Pertunjukan Musik di Acara Kenegaraan: Antara Diplomasi Budaya dan Empati Publik

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah pertunjukan musik dalam acara kenegaraan benar-benar urgen
Ilustrasi pertunjukan musik. Foto : freepik.com
Ilustrasi pertunjukan musik. Foto : freepik.com

Pagelaran musik dalam acara kenegaraan baru-baru ini menuai kontroversi. Aksi joget sejumlah pejabat yang viral di ruang publik memicu kemarahan masyarakat. Bahkan emosi itu menjalar ke tindakan destruktif terhadap sebagian wakil rakyat. 

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah pertunjukan musik dalam acara kenegaraan benar-benar urgen, atau justru kontraproduktif dengan suasana kebatinan rakyat?

Sejarah Pertunjukan Musik di Acara Kenegaraan

Pada masa Orde Lama, upacara peringatan 17 Agustus di Istana berlangsung khidmat dan penuh sakralitas. Belum dikenal adanya konser musik setelah upacara, apalagi di gedung DPR. Hal ini dapat dimengerti, mengingat situasi bangsa masih penuh gejolak politik dan ancaman disintegrasi.

Kondisi serupa berlanjut pada masa Orde Baru. Meskipun situasi ekonomi lebih stabil, pemerintah tetap menjaga aura resmi acara kenegaraan. 

Hiburan rakyat atau konser musik biasanya diselenggarakan di luar forum kenegaraan. Yang tampil di Istana hanyalah musik formal, lagu kebangsaan, paduan suara pelajar, dan korps musik militer yang meneguhkan suasana nasionalisme.

Baru pada 2003, dibentuk Gita Bahana Nusantara (GBN), gabungan orkestra dan paduan suara yang anggotanya dipilih dari seluruh Indonesia. Mereka tampil secara rutin dalam rangkaian upacara 17 Agustus sebagai simbol persatuan bangsa. 

Gagasan awalnya muncul pada era Presiden B.J. Habibie, tetapi secara resmi diwujudkan pada masa Presiden Megawati.

Perubahan lebih terasa pada era Presiden Joko Widodo. Acara kenegaraan mulai diwarnai penampilan penyanyi populer, seperti Farel Prayoga pada HUT RI ke-77. 

Penampilan tersebut membawa suasana gembira, bahkan mengajak pejabat hingga tamu undangan berjoget bersama. Sejak saat itu, muncul pro dan kontra di masyarakat: apakah suasana sakral boleh dipadukan dengan hiburan yang cair?

Antara Sakralitas dan Diplomasi Budaya

Peringatan 17 Agustus adalah momen sakral. Rakyat berharap acara itu berlangsung khidmat, karena hari itu adalah momentum lahirnya bangsa, penuh dengan pengorbanan pahlawan. 

Jika suasana tersebut diwarnai joget atau hiburan berlebihan, apalagi saat rakyat banyak yang kesulitan ekonomi, muncul kesan paradoks: seakan-akan para pemimpin sedang berpesta di atas penderitaan rakyat. Dari perspektif etika publik, ini bisa dinilai kurang empatik.

Namun di sisi lain, seni dan musik juga bagian dari diplomasi budaya. Kehadiran hiburan bisa menampilkan wajah Indonesia yang ramah, penuh warna, dan mencerminkan keberagaman. 

Dalam budaya kita, “joget” sering dipahami sebagai ekspresi kegembiraan rakyat, bukan sekadar pesta elite. Di titik inilah perdebatan muncul: antara menjaga sakralitas atau memberi ruang ekspresi budaya dalam acara negara.

Aksi Joget dan Realitas Masyarakat

Pejabat negara sejatinya adalah representasi rakyat. Jika rakyat gembira, wajar bila pejabat ikut gembira. Tetapi ketika rakyat sedang berjuang memenuhi kebutuhan hidup, pejabat tetaplah dituntut menunjukkan empati. 

Karena itulah, aksi joget para pejabat di panggung negara dipandang sebagian masyarakat sebagai bentuk ketidakpekaan sosial.

Kegembiraan adalah hak semua orang. Persoalannya terletak pada proporsi. Jika kegembiraan ditampilkan secara sederhana, tetap berakar pada nilai nasionalisme, dan tidak mengaburkan makna sakral peringatan kemerdekaan, masyarakat tentu bisa menerimanya. 

Namun bila terkesan glamor, berlebihan, dan tidak peka terhadap kondisi rakyat, wajar publik melontarkan kritik keras. Apalagi di era media sosial, setiap euforia pejabat bisa dengan mudah dijadikan bahan serangan politik maupun pembunuhan karakter.

Penutup

Kemeriahan dalam acara kenegaraan bukanlah sesuatu yang tabu. Namun ia harus ditempatkan secara proporsional—sederhana, membumi, dan tetap berpijak pada nilai nasionalisme. 

Dalam momentum peringatan kemerdekaan, hiburan sebaiknya berfungsi sebagai perekat persatuan dan sumber optimisme rakyat, bukan paradoks yang menimbulkan luka batin. 

Seperti dikatakan filsuf Albert Camus (filsuf, penulis, dan jurnalis asal Prancis): “Freedom is nothing else but a chance to be better.”( Kebebasan tidak lain hanyalah kesempatan untuk menjadi lebih baik).

Kebebasan berekspresi dalam acara kenegaraan hendaknya dipakai sebagai peluang untuk memperkuat bangsa, bukan memperlebar jarak antara pemimpin dan rakyat.