Isu pencucian uang selalu menjadi perhatian besar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Uang hasil tindak pidana yang disamarkan melalui berbagai transaksi membuat negara dirugikan, sekaligus merusak sistem keuangan yang sehat.
Meski regulasi sudah ada, penegakan hukum perkara pencucian uang di tanah air masih menghadapi hambatan serius, terutama karena koordinasi antar lembaga penegak hukum belum berjalan optimal.
Secara normatif, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yang memberikan dasar kuat untuk menjerat pelaku. Aturan ini tidak hanya menyasar pelaku utama, tetapi juga pihak yang menikmati, membantu, atau menyembunyikan hasil kejahatan.
Namun, dalam praktik, penanganan kasus TPPU sering tersendat karena melibatkan banyak institusi—mulai dari kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Masalah muncul ketika koordinasi antar lembaga tidak sinkron. Ada ego sektoral, perbedaan kepentingan, hingga tumpang tindih kewenangan yang membuat penanganan perkara menjadi lambat dan tidak efektif. Padahal, pencucian uang biasanya terkait dengan kejahatan besar seperti korupsi, narkotika, maupun perdagangan manusia yang berdampak luas bagi masyarakat.
Di sinilah peran Mahkamah Agung menjadi krusial. Sebagai lembaga yudikatif tertinggi, MA tidak hanya memastikan penerapan hukum yang konsisten dalam putusan pengadilan, tetapi juga dapat mengeluarkan regulasi tambahan, seperti Peraturan Mahkamah Agung (Perma), untuk memberikan pedoman teknis bagi hakim.
Dengan adanya pedoman yang jelas, hakim di seluruh Indonesia memiliki acuan seragam dalam menilai perkara TPPU, sekaligus mendorong sinergi antar lembaga penegak hukum.
Ke depan, pemerintah dan lembaga hukum perlu duduk bersama menyusun mekanisme koordinasi yang lebih efektif. Misalnya, membentuk satgas terpadu yang mengintegrasikan data dan informasi dari berbagai instansi. Dengan begitu, penegakan hukum tidak lagi berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling mendukung.
Selain itu, penguatan kapasitas hakim dan aparat dalam memahami instrumen keuangan modern—termasuk aset digital—juga menjadi kebutuhan mendesak agar tidak ada celah bagi pelaku kejahatan.
Harapannya, dengan sinergi yang lebih baik, penegakan hukum perkara pencucian uang dapat benar-benar efektif: memberikan efek jera kepada pelaku, memulihkan kerugian negara, dan menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.