Di tengah hiruk-pikuk media sosial dan gemerlap gaya hidup masa kini, ada fenomena yang makin jamak kita saksikan: orang berlomba-lomba memamerkan kemewahan.
Berita terbaru dan lagi viral adalah kasus yang sedang diperagakan seorang anak mahasiswa Jakarta asal Pekanbaru.
Sang ibu yang kebetulan seorang pejabat daerah setempat harus berurusan dengan kasus dugaan korupsi menuruti keinginan putri kesayangannya.
Bagi sebagian kalangan, hidup dianggap sukses bila mampu membeli tas bermerek, jam tangan mahal, kendaraan mewah, bahkan menghabiskan waktu liburan di luar negeri demi sekadar eksistensi. Semakin mahal barang yang dipakai, semakin dianggap “berkelas”.
Namun, pamer kekayaan yang kian normal ini ironis bila kita tengok ke sisi lain kehidupan masyarakat.
Sebab, pada saat yang sama, masih banyak rakyat kecil yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya pun harus berjuang mati-matian.
Ada yang harus menahan lapar karena harga beras melonjak, ada yang menunda berobat karena biaya kesehatan yang mahal, bahkan tak sedikit anak yang putus sekolah karena orang tuanya tak sanggup membayar biaya pendidikan.
Mereka menjalani kehidupan, jangankan bergaya, untuk sekadar bertahan hidup saja masih susah.
Realitas semacam ini seharusnya menjadi cermin bagi kita semua, khususnya bagi aparatur negara yang hidupnya dibiayai dari uang rakyat.
Kabar Kenaikan Kesejahteraan
Meskipun baru berita, belakangan ini sebagian besar hakim dalam penantian janji presiden yang akan menaikkan kesejahteraan mereka.
Kesejahteraan para Hakim akan ditingkatkan sebagai bagian dari upaya menjaga maruah para pengadil.
Kebijakan ini, tentu patut kita syukuri bersama. Sebab profesi hakim bukanlah profesi biasa. Hakim memikul amanah berat, menegakkan hukum, menjaga keadilan, memutus perkara tanpa takut, tanpa suap, tanpa intervensi.
Beban moral yang dipikul sangat besar karena setiap keputusannya menyangkut nasib orang lain, bahkan terkadang menyangkut keadilan sosial yang lebih luas.
Namun, ada satu hal penting yang patut direnungkan secara mendalam: kenaikan kesejahteraan jangan sampai melahirkan mentalitas baru yang keliru, yaitu mental pamer, mental hedonis, dan mental konsumtif.
Kesejahteraan naik bukan untuk memacu gaya hidup mewah, melainkan untuk memudahkan hakim menjaga martabat, menegakkan integritas, serta hidup dengan lebih tenang dan fokus pada tugasnya. Mengapa?
Hakim bukan selebritas.
Hakim bukan pejabat politik.
Hakim bukan pebisnis.
Hakim adalah penjaga maruah keadilan, benteng terakhir bagi mereka yang mencari kebenaran di tengah kebisingan kepentingan duniawi.
Karena itu, kesederhanaan semestinya tetap menjadi ciri yang melekat.
Bukan berarti anti kemajuan, bukan pula menolak kenyamanan, tetapi tetap tahu batas dan proporsi.
Rasulullah SAW telah mengingatkan:
"Bukanlah kekayaan itu banyaknya harta benda, tetapi kekayaan adalah kekayaan hati." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan kalimat yang lebih panjang, seolah Rasulullah SAW ingin menegaskan: Kekayaan sejati bukan terletak pada berapa banyak aset yang dimiliki, melainkan pada hati yang merasa cukup dan hidup yang sederhana.
Sebab, banyak orang hidup mewah tapi hatinya gelisah.
Banyak pula yang hidup sederhana, tapi hatinya tenang dan bahagia.
Al-Qur’an juga memberi nasihat yang sangat jelas:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi." (QS. Al-Qashash: 77)
Ayat ini mengajarkan keseimbangan: nikmati yang halal, jangan berlebihan, dan jangan pernah lupa akan tugas sosial, moral, dan agama.
Naiknya kesejahteraan semestinya bukan membuat kita lupa daratan, tapi justru mempertebal rasa syukur, empati sosial, dan rasa tanggung jawab di hadapan Allah dan masyarakat.
Jangan sampai publik mencibir: “Gaji dari uang rakyat, tapi belanja lebih mewah dari rakyat.”
Yang demikian jelas sebuah ironi yang bisa merusak muruah profesi kita sendiri.
Kesejahteraan yang naik bukan lampu hijau untuk hidup hedonis, tapi bekal untuk menjaga amanah lebih baik.
Kita patut meneladani para ulama terdahulu yang hidup sederhana meski berkecukupan.
Mereka sadar, harta bukan untuk dipamerkan, tapi untuk menjaga harga diri, menolong sesama, dan mengokohkan amanah hidup.
Pada akhirnya, jabatan akan usai, harta akan habis, tapi nama baik dan integritas akan kekal dalam ingatan masyarakat dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Sebagaimana kata hikmah juga telah mengingatkan: "Jangan kau penuhi hidupmu dengan apa yang bisa habis. Penuhilah hidupmu dengan apa yang kekal di sisi Allah."
Akhirnya, semoga berita kenaikan kesejahteraan bagi para hakim tidak hanya benar-benar menjadi kenyataan tetapi lebih dari itu juga menambah keberkahan.
Bukan pintu masuk bagi perubahan gaya hidup hedonis, melainkan penguat martabat, penjaga amanah, dan pengingat bahwa yang lebih penting dari sekadar gaji adalah tetap utuhnya harga diri, integritas, dan rasa cukup di hadapan Allah.
Intinya, naik gaji, naik martabat, bukan naik gaya hidup. Inilah prinsip kehormatan yang tak boleh dilupakan.


