Di era media sosial yang serba cepat dan luas ini, berbagai konten dapat dengan mudah tersebar ke jutaan pasang mata hanya dalam hitungan menit. Namun, tak semua konten membawa manfaat.
Ada pula yang dinilai meresahkan publik—baik karena menyesatkan, mengandung ujaran kebencian, maupun mengganggu ketertiban umum.
Belakangan ini, pemerintah mulai mendorong platform digital seperti TikTok, Instagram, dan lainnya untuk lebih aktif melakukan moderasi konten.
Tekanan ini muncul karena meningkatnya keresahan masyarakat terhadap konten-konten yang dianggap melampaui batas kebebasan berekspresi. Fenomena viral bisa berdampak besar, tak jarang mencederai rasa keadilan atau menciptakan kepanikan.
Secara hukum, upaya ini tak lepas dari perlindungan atas ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta regulasi terkait penyiaran dan media digital.
Namun demikian, perlu diingat bahwa kebebasan berekspresi juga dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E, yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak menyatakan pendapatnya secara lisan dan tulisan.
Di sinilah peran lembaga seperti Mahkamah Agung dan para hakim menjadi sangat krusial. Mereka menjadi penentu batas antara ekspresi yang layak dilindungi dan konten yang memang pantas dibatasi.
Dalam beberapa perkara, hakim harus bijak menimbang apakah sebuah konten melanggar hukum atau hanya sekadar kritik yang tajam.
Perlu juga ditekankan bahwa moderasi konten bukan berarti pembungkaman. Justru, moderasi yang transparan dan akuntabel adalah bentuk tanggung jawab untuk menjaga ruang digital yang sehat.
Platform digital harus memiliki sistem pelaporan yang adil, dan keputusan pemblokiran sebaiknya dilengkapi dengan mekanisme banding.
Ke depan, sinergi antara pemerintah, lembaga yudikatif, platform digital, dan masyarakat sipil sangat dibutuhkan.
Pendidikan literasi digital juga perlu terus digalakkan, agar pengguna internet makin cerdas menyaring informasi dan menyuarakan pendapatnya secara bertanggung jawab.
Dengan demikian, media sosial bisa menjadi ruang dialog yang sehat, bukan arena konflik tanpa kendali. Moderasi bukan soal membatasi, tapi soal menjaga ruang bersama yang aman, adil, dan bermartabat.
