Menyoal Putusan Ultra Petita dalam Perkara Pidana

Secara harfiah, ultra petita berasal dari bahasa Latin, ultra berarti melampaui, dan petitum berarti tuntutan.
Ilustrasi putusan hakim. Foto : Freepik
Ilustrasi putusan hakim. Foto : Freepik

Dalam dunia peradilan pidana, hakim sering berada di persimpangan antara dua jalan yaitu jalan hukum yang formal dan jalan keadilan yang selalu hidup dalam hati nurani hakim. 

Di satu sisi, hukum acara pidana membatasi ruang gerak hakim agar hanya memutus sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut umum. Namun di sisi lain, rasa keadilan yang hidup di masyarakat sering kali menuntut lebih. 

Dari sinilah muncul fenomena yang disebut putusan ultra petita yaitu ketika hakim menjatuhkan putusan melampaui apa yang didakwakan atau dituntut oleh penuntut umum. 

Secara harfiah, ultra petita berasal dari bahasa Latin, ultra berarti melampaui, dan petitum berarti tuntutan. Dalam praktik peradilan, istilah ini menggambarkan keadaan ketika hakim memutus perkara berdasarkan pasal atau pertimbangan yang tidak termuat dalam surat dakwaan. 

Fenomena ini umum dalam perkara perdata, tetapi dalam perkara pidana, hal tersebut menjadi isu sensitif karena berkaitan langsung dengan asas legalitas salah satu prinsip paling mendasar dalam hukum pidana.

Asas Legalitas sebagai Batas Kekuasaan Hakim

Asas legalitas tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”

Dalam hukum acara pidana, asas ini diterjemahkan ke dalam sejumlah ketentuan KUHAP, di antaranya Pasal 143 ayat (2) yang mengatur kejelasan surat dakwaan, Pasal 182 ayat (4) yang menegaskan bahwa hakim hanya boleh memutus berdasarkan dakwaan dan pembuktian di persidangan, serta Pasal 193 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pidana hanya dapat dijatuhkan jika kesalahan terdakwa terbukti sah dan meyakinkan.

Artinya, dakwaan jaksa menjadi batas yurisdiksi hakim. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana berdasarkan perbuatan yang tidak disebut dalam dakwaan, sekalipun fakta persidangan menunjukkan hal lain. 

Bila hakim melampaui dakwaan, putusannya dianggap ultra vires, bertindak di luar kewenangan.

Namun, praktik di pengadilan tidak selalu sesederhana itu. Dalam sejumlah perkara, hakim berhadapan dengan situasi di mana surat dakwaan dinilai tidak sempurna, sementara fakta di persidangan menunjukkan adanya unsur pidana lain yang lebih tepat. 

Dalam kondisi seperti ini, beberapa hakim memilih untuk menafsirkan hukum secara lebih luas demi mewujudkan keadilan substantif.

Kasus dan Contoh Nyata

Salah satu contoh menonjol adalah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor 17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST. 

Dalam perkara tersebut, hakim menjatuhkan vonis terhadap terdakwa dengan menggunakan pasal yang tidak termuat dalam dakwaan penuntut umum. Majelis hakim berpendapat berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan, perbuatan terdakwa terbukti secara sah, hanya saja pasal yang digunakan jaksa keliru.

Langkah hakim ini menimbulkan perdebatan luas. Sebagian pihak menilai hakim telah melanggar Pasal 191 KUHAP, karena seharusnya terdakwa diputus bebas bila perbuatannya tidak sesuai dengan pasal yang didakwakan. 

Namun, sebagian lain melihatnya sebagai bentuk keberanian hakim untuk mencari keadilan yang lebih substantif.

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987, Mahkamah bahkan membenarkan putusan serupa dengan alasan bahwa hakim boleh menjatuhkan putusan berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan, selama tidak merugikan terdakwa. 

Akan tetapi, tidak semua putusan searah. Dalam Putusan MA Nomor 321 K/Pid/1983, Mahkamah menegaskan larangan bagi hakim untuk memutus di luar dakwaan. Ketidakkonsistenan ini memperlihatkan bahwa persoalan ultra petita memang belum memiliki batas yuridis yang tegas.

Antara Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan

Dalam teori hukum, dilema ini dijelaskan dengan baik oleh Gustav Radbruch yang menyebutkan bahwa hukum harus menyeimbangkan tiga nilai dasar yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. 

Ketiganya sering kali saling bertabrakan. Ketika hakim menegakkan kepastian hukum secara kaku, keadilan substantif bisa terabaikan. Sebaliknya, ketika hakim menonjolkan keadilan moral tanpa batas hukum, timbul ketidakpastian dan potensi kesewenang-wenangan.

