Bagaimana Proyeksi Peran Litmas dalam Perkara Pelaku Dewasa? Simak Poin Pentingnya di Sini!

Peran PK Bapas menjadi sangat sentral untuk membantu proses penegakan hukum dalam upaya menggali informasi mengenai kondisi Terdakwa.
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Pekanbaru mengikuti Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang dilaksanakan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Pekanbaru. Foto: lapaspekanbaru.id
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Pekanbaru mengikuti Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang dilaksanakan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Pekanbaru. Foto: lapaspekanbaru.id

Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2 Januari 2023. Lahirnya KUHP baru yang berlaku setelah tiga tahun terhitung sejak tanggal diundangkan tersebut, merupakan upaya dalam mewujudkan pembentukan hukum pidana nasional yang mana Wetboek van Strafrecht (WvS) sampai saat ini masih berlaku di Indonesia.

Salah satu yang menarik dari KUHP Nasional tersebut adalah adanya kewajiban bagi hakim untuk mempertimbangkan kondisi/kemampuan Terdakwa dalam menjatuhkan pidana denda atau pidana kerja sosial.

Hakim dalam mempertimbangkan kemampuan Terdakwa tentunya tidak terlepas dari peran Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (PK Bapas) yang berperan melakukan penelitian kemasyarakatan (Litmas) terkait kondisi terdakwa, seperti kemampuan kerja Terdakwa, riwayat sosial Terdakwa, kemampuan Terdakwa membayar pidana denda dan lain-lain.

Berkaitan dengan hal tersebut, pihak-pihak terkait seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi masyarakat turut memberikan masukan terhadap implementasi KUHP Nasional melalui Webinar Nasional Proyeksi Peran Litmas Menuju Pelaksanaan Alternatif Pemidanaan dalam KUHP 2023 yang digelar oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada Kamis, 13 Februari 2023.

Berikut beberapa bahasan penting yang dapat dipetik oleh aparat penegak hukum, khususnya para hakim melalui webinar tersebut:

Praktik Baik Permintaan Litmas Pelaku Dewasa di Pengadilan

Webinar nasional ini dipimpin Direktur Pembimbingan Kemasyarakatan Dr. Ceno Hersusetiokartiko, Bc.IP., S.H., M.H. Ia berpendapat, peran PK Bapas menjadi sangat sentral untuk membantu proses penegakan hukum dalam upaya menggali informasi mengenai kondisi Terdakwa, yang mana dapat membantu aparat penegak hukum untuk kepentingan pemidanaan.

Ceno menjelaskan pada 2021-2024, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berinisiatif menyelenggarakan piloting sebagai upaya mendorong penerapan alternatif pemidanaan di berbagai kota sebagai proyeksi penerapan KUHP Nasional. 

Kegiatan tersebut, berpusat pada peran PK Bapas yang akan menjadi inisiator dan fasilitator di masing-masing kota piloting. Hal ini dilakukan dengan mengadakan perjanjian kerja sama dengan Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri dan kepolisian serta pemerintah daerah untuk mendorong adanya pola komunikasi dan alur kerja di antara aparat penegak hukum dalam menyambut KUHP Nasional.

Selanjutnya, berdasarkan data hasil piloting tersebut, ditemukan permintaan Litmas kepada PK Bapas bagi perkara pelaku dewasa. Ceno menyatakan, pada tahap di pengadilan, PK Bapas pernah memberikan Litmas untuk memberikan rekomendasi kepada Majelis Hakim. Meskipun pada akhirnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dalam putusannya adalah pidana penjara. Kendati demikian, Majelis Hakim dalam putusan tersebut telah mempertimbangkan Litmas yang telah dibuat oleh PK Bapas sebagaimana dalam Putusan Nomor 125/Pid.Sus/2022/PN Bna.

