Tunjangan dan Fasilitas Hakim diambang, antara harapan dan realita. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung, telah jadi landasan hukum pemberian tunjangan dan fasilitas yang layak, bagi para hakim di Indonesia.
Aturan tersebut, diharapkan menunjang kinerja para penegak keadilan, memastikan independensi, dan menjaga martabat profesi hakim. Namun di lapangan, masih banyak kesenjangan antara regulasi dan implementasi, terutama terkait penyediaan rumah dinas, bantuan sewa rumah, fasilitas keamanan, dan fasilitas protokoler.
Pasal 2 PP Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim dimaksud, menjelaskan hak keuangan dan fasilitas hakim terdiri atas gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun dan tunjangan lain.
Pasal 7 Ayat 1 PP Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim tersebut, mengatur, hakim memiliki hak atas jaminan keamanan dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan Ayat 2, menguraikan jaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tindakan pengawalan dan perlindungan terhadap keluarga.
Ayat 3, menjelaskan jaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat 2, yang didapatkan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia atau petugas keamanan lainnya. Ayat 4, ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan keamanan diatur dengan Keputusan Mahkamah Agung.
Rumah Dinas Belum Layak dan Pengawasan Anggaran Lemah, serta Bantuan Sewa Rumah Dinas Tidak Memadai
Salah satu fasilitas krusial bagi hakim adalah rumah dinas. PP Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, seharusnya menjamin ketersediaan hunian layak bagi hakim, mengingat mobilitas dan penempatan para pengadil, tidak selalu di daerah asalnya. Namun realitasnya, masih banyak hakim menempati rumah dinas dalam kondisi tidak layak huni, bahkan jauh dari standar kenyamanan memadai.
Masalah tersebut, diperparah oleh pengawasan anggaran perbaikan rumah dinas, yang sangat minim. Pengawasan saat ini hanya dilakukan pimpinan dan hakim pengawasan bidang umum dan keuangan. Ketiadaan auditor keuangan independen dan memahami seluk-beluk biaya tukang, serta belanja bahan bangunan membuka celah bagi inefisiensi dan penyalahgunaan anggaran.
Idealnya, proses penunjukan tukang untuk perbaikan rumah dinas, dilakukan secara terbuka dan kompetitif melalui tender yang diawasi ketat, bukan sekadar penunjukan internal, yang mana rentan terhadap praktik kolusi dan nepotisme. Transparansi proses dimaksud, akan memastikan penggunaan anggaran yang efektif dan menghasilkan perbaikan yang berkualitas.
Bagi hakim yang tidak mendapatkan rumah dinas, terdapat uang bantuan sewa rumah dinas yang diatur berdasarkan Aturan Sekretaris Mahkamah Agung. Sayangnya, besaran bantuan seringkali tidak mencukupi untuk menyewa rumah layak di lokasi penugasan. Banyak hakim, terpaksa hanya menyewa kamar kos atau bedeng, serta jauh dari standar kenyamanan dan privasi yang dibutuhkan seorang penegak hukum. Kondisi ini, tentu mempengaruhi konsentrasi dan kesejahteraan hakim, yang pada gilirannya berdampak kualitas putusan yang dihasilkan.
Fasilitas Keamanan yang Belum Menyeluruh
Aspek keamanan hakim merupakan hal yang sangat vital, mengingat risiko dan tekanan yang dihadapi dalam menjalankan tugas. Fasilitas keamanan saat ini, hanya terfokus pada pengamanan selama persidangan. Padahal, ancaman terhadap hakim tidak hanya terjadi dalam ruang sidang, tetapi juga di luar pengadilan. Bahkan dapat menyasar keluarga hakim.
Ketiadaan perlindungan yang komprehensif bagi hakim dan keluarganya di luar jam kerja, merupakan celah serius yang perlu segera ditutup. Pemerintah bersama Mahkamah Agung, perlu merumuskan regulasi lebih luas tentang pengamanan hakim dan keluarganya, mengingat peran strategis hakim dalam menjaga marwah peradilan.
Peraturan pelaksanaan yang mencakup Man Power (Orang), Money Power (Anggaran), dan Material Power (Materi dan Sistem) harus disediakan pemerintah, untuk menjamin keamanan di luar persidangan dan gedung pengadilan yang masih belum tersedia. Pengawalan terhadap hakim dan perlindungan untuk keluarga hakim, juga belum diterapkan.
Banyak platform berita nasional, telah melaporkan sejumlah Hakim Indonesia mengalami serangan fisik dan psikis, bahkan terdapat yang kehilangan nyawa, akibat pekerjaan mereka. Ditambah, ancaman siber dan pelanggaran privasi pada era digital saat ini, pencegahan dan langkah-langkah keamanan menjadi sangat amat penting.