Dalam konteks ini, muncul pandangan dari Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif. Ia menegaskan bahwa hukum seharusnya tidak terkungkung oleh teks undang-undang, melainkan harus berpihak kepada manusia. Hakim tidak boleh menjadi “corong undang-undang”, melainkan “corong keadilan”. 

Pandangan ini memberi ruang bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) menemukan makna hukum yang adil melalui interpretasi yang bijaksana.

Namun, kebebasan tanpa batas juga berisiko. Jika semua hakim menafsirkan hukum menurut nuraninya masing-masing, sistem peradilan akan kehilangan kepastian dan konsistensi. 

Karena itu, Sudikno Mertokusumo mengingatkan bahwa penemuan hukum harus tetap dilakukan dalam kerangka norma yang ada, bukan di luar hukum.

Kebijakan dan Pedoman dari Mahkamah Agung

Dalam perkara tindak pidana narkotika Mahkamah Agung memberikan pedoman melalui Surat Edaran Mahkamah Agung, antara lain:

SEMA Nomor 3 Tahun 2015, hakim wajib memeriksa dan memutus perkara berdasarkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (3) dan (4) KUHAP. Apabila jaksa mendakwa terdakwa dengan Pasal 111 atau Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun fakta persidangan justru menunjukkan bahwa terdakwa terbukti sebagai pemakai dengan jumlah kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 UU Narkotika (yang tidak didakwakan), maka hakim tetap memutus berdasarkan surat dakwaan. 

Namun, sesuai SEMA Nomor 4 Tahun 2010, hakim dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan memberikan pertimbangan hukum yang cukup.

SEMA Nomor 1 Tahun 2017, apabila penuntut umum tidak mendakwakan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun fakta persidangan menunjukkan bahwa terdakwa terbukti sebagai penyalah guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri, maka Mahkamah Agung tetap berpedoman pada SEMA Nomor 3 Tahun 2015 angka 1. 

Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus mendasarkan putusannya pada fakta hukum yang terbukti di persidangan serta tetap berlandaskan surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (3) dan (4) KUHAP;

Meski tidak bersifat undang-undang, pedoman tersebut merupakan arah kebijakan yudisial agar tidak terjadi penyimpangan prinsip hukum acara pidana.

Dilema Hakim di Tengah Kekosongan Norma

Masalah utama dari fenomena ultra petita adalah kekosongan pengaturan dalam KUHAP. Tidak ada pasal yang secara eksplisit melarang atau memperbolehkannya. Akibatnya, setiap hakim memiliki ruang interpretasi sendiri, yang kadang menimbulkan inkonsistensi dan ketidakpastian hukum. 

Dari sisi dogmatik hukum pidana, putusan yang melampaui dakwaan jelas melanggar prosedur formal dan berpotensi menimbulkan cacat hukum. 

Namun dari sisi filosofis dan sosiologis, langkah tersebut memiliki tujuan mencari keadilan substantif. Di sinilah pentingnya keseimbangan antara hukum yang tertulis dan keadilan yang hidup dalam hati nurani hakim.

Menegakkan Keadilan dengan Bijak

Hakim di Indonesia sebenarnya tidak dilarang untuk menafsirkan hukum, tetapi kebebasan itu harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, hakim memang diberi ruang untuk menafsirkan hukum secara progresif, tetapi tetap dalam batas-batas konstitusional.

Seorang hakim yang baik bukan hanya ahli dalam hukum, tetapi juga arif dalam menegakkan keadilan. Ia harus mampu berdiri di antara dua kutub antara teks hukum yang kaku dan rasa keadilan yang dinamis. 

Karena pada akhirnya, hukum bukan hanya kumpulan pasal, melainkan sarana untuk menegakkan martabat manusia.

Penutup

Putusan ultra petita dalam hukum acara pidana adalah cermin dari kompleksitas sistem hukum Indonesia. Ia menunjukkan bahwa hukum tidak selalu mampu menjawab setiap persoalan dengan kaku, dan bahwa keadilan sering kali menuntut keberanian untuk berpikir di luar teks. 

Namun, keberanian tanpa batas juga bisa menjadi bumerang bagi tegaknya kepastian hukum.

Oleh karena itu, langkah ke depan yang diperlukan adalah pembaruan KUHAP yang secara jelas mengatur batas kewenangan hakim dalam menjatuhkan putusan. 

Dengan demikian, sistem peradilan kita dapat menegakkan hukum tanpa mengorbankan keadilan, dan menegakkan keadilan tanpa melanggar hukum.

Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Radbruch, “Hukum tanpa keadilan hanyalah kekuasaan yang teratur, sedangkan keadilan tanpa hukum hanyalah kehendak yang liar.”