PN Pulau Punjung Terapkan Restorative Justice dalam Perkara “Ninja Sawit”

Penerapan pendekatan keadilan restoratif dengan melibatkan tokoh Jorong dan mekanisme musyawarah ini mencerminkan integrasi antara hukum negara dan nilai-nilai kearifan lokal, menjadikan peradilan lebih membumi dan diterima oleh masyarakat.
Pengadilan Negeri Pulau Punjung kembali menunjukkan komitmennya dalam menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam perkara pencurian kelapa sawit atas nama terdakwa Muhammad Yusuf bin Norsal. Foto PN Pulau Punjung.
Pengadilan Negeri Pulau Punjung kembali menunjukkan komitmennya dalam menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam perkara pencurian kelapa sawit atas nama terdakwa Muhammad Yusuf bin Norsal. Foto PN Pulau Punjung.

MARINews, Dharmasraya-Pengadilan Negeri Pulau Punjung kembali menunjukkan komitmennya dalam menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam perkara pidana. Kali ini, pendekatan tersebut diterapkan dalam perkara pencurian kelapa sawit atas nama terdakwa Muhammad Yusuf bin Norsal dengan korban Hariyanto, sebagaimana tercatat dalam register perkara nomor 57/Pid.B/2025/PN Plj.

Perkara ini diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pulau Punjung yang diketuai oleh Dedy Agung Prasetyo, S.H., dengan anggota majelis Tedy Rinaldy Santoso, S.H., dan Iqbal Lazuardi, S.H.

Proses perdamaian antara terdakwa dan korban dilakukan di hadapan Majelis Hakim dan disaksikan langsung oleh tokoh masyarakat setempat, yakni Kepala Jorong Bukit Makmur, Kenagarian Koto Laweh, Kecamatan Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya, Gunawan Setiadi, yang turut menjembatani penyelesaian secara kekeluargaan.

Proses perdamaian berlangsung dengan menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah yang hidup dalam masyarakat Minangkabau. Kehadiran Kepala Jorong sebagai tokoh adat turut memperkuat legitimasi sosial dari penyelesaian perkara ini. Sebagaimana falsafah Minangkabau ‘adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah’, mekanisme musyawarah tidak hanya menjadi sarana sosial, tetapi juga bentuk legitimasi moral yang hidup dalam masyarakat hukum adat setempat.

Dalam forum tersebut, terdakwa mengakui kesalahannya dan menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada korban. Korban, pada gilirannya, menyatakan telah memaafkan terdakwa dan memilih menyelesaikan perkara secara damai tanpa menuntut ganti rugi.

Diketahui, kerugian korban dalam perkara ini sejumlah kurang lebih 203 tandan seberat 846 Kg, yang jika diuangkan bernilai kurang lebih sejumlah Rp2.697.000,00 (dua juta enam ratus sembilan puluh tujuh ribu rupiah) yang kemudian dituangkan dalam kesepakatan perdamaian tertanggal 20 Mei 2025 yang telah diserahkan kepada Majelis Hakim di muka persidangan. 

Pendekatan keadilan restoratif ini sejalan dengan semangat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Namun demikian, meskipun telah terjadi perdamaian, penuntut umum tetap menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 4 bulan. 

Majelis Hakim menilai, perkara ini memenuhi prinsip-prinsip keadilan restoratif, seperti adanya pengakuan kesalahan, kesediaan korban untuk memaafkan, serta tidak adanya potensi konflik lanjutan. Oleh karena itu, penyelesaian perkara melalui musyawarah kekeluargaan mendapat tempat yang layak dalam proses persidangan.

Putusan perkara ini dibacakan pada Rabu, 4 Juni 2025, dengan menjatuhkan hukuman selama 4 bulan penjara kepada terdakwa, yang mana hal tersebut sesuai dengan tuntutan dari penuntut umum. Meskipun telah terjadi perdamaian, vonis tetap dijatuhkan sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum yang proporsional dan edukatif.

Istilah “ninja sawit” sendiri merujuk pada maraknya aksi pencurian tandan buah segar kelapa sawit yang dilakukan secara diam-diam, biasanya pada malam atau dini hari. Perkara ini menjadi pengingat bahwa meskipun kerugian tidak begitu besar, tindak pidana tetap perlu diselesaikan secara bijak dan berkeadilan.

Penerapan pendekatan keadilan restoratif dengan melibatkan tokoh Jorong dan mekanisme musyawarah ini mencerminkan integrasi antara hukum negara dan nilai-nilai kearifan lokal, menjadikan peradilan lebih membumi dan diterima oleh masyarakat. Upaya ini selaras dengan kebijakan Mahkamah Agung RI yang mendorong lahirnya sistem peradilan pidana yang lebih humanis, solutif, dan berorientasi pada pemulihan sosial.

Penulis: Kontributor
Editor: Tim MariNews
Copy