Tonggak Sejarah: Putusan Pidana Anti-SLAPP Pertama di Indonesia

Pengadilan Tinggi tidak hanya menunjukkan ketidaksepakatan substantif, tetapi juga secara historis menjadi yang pertama kali menerapkan prinsip anti-SLAPP dalam ranah pidana di Indonesia.
Ilustrasi anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Foto rjionline.org/
Ilustrasi anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Foto rjionline.org/

Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), adalah tindakan melalui proses litigasi untuk membungkam atau menghentikan para aktivis lingkungan hidup, aktivis hak asasi manusia, atau masyarakat dalam mempergunakan haknya, guna berpartisipasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 

SLAPP menjadi salah satu ancaman, yang muncul dan sering kali mengganggu upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tujuan dilakukan SLAPP, meniadakan partisipasi masyarakat dalam memperjuangkan kepentingan publik. Istilah SLAPP, pertama kali diperkenalkan pada 1996 oleh Penelope Canan dan George W. Pring, dalam buku mereka, SLAPP's: Getting Sued for Speaking Out.

Di Indonesia, istilah SLAPP, belum memiliki definisi baku dalam peraturan perundang-undangan. Namun, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang terakhir diubah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, memiliki ketentuan relevan.

Pasal 66 UU PPLH, secara tegas menyatakan setiap orang yang berjuang untuk hak atas lingkungan hidup, yang baik dan sehat, tidak dapat dituntut, secara pidana maupun digugat secara perdata. Ketentuan ini, dikenal sebagai perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup. Baik kepada masyarakat maupun perorangan, agar tidak dikriminalisasi atau digugat perdata, atas upaya mereka memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat. Inilah konsep yang dikenal sebagai anti-SLAPP dalam konteks hukum lingkungan di Indonesia.

Memasuki babak baru dalam lini masa penegakan hukum lingkungan Indonesia, semangat anti-SLAPP yang terangkum Pasal 66 UU PPLH, akhirnya menemukan manifestasi di ranah perkara pidana.

Sebuah putusan penting terukir melalui Putusan Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Nomor 21/Pid/2021/PT BBL, yang dibacakan pada 10 Mei 2021. Putusan bersejarah ini, bukan hanya yang pertama mempertimbangkan dalil perlawanan terhadap SLAPP, dalam perkara pidana, tetapi menjadi putusan pertama yang membebaskan para terdakwa  Robandi, Muhammad Yusuf, Syamsul Effendi, Heti Rukmana, dan Aditama, dengan dasar anti-SLAPP. 

Duduk Perkara

Dalam kasus ini, Robandi, Ketua RT di Kelurahan Kenanga, Bangka Belitung, aktif melaporkan indikasi pencemaran lingkungan. Pada 2020, dirinya bersama beberapa warga lain, mengajukan gugatan perwakilan kelompok terhadap PT Bangka Asindo Agri (PT BAA) atas dugaan pencemaran tapioka. 

Tidak lama setelah gugatan itu, Robandi dan beberapa Ketua RT lainnya (Muhammad Yusuf, Mulyadi, Syamsul Effendi, Heti Rukmana), yang menjadi penggugat, dilaporkan seorang warga. Pelaporan tersebut, didasarkan Pasal 228 KUHP, tentang penggunaan pangkat/jabatan yang dihentikan sementara, dengan dakwaan alternatif Pasal 263 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan dokumen. 

Laporan tersebut, ada karena pada 22 April 2020, Robandi dkk, sebenarnya sudah mengundurkan diri sebagai Ketua RT. Pengunduran diri, dipicu ketidakkoordinasian kepala lingkungan terkait pembagian bantuan Covid-19 dari PT BAA, kepada masyarakat Kelurahan Kenanga, di tengah konflik pencemaran lingkungan PT BAA. 

Namun pada 26 Mei 2020, Robandi dkk, masih menandatangani surat undangan sosialisasi gugatan perwakilan kelompok menggunakan cap RT masing-masing.

Para terdakwa menghadapi dakwaan alternatif. Dakwaan pertama, menuduh bersama-sama dengan sengaja memakai tanda kepangkatan atau melakukan perbuatan yang termasuk jabatan yang tidak dijabatnya, sesuai Pasal 228 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. 

