Perdebatan mengenai usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto kembali menghangat.
Di satu sisi, ada kelompok yang menolak keras, dengan menyandarkan argumen pada catatan panjang kekuasaannya yang dianggap otoriter, sentralistis, dan meninggalkan jejak pelanggaran HAM serta praktik korupsi yang terstruktur.
Di sisi lain, tidak sedikit pula yang merasa bahwa jasa-jasa besar beliau untuk negara ini terlalu nyata untuk dihapus dari sejarah, bahkan untuk sekadar dilupakan.
Di sinilah kita diuji: sanggupkah bangsa ini melihat sejarah secara utuh?
Bukan rahasia, Soeharto adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perjalanan Indonesia modern.
Ia bukan sekadar figur politik, tetapi simpul sejarah yang menandai beberapa babak penting bangsa ini.
Ketika kita menelusuri kembali jejaknya di masa revolusi dan awal kemerdekaan, kita menemukan seorang perwira muda yang turut memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949, yang mengubah wajah diplomasi Indonesia di mata internasional.
Kita juga mendapati kiprahnya dalam operasi pembebasan Irian Barat, sebuah episode penting dalam menuntaskan sisa kolonialisme di Nusantara.
Kemudian, ketika tragedi nasional tahun 1965 membelah negeri, Soeharto tampil sebagai tokoh yang mengambil alih kendali dan menghentikan chaos yang mengancam runtuhnya negara.
Terlepas dari perdebatan panjang dan luka sejarah yang tak sederhana mengenai penumpasan PKI serta ekses yang menyertainya, momentum tersebut menjadi awal lahirnya Orde Baru.
Di titik inilah sejarah menjadi semakin rumit. Sebab, setelah pintu stabilitas terbuka, pembangunan nasional memang tumbuh: infrastruktur, swasembada pangan, pertumbuhan ekonomi, hingga birokrasi pemerintahan yang teratur.
Banyak yang hidup pada era itu, mengenang masa tersebut sebagai masa “tenang dan tertib”, masa di mana rakyat “merasa negara hadir”.
Namun, sejarah memang tidak pernah utuh bila hanya terdiri dari satu sisi.
Pada sisi lain Orde Baru, ada pembungkaman kebebasan akademik dan politik, ada mereka yang kehilangan ruang bersuara, ada keluarga yang masih menanggung luka karena penahanan tanpa pengadilan, ada kekayaan negara yang mengalir kepada segelintir kelompok.
Ironisnya, di antara mereka yang kemudian tertindas secara politik, ada kelompok atau individu yang pada awalnya mengelu-elukan kehadiran Pak Harto.
Karena itu, penilaian terhadap Soeharto selalu akan bersinggungan dengan pengalaman pribadi dan ingatan kolektif.
Yang pernah mendapat kesempatan ekonomi, pendidikan, atau stabilitas di masa beliau cenderung melihat jasa.
Yang menjadi korban ketidakadilan, represi, atau marginalisasi di masa yang sama akan sulit menerima penghargaan itu.
Maka, persoalan pemberian gelar pahlawan sejatinya bukan sekadar persoalan sejarah, tetapi lebih dari itu, harus dipandang sebagai salah satu bentuk rekonsiliasi moral.
Perspektif inilah yang mestinya menjadi substansi setiap kali kita memandang sang tokoh bangsa.
Dari perspektif itu, kita bisa bertanya: apakah gelar pahlawan adalah pengakuan terhadap seluruh aspek kehidupan seorang tokoh? Ataukah ia hanya penghormatan atas kontribusi strategis tertentu bagi negara?
Dan sebaliknya: apakah kita adil bila menilai sejarah hanya berdasarkan luka yang kita terima? Para pahlawan yang kini terbaring tenang di taman makam pahlawan pun dulunya manusia yang pernah keliru, ragu, dan salah langkah.
Tetapi, jasa mereka kepada bangsa menjadi warisan yang lebih besar daripada kekeliruannya
Pro kontra mengenai wacana pemberian gelar pahlawan ini, tampaknya diam-diam tersimpan aspek penting yang harus kita akui: Bahwa bangsa ini memang belum tuntas berdamai dengan masa lalunya.
Kita masih terbelah dalam memori, pengalaman, cara kita memaknai negara.
Sikap yang paling bijak mungkin bukan tergesa-gesa menolak atau mengiyakan. Tetapi, menghadirkan forum yang jernih, ruang dialog yang terbuka, dan keberanian untuk mengakui: bahwa sejarah adalah manusiawi.
Di dalamnya ada kemenangan dan kekeliruan, ada cahaya dan bayang-bayang. Bukankah, pemberian gelar pahlawan kini sudah acuan formalnya?
Akhirnya, penghormatan terbesar kepada sejarah hakikatnya bukanlah menetapkan seseorang sebagai pahlawan atau bukan. Tetapi, memastikan bahwa kita belajar darinya, tanpa saling menghapus.
Sebab, bangsa yang besar bukan bangsa yang tidak memiliki kesalahan, melainkan bangsa yang mampu menatap masa lalunya secara jujur, adil, dan dewasa.
Gelar pahlawan itu, tentu bukan untuk yang sudah meninggal. Orang yang sudah meninggal, tidak memerlukan lagi simbol-simbol kemewahan dunia.
Akan tetapi, pemberian gelar sang tokoh tertentu, sejatinya merupakan salah satu simbol kedewasaan kita dalam berbangsa dan bernegara dengan segenap dinamika yang harus dilalui.
Wallahu a’lam.





