“Justice must be served according to the law, not according to the status of the offender. If a law is only applied to the poor and not the powerful, then the law is no longer just, but a tool of tyranny.” – George A. Hayden (Crime and Punishment in Medieval Chinese Drama: Three Judge Stories).
Sastra Tiongkok memiliki satu titik simpul pesan moral yang tidak pernah lekang oleh zaman tentang seorang tokoh bernama Hakim Bao (Bao Gong). Pengkaji sastra dari Universitas Harvard, Wilt L. Idema, mengangkatnya dalam serial balada yang berasal dari tahun 1250 hingga 1450.
Karakter Hakim Bao, bagi Idema, “Pure, orthodox and incorruptible in his own behavior, he unfailingly establishes the true nature of the crime and its culprit, either through his native intelligence or by supernatural means” (berperilaku murni, ortodoks, dan tak tercela, ia senantiasa mampu mengungkap hakikat sejati dari suatu kejahatan beserta pelakunya, baik melalui kecerdasan alaminya maupun dengan cara-cara supranatural) (Idema, ix).
Namun yang lebih penting lagi, lanjut Idema, “he sees to it that the criminal, irrespective of his or her position and connections, will be punished” (ia memastikan bahwa sang penjahat, tanpa memandang jabatan maupun koneksi, akan tetap menerima hukuman yang setimpal) (Idema, ix).
Sosok Bao Gong adalah idealisasi integritas dari profesi seorang hakim yang dicita-citakan masyarakat.
Legenda Hakim Bao tidak bertahan 1.000 tahun tanpa alasan. Hakim dalam kebudayaan Tiongkok adalah ejawantah virtue, dari garis pemikiran Aristotelian. Kompetensi seorang hakim tidak dapat bersifat permukaan.
Formalitas gelar akademik yang tidak disertai keterampilan riil tidak sejalan dengan risiko pekerjaan hakim. Selalu ada sisi non-reversible atau tidak dapat dikoreksi bila hakim keliru dalam menjatuhkan putusan.
Hakim menjadi tonggak terdepan dalam perang melawan mafia di Italia, yang menjadi martir bagi tegaknya hukum melawan kejahatan terorganisasi. Dengan kata lain, ada substansi dari kapasitas seorang hakim yang tidak dapat ditawar, karena profesi ini tidak hanya bersifat legal, tetapi juga moral.
Seperti legenda Hakim Bao, kebudayaan berulang kali menempatkan hakim dalam posisi legendaris, keadilan yang menubuh dalam masyarakat.
Kompetensi Penafsiran Seorang Hakim
Bagi penstudi hukum Robert Benson (2008), kompetensi prioritas utama dari seorang hakim adalah kemampuannya untuk menafsirkan, karena hukum baru dapat menjalankan fungsinya saat ditafsirkan dengan tepat.
Berbagai kemungkinan pemaknaan bersaing satu dengan lainnya di kepala seorang hakim. Terlebih lagi, interpretasi yudisial melibatkan nilai, pengalaman, dan komitmen politik dari seorang hakim. Selalu ada dominasi atau hegemoni yang akan memengaruhi alur penalaran yang terjadi di ruang sidang.
Bahkan, lanjut Benson, proses penalaran tak ubahnya “interpretation game” – sebuah arena pertarungan semantik dan hermeneutik yang tidak pernah usai. Kata-kata, menurut Benson, “the surest, safest evidence of the author’s actual subjective intentions” (bukti yang paling pasti dan paling aman mengenai niat subjektif sebenarnya dari pencipta teks).
Bertolak dari itu, “the law has to be objectively knowable so that people can rely upon it in planning their affairs” (hukum harus dapat diketahui secara objektif agar orang dapat mengandalkannya dalam merencanakan urusan mereka) (Benson, 2008:8).
Lebih detail, Lawrence M. Solan (1993) mencatat ada tiga tahapan penting dalam tugas penafsiran hakim: menginterpretasi undang-undang, mencari titik terang dalam ambiguitas, dan membangun konstruksi makna dalam teks-teks legal.
Ada kelindan yang harus dihadapi saat seorang hakim berhadapan dengan kelenturan linguistik dan ketegasan doktrinal dari teks yang ada di depannya. Tidak cukup hanya dengan penalaran yuridis. Bagi Solan, hakim harus menuangkan argumentasinya dengan cara yang dapat dipahami publik, persuasif, dan sejalan dengan cita-cita institusi.
Menurut Solan, konstruksi perundang-undangan sekarang telah menjadi “a communication between state institutions, and is now in some instances a direct line of communication from state to citizens” (komunikasi antar lembaga negara, dan kini dalam beberapa kasus menjadi jalur komunikasi langsung dari negara kepada warga negara) (Solan, 1993:44).
Kompetensi Humaniora Seorang Hakim
Sisi kemanusiaan seorang hakim tidak dapat dikesampingkan. Sekalipun sangat formal, ruang persidangan tetap merupakan ruang-ruang manusiawi. Selalu ada ruang bagi sang hakim untuk sampai pada jeda-jeda informal.
“Courts are populated by humans and accordingly are subject to the vagaries of chance, including unintentional humour” (pengadilan disesaki oleh manusia dan karena itu tidak luput dari berbagai ketakterdugaan, termasuk humor yang tidak disengaja) (Anleu & Davis, 2018:20).
