Hakim dalam Kepercayaan Publik: Antara Silent Corps dan Pencitraan

Pencitraan positif selama dilakukan dalam koridor etik dan kepentingan institusional justru memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan, bukan sebaliknya.
Ilustrasi pencitraan. Foto freepik.com
Ilustrasi pencitraan. Foto freepik.com

Kepercayaan publik merupakan fondasi utama bagi legitimasi lembaga penegak hukum. Menurut teori legitimasi dan kontrol, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum menentukan kredibilitas sistem hukum, sekaligus kapasitasnya dalam mengatur dan melindungi masyarakat. 
Berdasarkan survei yang dirilis Lembaga Indikator pada 17-20 Mei 2025, Mahkamah Agung memperoleh tingkat kepercayaan sebesar 73,7%. Setahun sebelumnya, survei Litbang Kompas pada September 2024 mencatat, Mahkamah Agung hanya memperoleh 65,2%. Meskipun terdapat kenaikan kepercayaan namun hal tersebut tidak signifikan. Padahal peningkatan kepercayaan publik merupakan target utama dalam agenda prioritas 2022-2024. 

Salah satu pendekatan yang kerap digunakan untuk meningkatkan kepercayaan publik adalah pencitraan. Mengutip Bill Canton dalam buku Dasar-Dasar Public Relations karya S. Soemirat dan Andrianto E., pencitraan adalah kesan atau gambaran yang sengaja diciptakan oleh individu atau organisasi untuk membentuk persepsi publik.

Citra yang positif dapat memperkuat legitimasi, sementara kepercayaan publik yang tinggi dapat memperkuat dan mempertahankan reputasi lembaga. Namun, pencitraan yang tidak mencerminkan realitas atau bersifat manipulatif justru berisiko merusak kepercayaan.

Sedangkan, Habermas menjelaskan, kepercayaan publik terhadap lembaga modern dibangun melalui diskursus yang rasional dan terbuka, bukan melalui propaganda atau otoritas sepihak.

Dalam konteks lembaga peradilan, hakim yang melakukan pencitraan dianggap tabu. Pencitraan sering kali dianggap bertentangan dengan prinsip netralitas dan kemandirian dalam prinsip silent corps. Terminologi ini, tidak berasal dari peraturan perundang-undangan atau dokumen resmi Mahkamah Agung, tetapi merupakan istilah kultural dan etik yang berkembang untuk menggambarkan sikap tertutup dan hati-hati dari profesi hakim dalam interaksi publik.

Mengutip dari artikel Menyelisik Diamnya Silent Corps dari Hakim Maria Fransiska Walintukan bahwa dari sudut pandang pragmatik, terminologi silent corps dalam konteks profesi hakim dimaknai sebagai korps hakim yang diam. Sikap “diam” itu diasosiasikan dengan hakim dan putusannya. 

Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tepatnya pada prinsip Kesopanan dan Kesantunan (Pasal 4 ayat 4) disebutkan hakim harus membatasi partisipasinya dalam kegiatan yang dapat mengurangi citra kemandirian. Selanjutnya, PERMA No.7 Tahun 2016 melarang segala bentuk tindakan yang berpotensi mengganggu wibawa dan citra lembaga peradilan, termasuk membuat pernyataan publik yang bersifat kontroversial.

Demikian pula SEMA No. 3 Tahun 2022 melarang hakim mengungkap pendapat tentang perkara, menyampaikan konten yang bersifat politis, serta menjaga “ketertarikan publik” terhadap dirinya agar tidak menciptakan kesan self-promotion. 

Meskipun demikian, perlu digaris bawahi Mahkamah Agung hanya melarang pencitraan yang dapat mengurangi kemandirian serta menyebabkan kesan negatif. Artinya, tidak ada larangan melakukan pencitraan positif. Pencitraan yang positif justru dapat meningkatkan kepercayaan publik.

Untuk meningkatkan hal tersebut Mahkamah Agung telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya langkah nyata adalah dengan penyelenggaraan pameran kampung hukum. Saat peresmiannya, Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., menyampaikan, Kampung Hukum merupakan inisiatif Mahkamah Agung untuk memperkenalkan sistem peradilan secara lebih terbuka dan ramah masyarakat. Hakim dilibatkan secara aktif dalam sosialisasi hukum kepada masyarakat, tanpa harus tampil sebagai figur publik.

Oleh karena itu, hakim sepatutnya berpartisipasi untuk meningkatkan kepercayaan publik dengan menampilkan pencitraan yang positif melalui media sosial yang semakin berkembang, seperti menyampaikan pencapaian keberhasilan mediasi dan restorative justice.

Berbagai praktik menunjukkan, pencitraan positif selama dilakukan dalam koridor etik dan kepentingan institusional justru memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan, bukan sebaliknya.