Sisi Deklaratif, Asertif, Askriptif, dan Ekspresif Putusan

Putusan di ruang pengadilan tidak dapat dipahami semata-mata sebagai ungkapan kebenaran faktual. Di baliknya terdapat serangkaian elemen kompleks yang melibatkan aspek deklaratif, asertif, askriptif, dan ekspresif, yang keseluruhannya membentuk keabsahan serta makna sebuah keputusan hukum.
Ilustrasi putusan hakim. Foto freepik.com/
Ilustrasi putusan hakim. Foto freepik.com/

“In fashionable idiom, facts are socially constructed and constructed from a worldview.”

Ho Hock Lai (A Philosophy of Evidence Law).

Sebuah putusan selalu dicita-citakan sebagai kebenaran. Namun demikian, persoalan kebenaran bukan persoalan yang sederhana dari sisi filsafat hukum. Dalam sub-disiplin filsafat, ontologi, kebenaran ada di dua sisi. Sisi pertama adalah Idealisme sebagai kebenaran mutlak. Realitas bagi pendekatan filosofis ini adalah tiruan dari kebenaran sejati (kasunyataan).

Garis pemikiran ini dimulai dari Plato (Kenny, 2004), dan tertanam kuat hingga sekarang terutama untuk kebenaran yang sifatnya konvensional, kohesif, atau intersubjektif. Tugas manusia adalah untuk mencari pengetahuan sejati yang tersembunyi dari panca indranya. Satu-satunya jalan untuk mencapai kesejatian pengetahuan adalah dengan mempergunakan akal budi (rasio) manusia.

Sisi kedua adalah empirisisme sebagai satu-satunya instrumen pengetahuan sejati. Sederhananya, manusia hanya bisa mengandalkan panca indranya untuk memperoleh pengetahuan. Berkebalikan dengan idealisme, realitas yang dicerap (sensed) oleh manusia adalah kenyataan yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, pengetahuan bertumbuh seiring dengan bertambah kompleksnya pengalaman manusia dengan cerapan indranya. Aristoteles, murid dari Plato, memilih jalan yang berbeda, yang akhirnya menjadi fondasi dari sains. Kebenaran korespondensi didasarkan pada prinsip ini. Tugas manusia menurut empirisisme adalah untuk mengindrai sebanyak mungkin dunia tempat ia tinggal (Kenny, 2004).

Namun demikian, Idealisme dan empirisisme bergerak bagai pendulum dalam konstruksi pengetahuan manusia. Di abad 20, ada satu elemen lain yang muncul: bahasa, yang memainkan peran penting sebagai pilar ketiga dari ontologi pengetahuan manusia (Kenny, 2007).

Pendekatan Speech-Act tentang Absahnya sebuah Putusan

Sebuah putusan di proses pengadilan memiliki sisi khas yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang hakim, dan diucapkan saat pengadilan berlangsung. Untuk memahami kompleksitasnya kita akan mulai ilustrasi yang berasal dari dunia seni kontemporer. Apa yang disebut “seni” selalu problematis.

Dahulu, seni terbatas pada khususnya lukisan dan patung. Namun dalam perkembangannya setelah Perang Dunia Kedua, bahkan tempat tidur rusak, kaleng sup, dan batu bata bisa dikategorikan sebagai karya (ouvre). Pengkaji estetika Jerrold Levinson (1996) bahkan sampai pada kesimpulan, tidak akan pernah ada definisi pasti tentang apa itu karya seni.

Pemikir lainnya, George Dickie (1974) menggagas, apapun bisa menjadi karya seni jika: pertama, ada di galeri, dan kedua, diproklamasikan sebagai karya seni, entah oleh seniman, pemilik galeri, kritikus, atau kurator. Sederhananya, kesimpangsiuran dan ambiguitas pendefinisian karya akhirnya diselesaikan dengan dua syarat, yaitu keberadaan institusi dan kapasitas orang yang mengesahkannya.

Di wilayah hukum, bagi pengkaji filsafat pembuktian Ho Hock Lai (2008), sebuah putusan sah hanya jika memenuhi dua syarat: pertama, hanya diucapkan di proses pengadilan di dalam ruang pengadilan, dan kedua, hanya dibacakan oleh hakim (atau juri dalam common law).

Bila kedua ketentuan ini tidak dipenuhi, maka putusan tersebut tidak akan sah. John Langshaw Austin dan muridnya, John Roger Searle, mencoba membedah kerumitan aspek bahasa sebagai instrumen untuk menyatakan kebenaran.

Sama seperti peresmian sebuah gedung, ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam upacara pengguntingan pita. Pertama, pita tersebut hanya bisa digunting saat upacara dilakukan. Bila orang yang ditunjuk untuk meresmikan melakukannya di luar waktu seremonial, maka acara tersebut tidak sah. Kedua, hanya direktur atau orang yang ditunjuk secara resmi yang bisa menggunting pita di acara peresmian.

Bila pekerja konstruksi atau manajer yang tidak berwenang menggunting pita di acara, tidak ada peresmian yang terjadi. Bahkan pejabat pemerintah yang berbeda departemen atau selebritas yang tidak diminta untuk melakukannya pun, tidak memiliki kapasitas untuk menggunting pita tersebut.

Deklarasi, Asersi, Askripsi, dan Ekspresi

Sebuah putusan pada dasarnya diasumsikan sebagai bagian dari kebenaran sejati, meskipun demikian, putusan yang benar pun harus dilakukan dengan cara yang benar pula. Dari sisi filsafat hukum dan filsafat bahasa, Austin (1969) mengatakan, ada dua sisi ujaran: konstatif dan performatif.