Dengan kata lain, selain sebagai sosok intelektual, hakim mau tidak mau akan sampai pada momen-momen kemanusiawiannya. Bahkan ada implikasi bahwa “emotion and rational action are intertwined and inseparable” (emosi dan tindakan rasional saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan) (Blix & Wettergren, 2018:185).
Hakim bukan mesin cerdas anorganik yang hiper-rasional dan tidak memiliki kemampuan untuk bersimpati atau berempati. Sekalipun decorum dipegang teguh dalam proses beracara, hakim tetap memiliki berbagai kecenderungan emosional yang tidak dapat dinafikan.
Kemampuan hakim dalam mengelola sisi emosinya adalah bagian dari skill set yang menjadi penting, terutama dalam konteks e-Court dan kecerdasan buatan.
Pengkaji hukum Melinda Gann Hall (2015) mengangkat persoalan kontekstual lainnya, terutama yang berkaitan dengan media.
Pengangkatan Hakim Agung di Mahkamah Agung Amerika Serikat (Supreme Court of the United States – SCOTUS), misalnya, sangat berkaitan dengan kampanye negativitas yang berlangsung di media televisi negara itu.
Hall mengatakan: “the political controversy over electing judges is enormously complex and largely normative, the theoretical and empirical story about the impact of negativity in judicial campaigns is straightforward” (kontroversi politik mengenai pemilihan hakim sangatlah kompleks dan sebagian besar bersifat normatif, sementara uraian teoretis dan empiris tentang dampak sikap negatif dalam kampanye yudisial relatif sederhana) (Hall, 2015:5).
Berbagai spekulasi publik yang sifatnya emosional ini dapat berpengaruh langsung pada disposisi mental seorang hakim saat menangani sebuah perkara.
Hall mencatat bahwa serangan-serangan media perlu dihadapi oleh hakim yang memosisikan diri sebagai “highly trained technicians neutrally applying the law” (seseorang yang memiliki keterampilan teknis untuk menerapkan hukum secara netral) (Hall, 2015:18).
Kompetensi Hakim dan Dinamika Sosial
Seorang hakim bukan individu yang terpisah dari masyarakat tempatnya berada. Hakim adalah simbol eksistensi kepercayaan publik kepada pemerintah.
Secara prosedural dan substansial, hakim yang kompeten sanggup menjaga amanat kepercayaan yang sifatnya fundamental tersebut.
Keith J. Bybee (2010) mengangkat sebuah paradoks yang selalu inheren dengan profesi seorang hakim: tuntutan imparsialitas ada di tengah-tengah sistem politik yang menciptakan lembaga yudikatif tersebut.
Kemampuannya bersikap sesuai dengan tuntutan profesionalnya menjadi penting karena, bagi Bybee, “Courtesy provides a way of managing the welter of human interactions, permitting individuals to trade on moral standards without requiring them to overcome personal appetites or to develop much in the way of actual virtue” (kemampuan bersikap adalah cara untuk mengelola peliknya interaksi manusia, dan memungkinkan individu untuk berpegang pada standar moral tanpa harus menekan dorongan pribadi mereka atau menyodorkan pakem-pakem kebajikan) (Bybee, 2010:76).
Hakim sebagai pejabat publik selalu ada dalam tegangan pencitraan personal dan dorongan impersonal yang tidak akan pernah selesai.
Dalam kasus R. v. S. (R.D.), [1997] 3 S.C.R. 484 yang terjadi di Kanada, seorang remaja kulit hitam menolak ditahan oleh seorang petugas polisi kulit putih.
Dalam pengadilan anak (Youth Court), hakim menilai dengan ketiadaan saksi lain bahwa petugas telah bertindak berlebihan, terutama karena isu rasial. Remaja tersebut dibebaskan.
Namun demikian, putusan hakim ini dibawa oleh Negara Bagian Nova Scotia ke tingkat banding hingga ke Mahkamah Agung Kanada.
Di Mahkamah Agung Kanada, diputuskan bahwa putusan hakim pengadilan anak tersebut tidak didasarkan atas bias rasial, karena pandangan hakim didasarkan pada konteks sosial, dan bukan prejudisial.
Dalam kasus ini, kompetensi penafsiran dan humaniora seorang hakim menjadi sangat penting, karena gesekan isu rasial dapat memicu ketegangan dan bahkan konflik horizontal. Hakim yang tidak kompeten tidak akan mampu berhadapan dengan berbagai arus dinamika sosial di masyarakat.
Pada akhirnya, kompetensi seorang hakim tidak terletak semata pada kecakapan teknis atau pemahaman hukum positifnya, melainkan pada keseluruhan kapasitasnya sebagai manusia yang berpikir, merasa, dan menimbang secara bijaksana dalam kompleksitas konteks sosial.
Menjadi hakim bukan hanya menjalankan peran yudisial dalam kerangka legalistik, tetapi juga memikul tanggung jawab simbolik sebagai representasi keadilan publik.
Ketika putusan-putusan yudisial dihadapkan pada interpretasi ambigu, tekanan emosional, dan ekspektasi politik, hanya hakim yang utuh dan kompeten mampu menyatukan dimensi intelektual, etika, dan humanistik, sekaligus menjaga martabat hukum.
Kompetensi hakim, dengan demikian, adalah fondasi yang menentukan bukan hanya kualitas putusan, melainkan juga legitimasi negara hukum itu sendiri.