Berikut adalah kutipan pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 125/Pid.Sus/2022/PN Bna (red: halaman 12):

“Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah mengupayakan penyelesaian perkara ini dengan restorative justice (RJ) untuk Terdakwa dewasa yang melibatkan Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan kelas II Banda Aceh yang telah memberikan kesimpulan dalam Penelitian Kemasyarakatan tertanggal 29 Juni 2022 sebagai berikut:

1. …..perkembangan klien baik fisik maupun psikososial klien berlangsung baik tanpa ada kendala yang berarti. Klien tumbuh besar dalam keluarga yang harmonis dan mendapatkan perhatian dan kasih sayang kedua orang tuanya, klien melakukan tindak pidana ini adalah akibat ketidaksengajaan dan tidak ada niat klien sama sekali untuk menyakiti korban;

2. Selama menjalani proses peradilan, klien bersikap baik dan kooperatif dalam memberikan keterangan dan tidak pernah melanggar aturan.

3. Hasil asesmen yang dilakukan juga menunjukkan tingkat risiko residivis yang rendah.

Lebih lanjut, berbicara mengenai pola koordinasi dan komunikasi permintaan Litmas dengan para aparat penegak hukum, Ceno menyebut, pada wilayah Kota Banda Aceh, komunikasi yang paling kooperatif dengan PK Bapas dilakukan oleh pengadilan. 

Hal tersebut dimulai dengan adanya Rapat Koordinasi dan Perjanjian Kerja Sama tentang Penerapan Keadilan Restoratif bagi Tersangka Dewasa Antarinstitusi.

Adapun institusi tersebut yaitu Pengadilan Negeri Banda Aceh, Mahkamah Syar’iyah Aceh, Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Polres Banda Aceh, Bapas, Majelis Adat Aceh dan Wilayatul Hisbah (di bawah Satpol PP).

Ia menambahkan, koordinasi dengan hakim kerap dilakukan secara informal tanpa surat mengingat kebutuhan terhadap permintaan Litmas dalam waktu singkat.

Ceno dalam pemaparannya juga menjelaskan mengenai salah satu hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi Litmas bagi pelaku dewasa ini, seperti adanya paradigma aparat penegak hukum terhadap penggunaan Litmas yang masih terbatas pada penanganan perkara anak saja. Selain itu, belum adanya payung hukum yang mengatur peran dan tanggung jawab antar aparat penegak hukum terhadap implementasi alternatif pemidanaan.

Harapannya ke depan dapat dilakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antarinstitusi mengenai permintaan Litmas Dewasa di tingkat pusat dan daerah dan perlu adanya sosialisasi dari tingkat pusat hingga daerah terhadap implementasi alternatif pemidanaan dalam menghadapi keberlakuan KUHP Nasional. Hal itu menurutnya, bertujuan untuk menghindari adanya resistensi dalam upaya pembinaan reintegrasi di masyarakat.

Proyeksi Peran Litmas Menuju Pelaksanaan Alternatif Pemidanaan dalam KUHP Nasional

Ketua Bagian Administrasi pada Sekretariat Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam, Dr. Erni Mustikasari, S.H., M.H., selaku narasumber kedua menjelaskan, tidak semua alternatif pemidanaan dapat diterapkan melalui pendekatan keadilan restoratif/restorative justice (RJ). Hal ini berarti, ada penerapan alternatif pemidanaan yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan keadilan restoratif. 

Selanjutnya muncul pertanyaan, kapan suatu alternatif pemidanaan dapat diterapkan melalui pendekatan keadilan restoratif? Menurut Erni, hal tersebut terjadi ketika pelaku telah selesai memulihkan hubungan antara pelaku dan korban atau memulihkan kerugian korban sebagai akibat terjadinya tindak pidana.

Sebaliknya, apabila pelaku belum melakukan pemulihan hubungannya dengan korban, maka alternatif pemidanaan tidak dapat diterapkan melalui pendekatan keadilan restoratif.

Menurutnya, hal tersebut merupakan diskresi aparat penegak hukum dalam menjatuhkan alternatif pemidanaan kepada Terdakwa dengan mempertimbangkan pemulihan yang telah dilakukan oleh pelaku kepada korban.

Dalam kesempatan tersebut Erni turut mengimbau kepada aparat penegak hukum agar turut memberikan pemahaman kepada pelaku dan korban bahwa tujuan dari membayar/memulihkan kerugian kepada korban adalah semata-mata untuk memulihkan hubungan antara pelaku dan korban dan bukan untuk menghentikan proses pemeriksaan perkaranya.