Alternatifnya dakwaan kedua, menuduh mereka bersama-sama membuat atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak atau pembebasan utang, dengan maksud menggunakannya seolah-olah benar dan tidak dipalsukan, yang dapat menimbulkan kerugian, sesuai Pasal 263 Ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Jaksa Penuntut Umum menuntut agar para terdakwa, dinyatakan bersalah atas dakwaan alternatif pertama dan dijatuhi pidana penjara masing-masing satu bulan, dikurangi masa tahanan. 

Pengadilan Negeri Sungailiat dalam amar putusannya kemudian menyatakan para terdakwa terbukti melakukan tindak pidana, sesuai dakwaan pertama yang dituntut jaksa. Mereka kemudian dijatuhi hukuman pidana penjara, masing-masing satu bulan, dengan catatan hukuman tersebut tidak perlu dijalani. 

Pemidanaan ini berlaku, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, misalnya karena para terpidana melakukan tindak pidana lain, sebelum masa percobaan selama empat bulan berakhir.

Pengadilan tingkat pertama menyimpulkan, tindak pidana yang dilakukan para terdakwa, tidak berkaitan dengan perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Juga bukan sebagai pejuang lingkungan hidup, sebagaimana diatur Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

Sebaliknya, pengadilan menilai para terdakwa melakukan tindakan tersebut, karena kecewa terhadap kepala lingkungan. Mereka telah mengundurkan diri, sebagai Ketua RT pada 22 April 2020. Namun pada 24 Mei 2020, para terdakwa menandatangani undangan sosialisasi gugatan terhadap PT BAA, yang diprakarsai saksi Yuniot, dengan menggunakan stempel dan status sebagai Ketua RT. Padahal, para terdakwa sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua RT, sesuai pertimbangan unsur kedua Pasal 228 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Terhadap putusan yang diberikan oleh Pengadilan Negeri Sungailiat, penasihat hukum para terdakwa I s/d V, serta penuntut umum mengajukan banding di tanggal yang sama, yaitu 12 April 2021.

Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Banding

Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Tingkat Pertama. Pengadilan Tinggi berpegang Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup baik dan sehat. Pengakuan terhadap peran serta masyarakat ini, tercantum dalam Bab X UU PPLH, merupakan perkembangan signifikan dari undang-undang sebelumnya.

Pengadilan Tinggi menyoroti peran serta masyarakat dalam melindungi lingkungan hidup, yang sering kali berhadapan dengan perlawanan dari pelaku usaha. Meskipun Pasal 66 UU PPLH secara jelas menyatakan, pejuang lingkungan tidak dapat digugat atau dilaporkan, namun praktik menggugat mereka masih terus terjadi.

Yang menarik, Pasal 66 UU PPLH tidak secara eksplisit mencantumkan kata partisipasi. Namun, Pengadilan Tinggi menafsirkan bahwa partisipasi, dapat dimaknai sebagai unsur dari Pasal 66, jika mengacu pada Memorie Van Toelichting UU PPLH dan ditafsirkan secara sistematis. 

Ketentuan Pasal 66 merupakan bagian dari pengaturan hak, yang salah satunya dapat dilakukan melalui partisipasi. Selain itu, kata memperjuangkan itu sendiri, adalah bentuk aktivitas yang dapat berupa partisipasi.

Dengan demikian, Pengadilan Tinggi menyimpulkan Pasal 66 UU PPLH, telah mengandung dua unsur utama anti-SLAPP yakni partisipasi (ekspresi) dan kepentingan publik (lingkungan).

Mengacu pada Huruf B angka 4 SK Ketua Mahkamah Agung Nomor 036/KMA/SK/II/2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, Pengadilan Tinggi menegaskan klaim anti-SLAPP harus diputuskan terlebih dahulu. SLAPP sendiri dimaksudkan guna membungkam partisipasi masyarakat dan menimbulkan rasa takut.

Menghubungkan fakta-fakta hukum, dengan ketentuan Pasal 66 UU PPLH dan SK KMA tersebut, Pengadilan Tinggi berpendapat, tindakan para terdakwa, menandatangani undangan sosialisasi gugatan terhadap PT. BAA, dengan menggunakan status dan cap Ketua RT, walaupun telah mengundurkan diri (karena surat pemberhentian dari lurah baru terbit belakangan), merupakan tindakan partisipasi dalam memperjuangkan lingkungan hidup, yang bersih, dan sehat.

