat menyerahkan suatu permasalahan ke Pengadilan untuk diperiksa, diputus dan diselesaikan. 

Mengaminkan hal demikian, Mahkamah Agung melalui PERMA 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif dalam konsideran menimbng huruf a mendukung dengan penuh ketentuan Pasal 76 ayat (3) UUAP yang menyatakan bahwa warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan dalam hal tidak menerima penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat. 

Hal ini memberikan gambaran besar betapa penyelesaian melalui ruang intern pemerintah menjadi sebuah langkah Primum Remedium yang berarti upaya awal yang diharapkan dapat menyelesaikan suatu sengketa administrasi dan menjaga hubungan baik antara warga Masyarakat dengan pemerintah sebelum pada akhirnya masuk dalam persidangan. 

Dalam perjalanannya, harapan dan tujuan dari pola penyelesaian sengketa melalui upaya administratif sebagai Primum Remedium kerap mendapat respon kurang baik oleh warga Masyarakat maupun badan atau pejabat pemerintah. 

Bukan tanpa sebab, beberapa regulasi penyelesaian yang ada pada intern pemerintah menjadi salah satu faktor dalam proses ini. 

Dalam sengketa pertanahan misalnya, terdapat Permen ATR BPN Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Pengaduan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang mengatur tata cara penyampaian ketidakpuasan masyarakat atas proses administrasi yang dilakukan oleh kementerian ATR BPN. 

Dalam Pasal 1 angka (1) nya menyebutkan “Pengaduan adalah penyampaian keluhan yang disampaikan pengadu kepada pengelola pengaduan atas pelayanan pelaksana yang tidak sesuai dengan standar pelayanan, atau pengabaian kewajiban dan/atau pelanggaran larangan”. 

Upaya administratif berupa keberatan yang diajukan warga Masyarakat dilekatkan pada ketentuan Permen tersebut yang mana dalam Pasal 5 menyebutkan tahapan pengelolaan pengaduan yang terdiri dari: a) penerimaan dan pencatatan pengaduan; b) pemeriksaan; c) pendistribusian pengaduan; d) tindak lanjut; dan e) monitoring pelaporan. 

Dengan serangkaian proses panjang yang ada, terlebih ketika keberatan yang diajukan warga Masyarakat melahirkan hasil yang tidak sesuai, bahkan di momen lain, badan atau pejabat pemerintah tidak memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan, warga Masyarakat pada akhirnya menemukan titik lelah dalam memperoleh kepastian hukum melalui ruang upaya administratif ini, sehingga sengketa tersebut pada akhirnya tertuju pada pengajuan gugatan ke Pengadilan. 

Dari sini mulai muncul persepsi bahwa ruang upaya administratif yang diberikan secara atribusi oleh Undang-Undang hanya sebatas formalitas semata dan hanya sebatas syarat yang harus dipenuhi sebelum gugatan diajukan ke Pengadilan. 

Roh dari upaya administratif sebagai bentuk penyelesaian sengketa administrasi pada intern pemerintah tidak lagi seperti yang diharapkan dan pada akhirnya, fokus penyelesaian sengketa yang semula berada pada intern pemerintah, beralih kepada pengadilan sebagai upaya terakhir dan satu-satunya yang dapat memberikan kepastian tegaknya hukum administrasi.

Dalam case yang berbeda, sistem hukum administrasi mengenal adanya asas contrarius actus. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati memberikan pandangan terhadap asas ini yang menyatakan bahwa badan atau pejabat TUN yang menerbitkan Keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya. Dalam Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksana Perpres Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Catatan SIpil misalnya, melalui Pasal 38 dan Pasal 89 menegaskan bahwa Pencatatan Pembatalan dokumen pendaftaran penduduk maupun pembatalan akta pencatatan sipil dapat dilakukan dengan cara tanpa melalui pengadilan/Contrarius Actus. 

Hal demikian merupakan wujud dari sikap Kementerian Dalam Negeri untuk lebih mendorong pelaksanaan penyelesaian sengketa administrasi melalui intern pemerintahan. 

Namun pada kenyataannya, tak jarang ditemukan gugatan yang diajukan ke Pengadilan dengan fokus utama pembatalan dokumen pendaftaran penduduk. 

Walaupun sudah terdapat kewenangan dalam melakukan pembatalan melalui asas contrarius actus, tampaknya badan atau pejabat pemerintah merasa lebih terlindungi apabila pembatalan yang dilakukan berdasarkan putusan pengadilan. sampai disini pada akhirnya kita akan mempertanyakan, akankah semangat penyelesaian sengketa administrasi di intern pemerintah sebagai primum remedium akan terus digalakkan ataukah hanya sekedar retorika semata. 

Penulis: Arie Guntoro
Editor: Tim MariNews