Lebih lanjut, Erni menjelaskan, selama ini korban telah diberi hak pemulihan sedangkan pelaku tidak mendapatkan hal serupa. Oleh karena itu, PK Bapas melalui Litmas, harus mengobservasi dan meng-assessment mengenai hal-hal apa saja yang menjadi kerentanan dan kebutuhan pelaku. Hal ini penting untuk memulihkan pelaku guna mencegah pelaku untuk tidak kembali mengulang tindak pidana yang dilakukannya.

Ia berharap, PK Bapas selain membuat assessment, juga bekerja sama dengan tempat-tempat yang sekiranya dapat menerima terpidana yang kelak akan dijatuhkan alternatif pemidanaan oleh majelis hakim, misalnya pidana kerja sosial ataupun alternatif pidana lainnya seperti konseling.

Erni menuturkan dalam rangka menerapkan alternatif pemidanaan tersebut, perlu dibentuk suatu forum koordinasi antara hakim, jaksa dan PK Bapas untuk memverifikasi pelanggaran syarat khusus atau tidak dilaksanakannya pidana kerja sosial oleh terpidana. Hal ini berfungsi sebagai check and balance antar institusi terkait penerapan alternatif pemidanaan.

Di akhir pemaparannya, Erni menjelaskan mengenai proyeksi terhadap rancangan legislasi RJ dalam sistem peradilan pidana yang akan datang. Ia berharap, pendekatan RJ dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum termasuk pada tahap pelaksanaan putusan. Mengingat, pendekatan RJ dapat dilaksanakan pada setiap tahap proses peradilan pidana.

Ia menyatakan, ke depannya terpidana dan korban berhak mengajukan permohonan mediasi secara tertulis kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Permohonan mediasi tersebut dapat dikabulkan apabila memenuhi persyaratan yaitu, (a) korban dan terpidana menyetujui dilakukan mediasi; dan (b) berdasarkan hasil penilaian pembinaan terpidana menunjukkan terpidana berkelakuan baik (salah satunya telah memulihkan hubungan/kerugian dengan korban) dan dapat menjalankan program mediasi pertemuan dengan korban.

Apabila dikaitkan dengan permohonan grasi oleh terpidana, Erni menambahkan, pelaksanaan perdamaian tersebut dapat dipergunakan oleh Mahkamah Agung sebagai pertimbangan kepada presiden untuk:

1. Mengubah pidana penjara 20 tahun terhadap terpidana yang menjalani pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidana penjara paling singkat 15 tahun;

2. Menjatuhkan pidana penjara untuk waktu tertentu selama 20 tahun berturut-turut terhadap terpidana mati selama masa percobaan, dalam hal terdapat pilihan antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau terdapat pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 tahun; atau

3. Mengubah pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun terhadap terpidana mati selama masa percobaan, menjadi pidana penjara seumur hidup.

Kriteria Perkara Pelaku Dewasa yang Dapat Dimintakan Litmas

Adapun narasumber ketiga yaitu seorang peneliti pada Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Ove Syaifuddin Abdullah, menjelaskan ,jika tidak semua perkara pelaku dewasa perlu dimintakan Litmas. Oleh karena itu, perjanjian kerja sama mengenai peran dan tanggung jawab masing-masing institusi aparat penegak hukum sangat dibutuhkan dalam hal ini. Di dalamnya perlu mencantumkan perihal kriteria perkara yang dapat dimintakan Litmas.

Ia memberikan contoh Negara Belanda. Belanda telah mengatur 3 kriteria utama terhadap perkara yang dimintakan Litmas, yaitu:

1. Kasus-kasus yang diperkirakan akan dituntut/dihukum lebih dari 4 tahun penjara

2. Kejahatan terorganisir

3. Perkara yang pelakunya tidak memiliki status domisili/kependudukan yang jelas.

Menurut Ove, domisili tersebut sangat berpengaruh dengan tempat di mana terpidana menjalankan alternatif pemidanaan, siapa yang mengawasi dan bagaimana lingkungannya, yang mana hal ini turut memiliki andil dalam hal pengawasan terpidana yang sedang menjalankan alternatif pemidanaan.

Penulis: Nadia Yurisa Adila
Editor: Tim MariNews