Tindakan partisipasi semacam ini, tidak dapat digugat atau dilaporkan ke polisi, sesuai Pasal 66 UU PPLH, dan ini merupakan unsur dari anti-SLAPP, yang berarti tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.

Pembatalan Putusan dan Pemulihan Hak Terdakwa

Maka, tindakan para terdakwa tidak dapat dituntut secara pidana dan Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan putusan pengadilan tingkat pertama, yang menyatakan mereka bersalah. Oleh karena itu, putusan pengadilan tingkat pertama harus dibatalkan.

Meskipun perbuatan para terdakwa, yakni menandatangani dan membubuhkan cap RT pada surat undangan setelah mengundurkan diri memenuhi unsur dakwaan Jaksa Penuntut Umum, tetapi tindakan tersebut semata-mata dilakukan guna berpartisipasi, demi kepentingan publik atas dampak pencemaran bau dari aktivitas PT. BAA. Dengan demikian, para terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan pidana.

Sebagai konsekuensi dari pembebasan tersebut, sesuai Pasal 191 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 97 ayat (1) KUHAP, hak para terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya harus dipulihkan.

Berdasarkan pertimbangan menyeluruh, Pengadilan Tinggi membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Sungailiat Nomor 475/Pid.Sus/2020/PN Sgl tanggal 6 April 2021. Selanjutnya, Pengadilan Tinggi mengadili sendiri dan menyatakan para terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, oleh Jaksa Penuntut Umum (baik dalam dakwaan pertama maupun kedua), tetapi bukanlah tindak pidana. Oleh karena itu, para terdakwa dilepaskan dari seluruh tuntutan pidana, dan hak-hak mereka dalam kemampuan, kedudukan, harkat, serta martabatnya dipulihkan.

Sebuah Langkah Berani dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Majelis Hakim tingkat banding dalam kasus ini, mendemonstrasikan keberanian yudisial yang patut diapresiasi. Dengan tegas membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan membebaskan para terdakwa. Pengadilan Tinggi tidak hanya menunjukkan ketidaksepakatan substantif, tetapi juga secara historis menjadi yang pertama kali menerapkan prinsip anti-SLAPP dalam ranah pidana di Indonesia.

Keberanian dimaksud, terpancar dari penafsiran progresif Pasal 66 UU PPLH. Meskipun kata partisipasi, tidak secara eksplisit tercantum, Majelis Hakim secara jeli, menghubungkannya dengan Memorie Van Toelichting dan makna memperjuangkan, sehingga memperluas cakupan perlindungan bagi pembela lingkungan. 

Hal tersebut merupakan langkah maju esensial, mengingat bagaimana SLAPP sering kali digunakan untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat, yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang sehat.

Putusan dimaksud, mengirimkan pesan kuat tindakan partisipatif masyarakat, meskipun mungkin secara formal melanggar prosedur administratif (seperti penggunaan cap RT setelah mengundurkan diri), akan diakui dan dilindungi, jika tujuannya kepentingan publik dalam menjaga lingkungan hidup. 

Ini merupakan preseden vital yang menginspirasi lebih banyak warga untuk berani bersuara tanpa takut dikriminalisasi. Sekaligus menjadi peringatan bagi pelaku usaha agar tidak menggunakan instrumen hukum, guna membungkam keadilan lingkungan. Dengan memulihkan hak-hak para terdakwa, Pengadilan Tinggi telah menegaskan kembali, bahwa keadilan sejati adalah ketika hukum berdiri tegak melindungi yang benar dan bukan hanya formal.

Sumber Referensi

- George W. Pring dan Penelope Canan, SLAPPs: Getting Sued for Speaking Out, Temple University Press, Amerika Serikat, 1996

- Tumai Murombo dan Heinrich Valentine, Slapp Suits: An Emerging Obstacle To Public Interest Environmental Litigation in South Africa, 27 SAJHR, 2011

- Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan dan Indonesian Center for Environmental Law, 2022, Ringkasan Putusan Terpilih Perkara Lingkungan Hidup
Putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Nomor 21/Pid/2021/PT BBL tanggal 10 Mei 2021
 

Penulis: Komang Ardika
Editor: Tim MariNews