Perbedaan Daluwarsa dan Pelepasan Hak dalam Skema Peristiwa Hukum Perdata

Daaluwarsa merupakan peristiwa hukum yang penggunaannya diserahkan kepada para pihak, karena tidak semua orang memiliki nilai moral yang sama.
Ilustrasi sejarah hukum. Foto blog.ipleaders.in/
Ilustrasi sejarah hukum. Foto blog.ipleaders.in/

Pelepasan hak (rechtsverwerking) dan daluwarsa (verjaring), merupakan dua lembaga hukum yang seringkali dipertimbangkan dalam sejumlah putusan pengadilan, sehingga tidak jarang menimbulkan kesan bahwa keduanya merupakan satu lembaga hukum yang sama.

Hal tersebut, dapat dipahami mengingat salah satu dampak dari daluwarsa atau lampaunya waktu ialah dapat terbebasnya seseorang dari suatu kewajiban/perikatan (van eene verbintenis bevrijd te worden). Dengan terbebasnya seseorang dari suatu perikatan, maka ada kewajiban serta hak yang hilang sebagaimana lumrah terjadi dalam peristiwa pelepasan hak.

J. Satrio menyatakan, seorang kreditur, dalam jangka waktu yang disebutkan undang-undang, tetap tidak menggunakan haknya, maka haknya hapus karena kedaluwarsa. Menurut J. Satrio, atas dasar peristiwa lampaunya waktu tersebut kreditor patut dianggap telah melepaskan atau merelakan haknya.

Sehingga, pembiaran seorang kreditur terhadap sikap seorang debitur yang tidak membayarkan hutangnya merupakan bentuk pelepasan hak oleh kreditur secara diam-diam (Satrio. J. 2016). Meskipun tindakan pembiaran tersebut mungkin saja tidak selalu dimaksudkan oleh kreditur sebagai pelepasan hak. 

Lembaga hukum daluwarsa atau lampau waktu pada dasarnya memberikan hak kepada pihak yang diuntungkan untuk mengemukakan keadaan lampau waktu tersebut. Dengan demikian, pihak lain yang sebelumnya memiliki hak terhadapnya kehilangan hak untuk menuntut.

Seorang debitur, misalnya, tetap dapat membayar utang yang tidak pernah ditagih kreditur, meskipun telah melewati jangka waktu daluwarsa. Namun, pembayaran itu sepenuhnya bergantung pada kehendak debitur. Jika debitur mengemukakan daluwarsa, maka ia bebas dari kewajiban membayar utang tersebut. Hak untuk menyatakan daluwarsa sepenuhnya ada pada pihak yang diuntungkan, dan tidak dapat diajukan oleh pihak lain, termasuk hakim.

Menurut Pitlo, daluwarsa merupakan peristiwa hukum yang penggunaannya diserahkan kepada para pihak, karena tidak semua orang memiliki nilai moral yang sama. Seseorang dengan integritas tinggi mungkin menolak keuntungan yang timbul dari daluwarsa. Meski dapat merugikan pemilik objek yang dikuasai (acquisitive verjaring) atau kreditur dalam hal extinctieve verjaring, lembaga daluwarsa tetap penting untuk menjaga ketertiban umum dan kepastian hukum.

Berbeda dengan daluwarsa, pelepasan hak tidak memerlukan jangka waktu tertentu. Pelepasan hak sah apabila disertai pernyataan kehendak yang tegas dari pihak yang melepaskan haknya. Meski lampaunya waktu dapat dianggap sebagai pelepasan hak secara diam-diam, waktu hanyalah salah satu bentuknya. Jika pelepasan hak telah dinyatakan secara jelas, maka hak tersebut hilang meski belum melewati waktu yang lama.

Akibat hukum dari daluwarsa timbul semata-mata karena lewatnya jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan-umumnya 30 tahun-tanpa memerlukan adanya kehendak dari pemilik hak. Dalam konsep ini, hukum tidak memperhatikan apakah pemilik hak berniat mempertahankan atau melepaskan haknya. Justru, yang menentukan akibat hukum daluwarsa adalah kehendak pihak yang diuntungkan olehnya.

Keberadaan lembaga daluwarsa dilandasi kepentingan umum dan pragmatisme hukum yang mengutamakan kepastian. Inilah yang membedakannya dengan pelepasan hak, yang merupakan bentuk perbuatan hukum. Pelepasan hak memerlukan pernyataan kehendak dari pemilik hak agar sah dan menimbulkan akibat hukum. Tidak ada patokan waktu pasti untuk pelepasan hak; yang terpenting adalah adanya pernyataan tegas dari pemilik.

Sebagai contoh, barang yang dibuang ke tempat pembuangan sampah oleh pemiliknya dapat langsung dianggap sebagai benda yang telah dilepaskan haknya (res nullius), meskipun belum lewat waktu puluhan tahun. Dengan demikian, daluwarsa adalah peristiwa hukum yang terjadi secara otomatis karena berlalunya waktu, sedangkan pelepasan hak adalah peristiwa hukum yang berupa tindakan hukum yang memerlukan kehendak tegas dari pemilik hak.

Urgensi Pembedaan

Perbedaan antara konsep daluwarsa dan pelepasan hak memiliki dampak penting dalam praktik hukum.

Pertama, daluwarsa dan pelepasan hak merupakan dua peristiwa hukum yang berbeda dan bersifat sui generis. Daluwarsa terjadi secara otomatis hanya karena lewatnya jangka waktu tertentu, tanpa memerlukan kehendak dari pihak yang kehilangan hak.

Sebaliknya, pelepasan hak adalah perbuatan hukum sepihak yang memerlukan kehendak tegas dari pemilik hak untuk menghapuskan atau melepaskan hak tersebut. Karena itu, kriteria penilaian sah atau tidaknya pelepasan hak berbeda dengan daluwarsa.

Kedua, seseorang yang membiarkan haknya tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu belum tentu bermaksud untuk melepaskannya. Untuk menyimpulkan adanya pelepasan hak, harus ada bukti nyata bahwa pemilik hak mengetahui keberadaan hak tersebut dan secara sadar berniat melepaskannya.

Jika pemilik hak tidak tahu bahwa ia memiliki hak tersebut, maka klaim pelepasan hak tidak dapat dibenarkan. Daluwarsa berbeda karena tidak mempertimbangkan pengetahuan atau kehendak pemilik hak, melainkan hanya melihat berlalunya jangka waktu tertentu serta adanya iktikad baik dari pihak yang menguasai objek.

Ketiga, daluwarsa adalah “keadaan nyata” yang dapat berbeda dengan “keadaan hukumnya”. Sebaliknya, pelepasan hak adalah “keadaan hukum” yang bisa berbeda dengan “keadaan nyatanya”.

Dalam pelepasan hak, hak atas suatu benda bisa saja sudah hapus secara hukum, tetapi penguasaan fisik benda tersebut masih berada pada pihak yang melepaskan haknya. Pemahaman perbedaan ini sangat penting untuk menilai apakah suatu kasus memenuhi unsur daluwarsa atau pelepasan hak.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa perlu diperhatikan perbedaan secara mendasar antara daluwarsa dengan pelepasan hak, sehingga penerapan kaidah hukum untuk kedua konsep tersebut dapat dilakukan dengan tepat dan baik oleh para pemangku jabatan yang terkait.

Penulis: Hakim pada Pengadilan Negeri Sampang Petra Kusuma Aji dan 
Hakim pada Pengadilan Agama Pamekasan Akmal Adicahya

Penulis: Petra Kusuma Aji
Editor: Tim MariNews