Dalam proses peradilan, alat bukti memegang peranan penting yang menentukan arah putusan hakim. Namun demikian, pihak yang berperkara tidak selalu memiliki atau memegang alat bukti yang dapat menguatkan dalil-dalilnya.
Alat bukti yang diperlukan bisa jadi berada di pihak lawan, ataupun dipegang oleh pihak yang tidak berperkara.
Ketiadaan alat bukti pada pihak berperkara tersebut tentu menjadi permasalahan. Sebagai contoh bukti surat dalam perkara perdata, karena alat bukti surat yang tidak dapat ditunjukkan aslinya, akhirnya dikesampingkan sebagai alat bukti (Pasal 1888 KUH Perdata).
Dalam tradisi common law, dikenal sebuah lembaga penting yang berfungsi untuk membantu para pihak memperoleh informasi dan alat bukti yang diperlukan untuk proses persidangan, yaitu subpoena.
Subpoena diambil dari bahasa Latin, "et hoc sub poena centum librorum nullatenus omittas" (dan kemudian di bawah hukuman seratus pound untuk kegagalan hadir) yang terdapat pada surat perintah untuk hadir. Sub poena sendiri artinya adalah di bawah ancaman hukuman.
Jadi secara singkat, subpoena adalah perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan atau badan berwenang lainnya untuk mewajibkan seseorang hadir ke pengadilan atau menyerahkan bukti tertentu, dengan ancaman hukuman jika tidak mematuhinya.
Jenis-Jenis Subpoena
Berikut beberapa jenis subpoena yang ada di beberapa negara penganut tradisi common law:
- Subpoena ad Testificandum: Ini adalah jenis subpoena yang paling awal dan paling utama, yang asalnya dari peradilan chancery di Inggris abad ke-14. Tujuannya adalah untuk memanggil calon saksi agar hadir dan memberikan kesaksian. Setelah munculnya undang-undang di bawah Ratu Elizabeth I pada tahun 1562, pengadilan pada sistem common law juga diberikan kekuasaan subpoena ini yang kemudian berkembang menjadi jenis subpoena yang lain.
- Subpoena Duces Tecum: Secara harafiah subpoena Duces Tecum artinya, “di bawah ancaman hukuman, anda harus membawa bersama anda”. Subpoena ini mencakup perintah yang dikeluarkan untuk memaksa memproduksi dokumen atau barang berwujud lainnya.
Perbandingan dengan Hukum Acara Perdata di Indonesia
Dalam hukum acara perdata di Indonesia, terdapat lembaga yang mirip dengan subpoena, yaitu pemanggilan saksi dengan bantuan hakim yang diatur di pasal 168 RBg/139 HIR/184 Rv.
Perbedaan pemanggilan saksi dengan subpoena adalah, subpoena tidak hanya digunakan untuk menghadirkan saksi, namun juga perintah untuk menyediakan surat dan informasi.
Dalam proses subpoena, pihak yang membutuhkan alat bukti mengajukan subpoena kepada pihak lawan melalui perantaraan pengadilan.
Pengadilan kemudian menilai apakah subpoena tersebut dapat dikabulkan. Apabila permintaan subpoena dikabulkan, maka pihak lawan akan diberikan waktu yang cukup untuk menanggapi permintaan subpoena tersebut.
Pembatasan dan Pengamanan Subpoena
Pada prinsipnya subpoena adalah perintah pengadilan atas permintaan para pihak. Namun demikian, dengan mengingat daya paksa yang ada padanya tentu subpoena berpotensi untuk disalahgunakan.
Untuk itu perlu diberikan batasan-batasan agar tidak bertentangan dengan hukum yang ada. Di beberapa negara terdapat ketentuan sebagai batasan subpoena, antara lain adalah:
- Penyampaian yang sesuai ketentuan: Subpoena wajib disampaikan sesuai dengan tata cara yang ditentukan oleh hukum. Pada umumnya melalui penyampaian langsung kepada pihak yang bersangkutan atau melalui surat tercatat. Apabila subpoena tidak disampaikan kepada orang atau badan hukum yang tepat, atau tidak mengikuti prosedur yang sah, maka dapat diajukan keberatan terhadap subpoena dan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum.
- Waktu kepatuhan yang memadai: Penerima subpoena harus diberikan waktu yang wajar untuk melaksanakan perintah tersebut. Ketentuan ini berlaku baik dalam bentuk penyerahan dokumen maupun perintah kehadiran di persidangan. Subpoena yang memberikan tenggat waktu yang terlalu singkat dapat dinilai tidak proporsional dan berpotensi membebani pihak penerima.