Dalam peresmian sebuah gedung, sisi konstatif berfungsi sebagai laporan, misalnya saat diucapkan: “Dengan ini gedung baru saya resmikan”. Bila ucapan tersebut diucapkan saat tindakan menggunting pita dilakukan, maka sifatnya berubah menjadi performatif. Ho mengatakan: “When the court delivers a verdict or makes a finding, it is not only describing or saying something; it is also doing something else” (Ketika pengadilan menyampaikan putusan atau menetapkan sebuah temuan, pengadilan tidak semata-mata mendeskripsikan atau menyatakan sesuatu; melainkan juga melakukan suatu tindakan) (Ho, 2008:14). 

Dari sisi ujaran (speech), bagi Austin (1969) pernyataan seorang hakim dititikberatkan pada aspek ilokusionernya, daripada lokusioner atau perlokusionernya. Dalam aspek lokusioner, mengucapkan sesuatu adalah untuk melakukan sesuatu (to say something is to do something). Secara ilokusioner, saat mengucapkan sesuatu seseorang melakukan sesuatu (in saying something, we do something). Elemen perlokusioner dalam ujaran berarti dengan mengucapkan sesuatu, kita akan-telah melakukan sesuatu (by saying something, we do something) (Ho, 2008:18-20). Pernyataan seorang hakim memiliki kekuatan hukum tepat pada saat dibacakan (Searle, 1998). Aspek deklaratif dari pembacaan putusan di pengadilan berbeda dengan pernyataan politisi di sebuah negara saat menyatakan perang dengan negara tetangganya.

Seorang tidak hanya melakukan tindakan deklaratif, tetapi juga asertif: “The verdict not only declares, it also asserts propositions about (typically antecedent) facts” (Putusan pengadilan tidak hanya bersifat deklaratif, tetapi juga menyatakan proposisi-proposisi mengenai fakta-fakta [yang umumnya bersifat anteseden]) (Ho, 2008:23).

Di dalam proposisi inilah kebenaran faktual dalam bentuk proses pembuktian telah dilakukan. Pernyataan seorang politisi hanya bersifat deklaratif, tetapi tidak memiliki sisi asertif disebabkan oleh elemen proposisional ini. Searle menjelaskan bahwa dalam sebuah deklarasi yang bertalian dengan kebenaran, ada dua jalur yang harus dipenuhi: word-to-world (saat ujaran diungkapkan) dan world-to-word (saat ujaran didukung oleh kenyataan) (Searle, 1998:151).

Dua elemen selanjutnya adalah askripsi dan ekspresi. Dalam membacakan putusan, seorang hakim memberikan pertimbangan dari putusan yang dibacakannya. Ini adalah elemen askriptif dari dari sebuah putusan. Pembacaan ini biasanya dilakukan dengan memberikan kesan negatif atau afirmatif, atau dengan kata lain, setiap putusan memuat aspek ekspresif (Ho, 2008:29).

Dengan kata lain, ada empat lapisan inti yang dipenuhi dalam sebuah pembacaan putusan di ruang pengadilan yang dilakukan setelah proses persidangan dilakukan: deklaratif sebagai inti utamanya, didukung oleh aspek asertif yang memiliki dua elemen komplementer, askriptif dan ekspresif. Keempat poin ini membedakan putusan dari deklarasi perang, janji perkawinan, peresmian gedung, atau kampanye politik-termasuk pernyataan seorang kurator di pembukaan pameran.

Urgensi Argumentasi dalam Deklarasi Putusan

Sebuah kasus di Inggris, Benmax v Austin Motor Co Ltd [1955] AC 370 pada 1955, menunjukkan, alur pembuktian sangat tergantung pada cakupan atau skala dari proposisi-proposisi evidensialnya. Di dalam kasus ini, Benmax adalah karyawan dari perusahaan otomotif Austin Motor yang menggugat perusahaan tempat kerjanya karena tidak memberikan kompensasi yang memadai sehubungan dengan mekanisme pembuatan mesin yang telah dipatenkannya.

Dalam putusan sebelumnya, pengadilan mengabulkan gugatan Benmax, namun dalam tingkat banding dan pengadilan setingkat Mahkamah Agung, hakim memutuskan bahwa paten yang diajukan tidak sah karena tidak memiliki prasyarat kebaruan yang dibutuhkan.

Paten tersebut awalnya mirip dengan mekanisme yang ada di merek mobil Lincoln Zephyr dari pabrik Ford di Amerika Serikat. Di sini dapat dilihat bahwa paten tersebut semula masuk dalam kategori inventif di Inggris, sebelum pembandingnya di negara berbeda menggugurkannya.

Melalui telaah ini menjadi jelas bahwa sebuah putusan di ruang pengadilan tidak dapat dipahami semata-mata sebagai ungkapan kebenaran faktual. Di baliknya terdapat serangkaian elemen kompleks yang melibatkan aspek deklaratif, asertif, askriptif, dan ekspresif, yang keseluruhannya membentuk keabsahan serta makna sebuah keputusan hukum.

Berbeda dengan deklarasi seorang pejabat negara yang sekalipun membutuhkan institusi dan otoritas tertentu untuk dapat menetapkan kebijakan politiknya namun tidak menyaratkan proses pembuktian, keputusan hukum mensyaratkan kewenangan hakim dan proses pembuktiannya di ruang sidang agar dapat diterima sebagai pernyataan hukum yang absah.

Oleh karena itu, pemahaman yang utuh tentang sebuah putusan tidak hanya menuntut perhatian pada fakta-fakta hukum, tetapi juga pada dimensi linguistik yang melatarbelakangi dan melegitimasi keberadaannya.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews