Burgerlijke Wetboek, Sejarah KUH Perdata Warisan Belanda di Indonesia

Seiring perkembangan zaman dan perubahan kebutuhan hukum, pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa undang-undang yang mencabut beberapa ketentuan pasal dalam KUH Perdata.
Sejarah KUH Perdata Warisan Belanda di Indonesia. Foto Dokumentasi ANRI
Sejarah KUH Perdata Warisan Belanda di Indonesia. Foto Dokumentasi ANRI

Para praktisi hukum Indonesia, pastinya tidak asing dengan KUH Perdata. Karena kitab tersebut, hukum materiil perdata yang berlaku di Indonesia. Asal mula KUH Perdata di Indonesia, tidak terlepas dari sejarah hukum perdata Eropa, serta kolonialisme Belanda di negeri ini. 

Berdasarkan catatan sejarah, pada 1804 dibentuk sebuah hukum perdata bernama Code Civil de Francais, yang oleh masyarakat Eropa disebut dengan Code Napoleon. Tidak berapa lama, akhirnya Belanda dibawah jajahan Perancis, yang berlangsung sejak 1806 hingga 1815.

Seiring peristiwa kolonialisme Prancis, Raja Lodewijk Napoleon menerapkan hukum Wetboek Napoleon Ingericht Voor het Koninkrijk Holland untuk wilayah Belanda, yang isinya mirip dengan Code Civil de Francais. Setelah kekuasaan Prancis berakhir, Belanda resmi menetapkan Wetboek Napoleon Ingericht Voor het Koninkrijk Holland dan Code Civil de Francais, sebagai aturan hukum negaranya.

Wetboek Napoleon Ingerigt voor het Koninkrijk Holland dan Code Civil des Francais, adalah dua kode hukum yang memiliki kaitan erat. Wetboek Napoleon Ingerigt voor het Koninkrijk Holland, kode hukum perdata yang dibuat berdasarkan Code Civil des Français (Kode Napoleon), pada masa pemerintahan Raja Louis Napoleon di Kerajaan Holland. Pada dasarnya, Wetboek Napoleon Belanda, merupakan adaptasi Code Civil Prancis.

Kemudian pada 1814, Belanda mengklasifikasikan aturan-aturan tersebut menjadi KUH Perdata. Pengklasifikasian ini, dibuat Mr. J. M. Kemper, yang dikenal sebagai Ontwerp Kemper. Namun, sebelum Kemper berhasil menyelesaikan tugasnya, dirinya meninggal pada 1824. Selanjutnya, pengklasifikasian dilanjutkan Ketua Pengadilan Tinggi di Belanda, Nicolai.

Pada 6 Juli 1830, perumusan hukum selesai dikerjakan, yang kemudian diberi nama BW atau Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda) dan dibuat juga WvK atau Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Belanda).

Ketika aturan hukum perdata tersebut, selesai disusun, Belanda masih menjajah Indonesia. Belanda secara terang-terangan, menerapkan dua kitab tersebut di Indonesia. 
Bahkan, KUH Perdata dan KUH Dagang sampai sekarang masih digunakan bangsa Indonesia. Pada 1948, atas dasar asas kebijakan pemerintah Indonesia, memberlakukan dua kitab undang-undang hukum perdata peninggalan Belanda secara resmi.

Dalam menyelesaikan peristiwa dan perkara perdata, Indonesia masih menjadikan KUH Perdata, yang merupakan terjemahan Burgerlijk Wetboek (BW) sebagai pedoman. Sebagian besar substansi BW yang dibawa Belanda, bersumber Code Napoleon Prancis, Corpus Juris dari Romawi, serta hukum Belanda kuno.

BW sendiri telah disahkan di Hindia Belanda, melalui Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847. Kodifikasi kitab undang-undang tersebut, diberlakukan sejak 1 Januari 1848 melalui asas konkordansi, yaitu asas yang melandasi pemberlakuan hukum Eropa (Belanda), agar diberlakukan bagi sesama golongan Eropa yang berada di Hindia Belanda, masa itu.

Dari pengertian asas konkordansi, diketahui awalnya BW bukan diperuntukkan bagi golongan pribumi. Hal tersebut, searah dengan politik hukum pemerintah Belanda yang membagi penduduk ke dalam tiga golongan (Pasal 131 Indische Staatsregeling).

Golongan pertama, yaitu golongan Eropa, termasuk orang Belanda. Pada golongan ini, hukum perdata dan hukum dagang yang berlaku adalah BW dan juga hukum dagang Eropa.

Golongan kedua, Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing, bukan Tionghoa, seperti Arab dan India. Pada golongan ini, hukum Eropa yang diberlakukan hanya hukum dagangnya saja. Hukum perdata, yang berkaitan dengan perkawinan, keluarga, serta waris digunakan hukum perdata adat masing-masing.

Golongan terakhir pribumi atau bumiputera, yang menggunakan hukum perdata adatnya masing-masing. Perlu diingat, golongan bumiputera dapat melakukan penundukan hukum terhadap hukum Eropa, baik secara diam-diam ataupun secara tegas dan terang-terangan.

Setelah merdeka pada 1945, Indonesia masih memberlakukan BW yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi KUH Perdata. Hal ini bertujuan, menghindari terjadinya kekosongan hukum pascakemerdekaan.

Dasar pemberlakuan KUH Perdata di Indonesia, yakni Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa, segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada, masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Maka, secara yuridis formil, kedudukan BW tetap sebagai undang-undang, karena kedudukan BW sebagai undang-undang belum dicabut.

Seiring perkembangan zaman dan perubahan kebutuhan hukum, pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa undang-undang yang mencabut beberapa ketentuan pasal dalam KUH Perdata, sesuai asas lex posterior derogat legi priori. 

Selain itu pada1960, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, yang mencabut ketentuan-ketentuan mengenai hak tanah dalam KUH Perdata. Ditambah, pemerintah juga mencabut ketentuan tentang perkawinan dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.

Peraturan perundang-undangan lain, yang mencabut ketentuan dalam KUH Perdata, adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Lain yang Berkaitan dengan Tanah, serta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Guna diketahui, ketentuan dalam KUHPerdata, masih berlaku sebagian, seperti Buku I perihal Orang dan Buku II perihal Benda, serta masih berlaku seluruhnya Buku III perihal Perikatan dan Buku IV perihal Pembuktian dan Daluwarsa.

Penulis: Adeng Septi Irawan
Editor: Tim MariNews