Keadilan yang dikagumi ternyata tak selalu berpihak pada yang tertindas. Dalam sejarah panjang peradaban, banyak aturan dibuat atas nama hukum, namun justru melegitimasi ketimpangan. Di sinilah teori hukum kritis hadir, tidak untuk menolak hukum, melainkan membongkar ilusi keadilan yang tertanam dalam sistem hukum yang mapan.
Teori hukum kritis menantang gagasan bahwa hukum adalah netral dan objektif. Hukum, dalam pendekatan ini, tidak berdiri di atas awan moral yang suci, melainkan lahir dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak selalu adil. Maka, keadilan yang diproduksi oleh hukum seringkali hanya ilusi yang dinikmati oleh segelintir kelompok dominan.
Keadilan yang dikonstruksi oleh hukum formal sering kali tidak memperhitungkan realitas ketimpangan sosial. Ia berbicara tentang kesetaraan di hadapan hukum, namun mengabaikan kenyataan bahwa tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap perlindungan hukum. Yang lemah sering terpinggirkan, bahkan dalam proses yang disebut “adil”.
Dekonstruksi terhadap konsep keadilan membuka ruang untuk memahami bahwa hukum tidak bebas nilai. Ia dipengaruhi oleh sejarah, budaya, dan relasi kuasa. Dalam praktiknya, hukum bisa menjadi instrumen represi, bukan pembebasan. Teori hukum kritis mengajak untuk melihat keadilan tidak hanya dari perspektif aturan, tetapi dari sudut pandang korban ketidakadilan.
Contoh nyata tampak dalam kasus-kasus agraria. Banyak komunitas adat yang terusir dari tanahnya karena investasi legal yang ditopang oleh peraturan negara. Di mata hukum, prosesnya sah. Namun di mata masyarakat adat, keadilan telah dikubur hidup-hidup. Di sinilah teori hukum kritis menyerukan pembacaan ulang terhadap konsep “sah” dan “adil”.
Dekonstruksi keadilan tidak bermaksud menciptakan kekacauan. Sebaliknya, ia mendorong perenungan yang jujur terhadap fondasi-fondasi hukum. Mengapa hukum lebih sering berpihak kepada yang kuat? Mengapa suara rakyat kecil tenggelam dalam suara para elite? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kunci untuk membangun tatanan hukum yang lebih manusiawi.
Dalam pendekatan hukum kritis, keadilan dipahami secara politis dan struktural. Tidak cukup hanya melihat isi undang-undang, tetapi juga siapa yang menyusunnya, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan. Analisis semacam ini membongkar mitos bahwa hukum selalu berpihak pada kebenaran.
Dekonstruksi juga memaksa pembacaan hukum secara kontekstual. Tidak ada pasal yang sakral jika ia melanggengkan ketidakadilan. Maka, penting untuk mempertanyakan dasar moral dan sosial dari setiap aturan hukum. Jika hukum menyakiti yang lemah, maka hukum itu perlu dikoreksi atau bahkan dihapuskan.
Filsafat hukum yang berakar pada nilai-nilai religius mendukung semangat dekonstruksi ini. Dalam banyak ajaran keagamaan, hukum ditegakkan bukan hanya demi ketertiban, tetapi demi menegakkan kebaikan dan menghapuskan kezaliman. Keadilan sejati bukan hasil prosedur, tetapi hasil keberpihakan kepada yang tertindas.
Teori hukum kritis juga menghidupkan kembali idealisme dalam praktik hukum. Hukum tidak cukup hanya ditegakkan, tetapi juga harus dipertanyakan dan diperbaiki. Hukum yang adil adalah hukum yang selalu bersedia dievaluasi, bahkan diubah, demi memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini dibungkam.
Dalam masyarakat demokratis, pendekatan kritis ini menjadi penting untuk menjaga akuntabilitas sistem hukum. Kritik terhadap hukum bukan bentuk pembangkangan, melainkan bentuk kepedulian terhadap keadilan. Melalui kritik, hukum dapat terus bergerak menuju wajah yang lebih inklusif dan berperikemanusiaan.
Hukum yang dibela mati-matian tanpa evaluasi akan berakhir sebagai berhala yang menindas. Sebaliknya, hukum yang terbuka terhadap kritik akan berkembang menjadi sistem yang responsif, adil, dan benar-benar melindungi yang lemah. Di sinilah letak kekuatan dari dekonstruksi keadilan.
Dalam perspektif spiritual, keadilan adalah amanah ilahi yang tidak boleh ditukar dengan kemapanan prosedural. Keadilan yang sejati harus menembus batas formalitas dan mengakar dalam kasih, empati, dan keberanian untuk melawan yang salah. Keadilan semacam ini adalah cahaya yang menuntun umat manusia menuju kemuliaan.
Pada akhirnya, teori hukum kritis bukan ajakan untuk meruntuhkan hukum, melainkan membangunkan hukum dari tidur panjang. Ia menantang untuk melihat hukum dari sisi yang selama ini dilupakan, dari penderitaan yang bisu, dari ketidakadilan yang disahkan, dan dari kebenaran yang tertutup oleh prosedur.
Keadilan yang sejati hanya akan lahir ketika hukum dibaca dengan mata hati dan dinilai dengan keberanian nurani. Maka, dekonstruksi bukan akhir, tetapi awal dari sebuah pencarian besar menuju tatanan hukum yang bukan hanya sah secara formal, tetapi benar secara moral dan membawa berkah bagi seluruh umat manusia.