Salah satu persoalan yang jarang dibahas namun memiliki implikasi penting dalam sistem peradilan pidana anak adalah pertanyaan sederhana, siapa yang harus menanggung biaya perkara pidana anak?
Pertanyaan ini, ternyata tidak sesederhana jawabannya, sebab praktik peradilan menunjukkan adanya perbedaan tafsir di antara hakim sebagai penegak marwah keadilan di Indonesia. Di satu sisi, ada hakim yang tetap membebankan biaya perkara kepada anak karena secara faktual anak telah terbukti melakukan tindak pidana.
Di sisi lain, ada hakim yang memutus biaya perkara ditanggung oleh orang tua atau wali dengan pertimbangan anak belum memiliki kemampuan finansial. Sebagian lagi berpandangan bahwa negara seharusnya yang tepat memikul beban tersebut.
Perbedaan tafsir ini, bukan tanpa sebab. KUHAP (Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981) hanya menyebutkan terpidana dikenakan biaya perkara sebagaimana Pasal 222 ayat (1), tanpa membedakan antara dewasa dan anak.
Masalahnya, KUHAP lahir pada tahun 1981, jauh sebelum paradigma perlindungan anak tumbuh kuat melalui UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Ironisnya, UU SPPA sebagai lex specialis juga tidak menjawab persoalan ini.
Bahkan RKUHAP terbaru (yang dimiliki penulis) pun belum memberikan kejelasan. Maka terjadilah ruang kosong yang harus diisi oleh pertimbangan hakim, yang sayangnya tidak selalu seragam.
Padahal posisi anak dalam hukum pidana modern bukan sekadar sebagai pelaku tindak pidana, melainkan sebagai subjek yang membutuhkan pembinaan, pendampingan, dan perlindungan. Menempatkan anak pada posisi yang sama dengan orang dewasa dalam hal pembebanan biaya perkara menimbulkan pertanyaan serius, apakah hal tersebut sejalan dengan prinsip kemanusiaan, perlindungan anak dan keadilan itu sendiri?
Dalam titik inilah penulis dengan melihat dalam praktik peradilan pidana, pembebanan biaya perkara terhadap Terdakwa sebagaimana pasal 222 ayat (1) KUHAP sesungguhnya dapat disimpangi dalam hal Terdakwa dijatuhi pidana mati atau seumur hidup berdasarkan alasan peri kemanusiaan dan keadilan bermartabat, maka biaya perkara dibebankan kepada negara (vide SEMA RI Nomor 1 Tahun 2017).
Lantas dalam perkara pidana anak dengan menggunakan pendekatan serupa, yakni teori Keadilan Bermartabat yang dikembangkan oleh Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si., menjadi kacamata penting untuk membaca ulang persoalan ini.
Teori Keadilan Bermartabat menempatkan manusia (terlebih anak) sebagai makhluk Tuhan yang memiliki martabat (dignity) yang wajib dijunjung tinggi. Hukum, menurut teori ini, bukanlah sekadar kumpulan teks normatif, tetapi sebuah mekanisme untuk memanusiakan manusia atau ngewongke wong. Dengan demikian, dalam perkara anak, keadilan tidak boleh dibangun atas dasar legalisme kering yang mengabaikan martabat anak.
Jika pembebanan biaya perkara dilakukan kepada anak, maka tindakan tersebut dapat dipandang sebagai hukuman tambahan yang tidak proporsional. Anak tidak memiliki pendapatan, tidak cakap bertanggung jawab secara ekonomi, dan sedang berada dalam fase pembinaan.
Memaksakan tanggung jawab biaya perkara kepada anak justru mengingkari esensi sistem peradilan pidana anak yang menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai prinsip utama. Pun, membebankannya kepada orang tua atau wali tidak selalu menghadirkan keadilan. Tidak semua orang tua memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, dan dalam banyak kasus, anak justru berasal dari keluarga yang disfungsional.
Teori Keadilan Bermartabat mengajarkan bahwa hukum harus mengarah pada keadilan substantif, bukan sekadar kepatuhan formal. Keadilan substantif menuntut negara untuk hadir melindungi kelompok rentan, termasuk anak yang berhadapan dengan hukum.
Bila negara mengaku berlandaskan Pancasila, khususnya sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, maka perlakuan terhadap anak tidak boleh hanya berpatokan pada legalistik sempit yang mengabaikan martabatnya.
Di sinilah logika paling bermartabat muncul yaitu biaya perkara pidana anak seharusnya ditanggung oleh negara. Bukan karena anak harus diberi keistimewaan berlebihan, tetapi karena negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi setiap anak Indonesia. Anak adalah masa depan bangsa. Tidak ada negara yang besar dan maju jika negara itu sendiri lalai melindungi anak sebagai generasi penerusnya.
Pembebanan biaya perkara kepada negara juga selaras dengan prinsip justice as humanity dalam pemikiran Keadilan Bermartabat.
Negara tidak boleh memperlakukan anak sebagai individu yang harus menanggung beban hukum secara penuh seperti orang dewasa. Anak harus dilihat sebagai makhluk bermartabat yang memerlukan ruang untuk dipulihkan, bukan dihukum dengan beban ekonomi.
Pengalihan beban biaya perkara kepada negara juga memberikan kepastian hukum yang selama ini hilang akibat kekosongan norma dalam KUHAP dan UU SPPA.
Jika tujuan hukum adalah menghadirkan keadilan, maka keadilan yang memuliakan anak adalah bentuk keadilan yang paling sejati. Bila negara bersungguh-sungguh memaknai anak sebagai aset bangsa, maka sudah sewajarnya negara mengambil alih pembiayaan perkara pidana anak. Kehadiran negara yang melindungi, bukan menghukum secara berlebihan, adalah perwujudan nyata dari keadilan bermartabat.
Dengan demikian, pembebanan biaya perkara pidana anak kepada negara, bukan hanya pilihan yang tepat secara filosofis, tetapi juga secara yuridis dan moral. Di tengah kekosongan norma dan perbedaan praktik peradilan, teori Keadilan Bermartabat memberikan arah bahwa hukum harus kembali kepada keadilan.
Hukum adalah alat untuk mencapai keadilan. Keadilan dalam perkara anak harus diarahkan pada pemulihan, perlindungan, dan penghormatan martabat manusia. Dan dalam konteks itu, negara yang memikul biaya perkara adalah bentuk keadilan yang bermartabat bagi masa depan bangsa.
Penulis :
I Kadek Apdila Wirawan (Hakim PN Gianyar) & Anang Nugraha (Hakim PN Bajawa)
Referensi:
Prasetyo, Teguh, 2018, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Nusa Media
Prasetyo, Teguh et al, 2025, Paradigma Sanksi Pidana dalam KUHP UU No. 1 Tahun 2023 Perspektif Keadilan Bermartabat, Terbit Raja Buku
Prasetyo, Teguh et al, 2025, Keadilan Bermartabat dalam Pertimbangan Putusan Hakim Mewujudkan Peradilan Yang Adil, Terbit Raja Buku
Sinambela, Jamalum et al, 2024, Filsafat Hukum “Keadilan Bermartabat yang Mengubah Arah Hukum”, Terbit Raja Buku
Prasetyo, Teguh et al, 2025, Keadilan Bermartabat Dalam Pembaharuan dan Penegakan Hukum Teori dan Implementasi, Terbit Raja Buku
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana