“Intellectual property rights, then, are not simply legal entitlements filed away in legal texts; they empower and limit the way we live, learn, communicate, consume, create, innovate and develop. As such, how and what intellectual property rights are granted, to whom and with what consequences should be the concern of us all.”
Valbona Muzaka (The Politics of Intellectual Property Rights and Access to Medicines, 2011).
Filsuf Swiss, Jean-Jaques Rousseau berargumen, ketidakadilan dimulai saat manusia menemukan dan mengeklaim keberadaan sesuatu sebagai miliknya. Dengan kata lain, bagi Rousseau, tindakan yang tidak adil adalah dorongan atau desakan untuk memiliki sesuatu.
Pemikiran Rousseau sebenarnya seperti pedang bermata ganda. Di satu sisi, ia mencoba mencari justifikasi ontologis dari hakikat manusia pasca-Hobbesian, bahwa sebenarnya manusia pada dasarnya baik-keburukannya muncul karena realitas dunia yang ia hadapi.
Di sisi lain, Rousseau mungkin mengajukan keberatan ekspansi merkantilistik yang dilakukan negara-negara di Eropa terhadap wilayah-wilayah kolonial mereka. Di masa Rousseau hidup kapitalisme gelombang kedua, yaitu Revolusi Industri, baru mulai. Hak cipta mulai naik ke permukaan; bahkan untuk hal trivial seperti lukisan, kebiasaan menandatangani karya seni secara eksklusif mulai gencar di era ini.
Rousseau mengatakan dalam naskah terjemahan Inggris dari karya seminalnya Discours sur l’origine et les fondements de l’inégalité parmi les hommes: “But above all things let us beware concluding with Hobbes, that Man, as having no Idea of Goodness, must be naturally bad; that he is vicious because he does not know what Virtue is that he always refuses to do any service to those of his own species, because he believes that none is due to them” (Namun penting adanya, agar kita berhati-hati untuk tidak mengambil kesimpulan, sebagaimana Hobbes, bahwa manusia, yang dianggap tidak memiliki gagasan tentang kebaikan, haruslah secara alami dianggap jahat; bahwa ia bersikap tercela karena tidak mengetahui apa itu kebajikan, sehingga ia selalu menolak melakukan apa pun untuk sesama manusia, lantaran meyakini bahwa tiada kewajiban apa pun yang ada pada mereka) (Rousseau, 1761:68).
Di masa itu, lapisan masyarakat baru, borjuasi, naik ke permukaan. Berbeda dengan aristokrat sebelumnya, golongan ini tidak memiliki keterikatan darah apapun dengan raja atau ratu. Mereka harus mendefinisikan status mereka sendiri dari awal.
Mencari Hak dalam Proses Penciptaan
Penstudi hak-hak atas kekayaan intelektual, Debora J. Halbert, memberikan catatan bahwa bagi WIPO (World Intellectual Property Organization-organisasi yang menaungi kekayaan intelektual dunia), hak atas penciptaan penting karena melindungi penciptanya. Namun demikian, kritik Halbert, WIPO hanya melihat proses kreatif sebagai bagian dari instrumen ekonomi, bukan sebagai apresiasi terhadap kemampuan manusia.
Kekayaan intelektual (KI) cenderung menjadi perpanjangan tangan Barat terhadap ekspansi gelombang kapitalisme keempat dalam struktur ekonomi neoliberal (Halbert, 2017:199-202). Penstudi lainnya, Blayne Haggart mengatakan bahwa KI menentukan harga obat yang kita minum, memengaruhi gerak kebudayaan, membuat perusahaan raksasa teknologi seperti Apple terus menangguk keuntungan dan bahkan menentukan apakah produk mereka bisa diservis atau tidak. Singkatnya, alih-alih sebagai katalis kebudayaan, KI sekarang lebih cenderung berperan sebagai arsenal geopolitik (Haggart, 2017:218).
Pakar hukum Valbona Muzaka melihat KI bahkan sebuah ekses dari konsep kepemilikan dan properti. Muzaka mengatakan, bahwa menjadi semacam garis pembatas antara yang kaya (“the haves”) dan mereka yang tidak memiliki apapun (the “have-nots”). Lebih lanjut catat Muzaka: “what is to be owned, that is, ideas, knowledge and other products of the human intellect, are not scarce and are intrinsically inappropriable” (yang dimiliki sebagai properti, yaitu gagasan, pengetahuan, dan produk lain dari intelek manusia, bukanlah barang langka dan secara alamiah tidak tepat diperlakukan sebagai properti) (Muzaka, 2011:18).
Pola pikir itu, memiliki dampak serius ketika diterapkan pada obat-obatan, dan berbagai produk industri farmasi yang berakibat langsung pada misi kemanusiaan. Dengan kata lain, bila hak cipta sebatas barang mewah yang ada sebagai pelengkap interior masyarakat kelas atas, KI mungkin masih relevan. Sebaliknya bila KI ditujukan untuk membatasi pengetahuan tentang obat seperti Pandemi Covid-19, maka relevansinya patut dipertanyakan.
Pakar hukum pengkaji KI, David Koepsell, mengatakan tentang perundang-undangan KI: “regulating too much too early may be wasteful, and yet failing to properly identify real hazards or harms can be disastrous” (Pengaturan yang berlebihan secara prematur dapat bersifat inefisien; namun kegagalan mengidentifikasi secara tepat bahaya atau dampak merugikan yang nyata dapat berujung pada konsekuensi yang berbahaya) (Koepsell, 2011:90).
Kita dapat membaca kecenderungan KI dalam kerangka Rousseau sebagai elemen regresif alih-alih progresif terhadap perkembangan kebudayaan. Terlebih lagi, di era kecerdasan buatan (AI), kreativitas intelektual semakin sulit dibendung. Berbagai batasan dalam memeroleh jurnal ilmiah, misalnya, mendapat respons negatif dengan munculnya situs-situs ilegal yang menarik mentahan (scraping) data di internet oleh para peretas (hacker), dan mengunggahnya secara gratis.
Mencari Pagar Pembatas Kreatifitas Manusia
Kasus fotografer Singapura Zhang Jingna menunjukkan problematisnya membatasi intelektualitas manusia dengan KI. Zhang menggugat seniman Jeff Dieschburg ke pengadilan di Luxembourg, Eropa, karena mempergunakan karyanya tanpa izin untuk sebuah kompetisi. Dieschburg menolak tuduhan, tersebut karena ia mendapatkannya dengan mempergunakan AI yang dilatih dengan gaya berkesenian Zhang.
Di Desember 2022, pengadilan memenangkan Dieschburg dengan argumen bahwa lukisannya adalah bentuk apropriasi (semacam modifikasi) dari karya seni yang ada, dan praktik ini sah dilakukan seniman. Zhang kemudian mengajukan banding ke pengadilan Luxembourg, yang kali ini memenangkannya pada 8 Mei 2024 (Mtoday, 22 Mei 2024, Kong Kit Yan).
Di tahun yang sama, Zhang bersama tiga perupa lainnya yang merasa dirugikan oleh AI (Sarah Andersen, Hope Larson, dan Jessica Fink) mengajukan gugatan nomor Kasus 3:24-cv-02531 melawan Google dan Alphabet (induk perusahaan Google) di pengadilan San Francisco. Zhang dan rekan senimannya merasa dirugikan dengan praktik scraping data di internet yang dilakukan Google.
Sains dan teknologi selalu bergerak selangkah lebih dulu daripada hukum. Gugatan yang diajukan oleh Zhang dan beberapa seniman mungkin lebih bersifat reaktif daripada reflektif. Ini berarti langkah Zhang sulit menjadi preseden bagi yang lain, karena batas kepemilikan ide setelah data beredar di internet menjadi sangat samar.
Pengkaji KI Aaron Perzanowski dan Jason M. Shultz menjelaskan, ide dasar dari perlindungan KI secara hukum ada pada konsep benda “asli” dan “tiruan resmi” yang sifatnya fisik. Hukum membedakan dua elemen dalam KI: pertama, gagasan yang ada di pikiran, dan kedua, benda nyata yang berisi gagasan tersebut. Masalahnya, dengan begitu masifnya sebaran tiruan (copy), apalagi ketika tiruan menjadi sangat mudah dan berbentuk data, maka mengendalikan hak KI menjadi sulit. Perzanowski dan Schultz menjelaskan, KI memiliki persoalan fundamental: konsumen selalu berstatus sebagai penyewa, sekalipun mereka memiliki kemampuan untuk mengubah dan menyebarluaskan dengan mudah (Perzanowski dan Schultz, 2016:35-37).
Jalan Ketiga Polemik Kekayaan Intelektual
Pakar studi KI, James Boyle, menawarkan jalan tengah di antara tegangan supremasi KI dan negasinya. Ruang Creative Commons di internet bagi Boyle adalah sebuah sarana untuk keluar dari polemik ini. Dalam Creative Commons, pemilik gagasan dengan sukarela memberikan karyanya di sini secara gratis, dan konsumen memberikan apresiasi dengan mencantumkan nama penggagasnya.
Bagi Boyle, solusi “terbaik” dengan gigih dan kaku menegakkan hak cipta akan semakin sulit dilihat relevansinya. Creative Commons adalah solusi “second best” yang sejalan dengan perkembangan teknologi (Boyle, 2008:182-184). Gagasan Boyle ini ada di koridor yang sama dengan praktik streaming seperti Netflix, yang menggantikan model bisnis rental video. Bila kita hitung secara bruto, harga sewa menonton satu film di Netflix Indonesia bahkan tidak sampai satu rupiah.
Singkatnya, perdebatan mengenai kekayaan intelektual menuntut kita untuk melihatnya tidak semata sebagai instrumen hukum atau ekonomi, tetapi sebagai bagian dari lanskap sosial-budaya yang terus berubah. Sejarah menunjukkan bahwa gagasan dan pengetahuan pada hakikatnya bersifat cair, berpindah, dan bertransformasi mengikuti kebutuhan zaman.
Namun, ketika batas-batas kepemilikan dipertegas secara berlebihan tanpa memperhatikan implikasi terhadap pemerataan akses, kita berisiko menghambat aliran kreativitas dan inovasi yang justru menjadi tujuan awal perlindungan tersebut. Tantangannya adalah merumuskan kerangka yang cukup lentur untuk mengakomodasi percepatan teknologi, tanpa mengorbankan penghargaan yang layak bagi pencipta.
Dengan demikian, kebijakan kekayaan intelektual yang bijaksana harus memadukan perlindungan dengan keterbukaan, agar ia berfungsi sebagai jembatan, bukan tembok, antara hak individu dan kemaslahatan bersama.