MARINews, Yogyakarta— Suasana Teras Malioboro pada Sabtu malam, 6 Desember 2025, terasa berbeda. Sorotan lampu, Videotron layar lebar, dan kerumunan masyarakat yang antusias menjadi saksi hadirnya Mahkamah Agung dalam perayaan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 6–9 Desember 2025. Tidak hanya menghadirkan booth MA, Mahkamah Agung (MA) juga menyuguhkan sebuah karya film yang menggugah kesadaran publik: Catatan di Balik Toga Merah.
Film pendek ini diproduksi oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan, Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI (BSDK MARI). Kehadiran film tersebut menjadi salah satu penarik perhatian utama pengunjung Hakordia tahun ini. Tepuk tangan meriah terdengar di akhir pemutaran, disusul komentar positif para penonton yang tersentuh oleh pesan kuat mengenai bahaya korupsi.
Setelah tahun lalu menuai sukses dengan film Titik Balik, Pusdiklat Menpim BSDK MA RI kembali hadir dengan karya baru yang lebih tajam, nyata, dan emosional. Catatan di Balik Toga Merah diadaptasi dari buku karya Kepala Pusdiklat Manajemen dan Pendidikan BSDK MA RI, D.Y. Witanto, yang sekaligus menjadi sutradara dan pemeran utama film tersebut.
Witanto yang hadir langsung dalam pemutaran menegaskan bahwa film ini tidak hanya berkisah tentang korupsi sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga tentang kejatuhan moral seseorang yang kehilangan kendali atas godaan duniawi.
“Film ini bukan hanya tentang seorang hakim yang terjerat kasus korupsi,” ujarnya, “tetapi sebuah refleksi tentang bagaimana pilihan buruk dapat menghancurkan kehidupan seseorang, baik secara moral maupun fisik.”
Film ini mengisahkan perjalanan Darma, seorang hakim dari latar belakang pedesaan yang dikenal tegas, jujur, dan sederhana. Namun kehidupannya mulai berubah ketika ia terpesona oleh kehidupan glamor yang ditawarkan seorang wanita lain. Keputusan emosional untuk menceraikan istrinya menjadi titik awal kejatuhan Darma dalam gaya hidup semu yang memaksanya melakukan praktik korupsi.
Godaan demi godaan membuat Darma melangkah semakin jauh dari prinsip yang dulu ia junjung tinggi. Hidupnya berubah drastis: dari sosok panutan menjadi pelaku penyalahgunaan kewenangan. Ketika KPK akhirnya menangkapnya, ia tidak hanya kehilangan jabatan dan kehormatannya, tetapi juga kesehatan dan ketenangan batin. Dalam perjalanan menuju proses hukum, tekanan batin yang berat membuatnya mengalami serangan jantung—menjadi klimaks tragis yang menyentuh banyak penonton.
Menurut Witanto, film ini juga merupakan bagian dari implementasi proyek perubahan dalam Pelatihan Kepemimpinan Nasional. Salah satu elemen proyek tersebut adalah kampanye anti korupsi melalui media kreatif.
“Film ini merupakan bagian dari proyek perubahan yang kami kerjakan. Dan dalam Hakordia ini, film tersebut untuk pertama kalinya ditayangkan secara nasional, tidak hanya untuk keluarga besar peradilan, tetapi juga untuk masyarakat luas,” jelasnya.
Dengan pendekatan visual yang kuat, alur yang menyentuh, serta pesan moral yang dalam, film Catatan di Balik Toga Merah diharapkan mampu menjadi pengingat bagi siapapun tentang pentingnya menjaga integritas—baik dalam profesi, keluarga, maupun kehidupan pribadi.
Pemutaran film ini menjadi bukti bahwa MA tidak hanya hadir dalam konteks penegakan hukum, tetapi juga mengajak masyarakat untuk bersama-sama membangun budaya antikorupsi. Melalui seni, cerita, dan refleksi, upaya pencegahan korupsi dapat menyentuh lebih banyak hati.
Dengan sambutan hangat dari masyarakat Yogyakarta, film ini tampaknya berhasil menjalankan misinya: menggugah, mengingatkan, dan mengajak semua pihak untuk peduli terhadap bahaya korupsi dan pentingnya menjaga moralitas dalam setiap tindakan. Mahkamah Agung melalui BSDK MARI kembali membuktikan bahwa kampanye antikorupsi dapat disampaikan dengan cara yang kreatif, humanis, dan berdampak luas.


