Refleksi HUT Mahkamah Agung RI ke-80: Jika Ingin Negara Berdaulat Maka Pengadilan Harus Bermartabat

Setelah badai integritas yang menerjang Mahkamah Agung beberapa waktu lalu, kini Mahkamah agung tak henti-hentinya terus berbenah dan memperbaiki diri.
Logo HUT ke-80 Mahkamah Agung. Foto Humas MA
Logo HUT ke-80 Mahkamah Agung. Foto Humas MA

Sejarah HUT Mahkamah Agung RI

Dua hari setelah Indonesia merdeka, tepatnya 19 Agustus 1945, Presiden Soekarno melantik dan mengangkat Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama.

Hari pengangkatan itu, kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Mahkamah Agung, melalui Surat Keputusan KMA/043/SK/VIII/1999 tentang Penetapan Hari Jadi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Bertepatan juga dengan disahkannya UUD 1945 beserta pembentukan dan pengangkatan Kabinet Presidentil Pertama di Indonesia. 

Mahkamah Agung mengalami dinamika perkembangan dari masa ke masa. Pada masa penjajahan Belanda, lembaga peradilan tertinggi disebut Hooggerechtshof, berkedudukan di Jakarta dan meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Di masa pendudukan Jepang, lembaga peradilan tertinggi disebut Saikoo Hooin dan kemudian dihapuskan pada 1944. Setelah kemerdekaan, Mahkamah Agung sebagai Lembaga tinggi negara bersama dengan Mahkamah Konstitusi melaksanakan kekuasaan kehakiman sesuai dengan amanat Pasal 24 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 

Selayang Pandang Makna HUT MA RI Ke-80

Menelisik sekilas tentang tema HUT Mahkamah Agung RI ke-80 yaitu Mewujudkan Pengadilan Bermartabat, Negara Berdaulat. Tema tersebut memiliki makna filosofis yang mendalam, bahwa untuk mewujudkan Negara Republik Indonesia yang berdaulat memiliki kekuasaan tertinggi atas wilayah dan rakyatnya, serta tidak tunduk pada kekuasaan negara lain, maka negara harus mewujudkan pengadilan yang bermartabat. 

Pengadilan bermartabat adalah pengadilan yang independen, memiliki integritas tinggi, menegakkan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu. Untuk mewujudkan pengadilan yang bermartabat tentunya memerlukan dukungan dari pemerintah, dan jangan sampai martabat Mahkamah Agung hancur karena judicial corruption serta KKN.

Oleh karena itu, menjadi tugas besar kita semua untuk menjaga marwah Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai benteng terakhir keadilan agar tetap bermartabat karena negara yang berdaulat adalah seperti yang dicita-citakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu, Negara Indonesia adalah negara hukum, dan negara hukum yang berdaulat tolak ukurnya adalah Pengadilannya bermartabat.

Tantangan Mahkamah Agung

Setelah badai integritas yang menerjang Mahkamah Agung beberapa waktu lalu, kini Mahkamah agung tak henti-hentinya terus berbenah dan memperbaiki diri. Masih segar dalam ingatan ketika Sidang Laporan Tahunan (Laptah) Februari 2025, Ketua Mahkamah Agung menegaska, tantangan terbesar Mahkamah Agung adalah membangun kepercayaan publik dan kewibawaan institusi. Menjaga integritas dan memulihkan kepercayaan publik tentunya bukan hanya tugas internal lembaga, tetapi juga menyangkut komitmen nasional terhadap supremasi hukum.  

Mahkamah Agung Republik Indonesia menghadapi tantangan yang serius baik dari internal maupun eksternal yang berkaitan dengan integritas, kuantitas sumber daya manusia (kurangnya jumlah hakim), reformasi sistem kelembagaan (promosi dan mutasi), kesejahteraan hakim, pengawasan internal dan eksternal dari Bawas dan Komisi Yudisial, kualitas kinerja dan putusan, serta pemberantasan judicial corruption.

Masing-masing aspek tersebut membutuhkan solusi strategis yang berkelanjutan, baik melalui reformasi kelembagaan, transparansi, serta kebijakan yang mendukung independensi yudisial. 

Mengembalikan kepercayaan publik pada Mahkamah Agung membutuhkan waktu dan konsistensi. Tetapi, langkah nyatanya harus selalu dimulai dengan transparansi, akuntabilitas, keteladanan, pengawasan serta keterlibatan publik, karena sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Presiden Soekarno “Mahkamah Agung adalah benteng terakhir dari keadilan.

Jika semua lembaga telah gagal, maka kepada Mahkamah Agung-lah rakyat berharap”. Semoga dengan usia Mahkamah Agung yang ke-80 ini, Mahkamah Agung dapat kembali bersinar dan menjunjung tinggi martabatnya sebagai benteng terakhir keadilan dan dapat secara maksimal melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.