- Batasan wilayah: Subpoena yang melampaui batas jarak yang wajar/ditentukan dianggap melanggar asas keadilan karena menimbulkan beban yang tidak wajar bagi pihak yang dipanggil.
- Batasan terhadap Informasi yang dilindungi: Subpoena tidak dapat digunakan untuk memaksa pengungkapan informasi yang dilindungi oleh hukum, seperti komunikasi antara advokat dan klien, catatan medis, atau rahasia dagang. Permintaan semacam ini hanya dapat dilakukan apabila terdapat dasar hukum yang sah atau telah ada pelepasan hak kerahasiaan dari pihak yang berwenang.
- Permintaan yang wajar dan spesifik: Subpoena yang bersifat terlalu luas, tidak spesifik, atau tidak relevan dengan pokok perkara dapat digugat karena bertentangan dengan prinsip efisiensi dan relevansi dalam proses peradilan. Pencarian informasi secara spekulatif tanpa dasar hukum yang jelas umumnya tidak diperbolehkan.
Selain batasan-batasan tersebut, perlu juga pengaturan perihal mekanisme keberatan yang dapat diajukan oleh pihak yang di-subpoena untuk kemudian dipertimbangkan oleh pengadilan (motion to quash).
Urgensi Pengaturan Subpoena dalam Sistem Hukum Indonesia dan Manfaatnya
Dengan pembahasan rancangan undang-undang hukum acara perdata yang saat ini telah berjalan. Penulis berpendapat bahwa pelembagaan subpoena adalah solusi untuk mengatasi masalah nyata yang ada di persidangan.
Beberapa keuntungan melembagakan subpoena di sistem hukum perdata di Indonesia adalah:
- Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan: Dengan kemudahan dalam perolehan alat bukti bagi para pihak, hakim tidak mengalami kesulitan dalam mencari fakta hukum. Masyarakat pencari keadilan juga akan lebih percaya pada pengadilan, karena seluruh alat bukti untuk memperoleh fakta hukum dapat diakses oleh para pihak selama persidangan (mendukung prinsip keterbukaan dan akuntabilitas).
- Mencegah obstruction of justice: Tanpa lembaga subpoena, pihak yang menguasai dokumen penting dapat menolak memberikan bukti dengan alasan tidak memiliki kewajiban hukum. Subpoena mencegah tindakan tersebut, karena pihak yang penerima surat perintah pengadilan wajib mematuhinya, dan dapat dikenai sanksi hukum jika mengabaikannya.
- Menjamin prinsip kesetaraan di persidangan: Dalam perkara perdata, sering kali terdapat ketimpangan akses terhadap bukti. Sebagai contoh dalam perkara yang melibatkan individu dan korporasi besar. Lembaga subpoena memungkinkan pihak yang lemah untuk meminta bantuan pengadilan memperoleh bukti dari pihak lain, sehingga tercapai keseimbangan posisi hukum di persidangan.
- Mengurangi perselisihan perihal beban pembuktian: Saat ini pembebanan pembuktian merupakan hal harus diputuskan secara hati-hati oleh hakim. Dengan adanya lembaga subpoena, para pihak dapat memaksa pihak lawan atau pun pihak lain untuk memperoleh alat bukti yang diperlukan.
Pelembagaan subpoena ini perlu berjalan beriringan dengan ancaman hukuman bagi yang tidak memenuhi perintah di surat tersebut.
Bagi saksi yang tidak hadir walau sudah dipanggil untuk memberikan kesaksian, dapat diancam dengan hukuman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 224 KUHP/Pasal 285 KUHP Nasional.
Namun sebagaimana penulis uraikan di atas, subpoena tidak hanya mengatur perihal perintah menghadirkan saksi saja, tetapi juga surat maupun informasi, yang saat ini tidak ada pengaturannya.
Penulis berpendapat bahwa pembahasan rancangan undang-undang perihal pengaturan contempt of court (dalam perkara perdata: civil contempt) yang sedang berjalan beriringan dengan pembahasan rancangan undang-undang hukum acara perdata, dapat dijadikan momentum untuk mengatur perihal subpoena ini secara utuh.
Penutup
Walaupun jenis dan pengaturan subpoena telah berubah dan berkembang seiring waktu, namun fungsi utamanya tetap tidak berubah yakni untuk memastikan bahwa alat bukti dapat tersedia untuk mencari kebenaran dalam sistem peradilan.
Oleh karena itu pengaturan subpoena dalam hukum acara perdata Indonesia menjadi langkah penting, untuk memperkuat efektivitas sistem peradilan nasional dalam menghadirkan keadilan bagi para pihak dalam putusannya.