Pembatasan Kesempatan Seleksi Calon Hakim Agung: Antisipatif atau Justru Kontraproduktif?

Pelaksanaan seleksi Calon Hakim Agung merupakan amanat konstitusi, di mana Undang-Undang Dasar 1945 memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR.
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA

Wacana pembatasan kesempatan mendaftar Calon Hakim Agung kembali mengemuka di kalangan legislator. Salah satunya adalah usulan dari legislator Endang Agustina yang ingin membatasi kesempatan tes maksimal dua kali untuk mencegah adanya "calon titipan". 

Namun, gagasan ini menimbulkan pertanyaan krusial: apakah pembatasan semacam itu benar-benar efektif mencegah masalah, atau justru berpotensi menghalangi individu berkualitas yang mungkin gagal pada percobaan pertama karena faktor nonteknis?

Pelaksanaan seleksi Calon Hakim Agung merupakan amanat konstitusi, di mana Undang-Undang Dasar 1945 memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR. 

Lebih dari itu seleksi Calon Hakim Agung merupakan satu fase penting dalam menjaga keadilan di Indonesia. Seleksi Calon Hakim Agung yang baik akan menghasilkan hakim agung berkualitas yang mampu memutus perkara dengan adil.

Meski seleksi Calon Hakim Agung sudah dilaksanakan dengan mekanisme ketat, integritas tetap tidak terjamin. Pada 2022, Sudrajad Dimyati merupakan Hakim Agung yang pertama kali tersangkut korupsi. 

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah pembatasan kesempatan mendaftar benar-benar dapat mencegah masalah, atau justru menghambat lahirnya hakim agung berkualitas?

Antisipatif Atau Kontraproduktif?

Menurut KBBI, antisipatif adalah bersifat tanggap terhadap sesuatu sedangkan kontraproduktif adalah bersifat tidak (mampu) menghasilkan, tidak menguntungkan. 

Jadi langkah antisipatif merupakan langkah yang baik untuk mencegah sesuatu yang buruk. Langkah antisipatif bisa saja menjadi langkah cermat namun bisa juga menjadi langkah kontraproduktif.

Dalam konteks seleksi Calon Hakim Agung, pembatasan kesempatan mendaftar dapat dipandang sebagai langkah antisipatif untuk mencegah calon yang tidak berkualitas maju berkali-kali. Akan tetapi, kebijakan semacam itu justru berisiko mengurangi kesempatan bagi Calon Hakim Agung yang berkualitas. 

Apalagi, kebutuhan hakim agung terus meningkat akibat banyak yang pensiun. 

Sejarah mencatat, pada seleksi Calon Hakim Agung 2016, Komisi III DPR menolak seluruh enam calon yang diajukan KY sehingga tidak ada hakim agung baru yang dilantik. 

Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun mekanisme seleksi sudah ketat, hasilnya bisa tetap nihil tanpa perlu pembatasan jumlah kesempatan mendaftar. Selain dilihat dari sisi praktik, penting juga meninjau kerangka hukum yang mengatur seleksi Calon Hakim Agung.

Kerangka Hukum Seleksi Calon Hakim Agung

Dikutip dari Hukumonline.com, seseorang yang ingin menjadi hakim agung harus memenuhi syarat. Calon hakim agung dapat berasal dari jalur karier maupun non-karier, sebagaimana diatur dalam Pasal 6B Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Saat ini tidak ada ketentuan yang mengatur pembatasan berapa kali seseorang dapat mendaftar Calon Hakim Agung. Peraturan yang ada saat ini hanya mengatur sebatas syarat Calon Hakim Agung misalnya usia, pengalaman, integritas, profesionalitas.

Wacana pembatasan jumlah kesempatan mendaftar Calon Hakim Agung yang dilontarkan oleh legislator berpotensi bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. 

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur tentang hak seseorang untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya secara pribadi dan kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya, meskipun ada ketentuan yang membatasi hak tersebut untuk tujuan kesusilaan, ketertiban umum, dan keutuhan negara. 

Karena itu, pembatasan kesempatan mendaftar bersifat diskriminatif dan menghalangi warga negara mengisi jabatan publik secara setara.

Tidak ada hubungan antara jumlah kesempatan mendaftar dengan kualitas Calon Hakim Agung. Kualitas Calon Hakim Agung ditentukan Integritas, pengalaman dan rekam jejak yang harus dijadikan patokan, bukan frekuensi pendaftaran.

Kesimpulan dan Saran

Dari uraian di atas, terlihat bahwa Indonesia telah memiliki mekanisme seleksi Calon Hakim Agung yang ketat sehingga tidak ada celah bagi calon yang tidak berkompeten untuk lolos. 

Karena itu, pembatasan kesempatan justru berpotensi kontraproduktif, bertentangan dengan prinsip kesetaraan sebagaimana dijamin UUD 1945 dan UU HAM.

Alih-alih menutup kesempatan, Negara seharusnya memperkuat mekanisme rekrutmen dan pengawasan agar hanya calon dengan integritas tinggi yang dapat lolos menjadi Hakim Agung, bukan dengan cara membatasi kesempatan mendaftar. 

Membatasi kesempatan seleksi calon hakim agung ibarat memangkas ranting yang sehat, padahal ranting tersebut memiliki potensi untuk menghasilkan buah yang manis di masa depan.

Bahan Rujukan

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Situs Internet

https://news.detik.com/berita/d-8100943/legislator-usul-aturan-2-kali-kesempatan-tes-demi-hindari-calon-hakim-titipan 
https://nasional.kompas.com/read/2024/10/29/14523611/makelar-kasus-di-ma-daftar-hakim-agung-terjerat-kasus-korupsi?page=all 
https://www.hukumonline.com/klinik/a/syarat-menjadi-hakim-agung-lt5bcfdba5d5cb5/