Adanya perubahan tentang Undang-Undang TNI (Tentara Nasional Indonesia) 2025, Mahkamah Agung miliki peluang meminta penugasan prajurit TNI, guna meningkatkan keamanan bagi para hakim dan lingkungan peradilan. Namun, pelaksanaan ini bergantung peraturan teknis, yang akan mengatur mekanisme penugasan, tugas, dan kerja sama antara TNI dan Mahkamah Agung. Selain itu, perlu diperhatikan pendapat dari berbagai pihak, mengenai kemungkinan peran TNI dalam bidang peradilan dan dampaknya terhadap independensi sistem peradilan.
Fasilitas Transportasi yang Tidak Merata dan Kedudukan Protokoler yang Belum Jelas
Saat ini, hakim masih belum memiliki fasilitas mobil dinas, dalam rangka menunjang pekerjaan dinasnya, seperti pemeriksaan setempat, sidang keliling dan lain sebagainya. Meskipun, terdapat uang transportasi, besaran dan pemerataannya masih menjadi persoalan.
Di banyak daerah, uang transportasi yang diterima hakim, tidak selalu sebanding dengan biaya hidup dan tingginya kebutuhan mobilitas. Adanya ketidakmerataan, dapat menimbulkan disparitas dan ketidakadilan antar hakim di berbagai wilayah. Perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap standar biaya transportasi dan penyesuaian yang lebih adil di setiap daerah.
Mengenai fasilitas kedudukan protokoler, PP Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, belum memberikan kejelasan memadai. Aturan lebih lanjut, mengenai apa saja hak protokoler bagi hakim dan apakah menjangkau protokol pengamanan hakim, juga belum dijelaskan secara rinci. Kejelasan mengenai status protokoler, penting untuk menjaga wibawa dan keamanan hakim, terutama dalam acara-acara resmi atau saat berhadapan dengan pihak-pihak tertentu.
Penegasan Status Hukum: Pejabat Negara atau Pegawai Negeri Sipil Biasa
Akhirnya, perlu ada penegasan yang jelas mengenai kedudukan hakim, apakah sebagai pejabat negara atau Pegawai Negeri Sipil biasa.
PP Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, secara umum mengklasifikasikan hakim sebagai pejabat negara, namun dalam implementasinya, perlakuan terhadap hakim masih disamakan dengan pegawai negeri sipil biasa.
Penegasan status dimaksud, berdampak pada hak-hak, fasilitas, dan perlakuan hukum yang seharusnya diterima hakim, sehingga dapat lebih menjamin independensi dan martabat profesi mereka. Tunjangan dan gaji bagi hakim, juga harus diperhatikan dan disesuaikan secara berkala, diiringi dengan pengawasan terhadap Hakim untuk tidak menerima suap dalam bentuk apapun juga.
Demi memastikan pemenuhan hak-hak ini, diperlukan perencanaan, pengaturan, penerapan, dan pengawasan yang berkesinambungan, serta menyeluruh. Jika dianalisis dengan teori POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling) yang diusulkan oleh George R. Terry dalam bukunya Principles of Management, dapat digunakan untuk pastikan hak-hak Hakim terpenuhi dengan baik.
Dengan kata lain, di samping peraturan tertulis dalam undang-undang, wajib ada sistem pelaksanaan dan aturan yang komprehensif, serta pengawasan periodik agar hak-hak tersebut diterima dan didistribusikan, secara efektif. Mata anggaran dan pelaksanaan, yang berkaitan dengan hak-hak hakim harus diawasi, secara khusus dan periodik, agar hak hak tersebut terdistribusi dengan baik dan tidak menguap. Jika diperlukan, mata anggaran dan pelaksanaan terkait hak-hak Hakim dilaksanakan dan dijalankan, dengan sistem mekanisme, serta pengawasan khusus.
Perbaikan tunjangan dan fasilitas hakim, sesuai PP Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim dan penyesuaian dengan realitas di lapangan adalah investasi penting untuk memastikan independensi dan integritas peradilan. Diperlukan komitmen kuat pemerintah, terhadap Mahkamah Agung dan pihak terkait untuk mengevaluasi dan memperbaiki berbagai permasalahan dimaksud, demi terciptanya sistem peradilan yang lebih baik dan profesional.
Tentunya, jika seluruh hak-hak hakim terpenuhi, wajib sejalan dengan integritas dan kualitas putusan, segala bentuk kegiatan yang bersifat koruptif dan transaksional harus dihilangkan, karena hakim bekerja untuk negara, digaji dan hanya boleh bergantung pada negara.
Demikian juga, hakim bekerja untuk kepentingan kenegaraan sebagai seorang pejabat negara, yang harus mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi.