Pengadilan Negeri Rangkasbitung Terapkan Restorative Justice pada Kasus Dugaan Tindak Pidana Pencurian

Dalam proses persidangan yang digelar pada Kamis, (27/11), tercapai kesepakatan damai antara pihak Korban Bayu Falian dengan Terdakwa Fikri.
Penerapan keadilan restoratif di PN Rangkasbitung. Foto : PN Rangkasbitung
Penerapan keadilan restoratif di PN Rangkasbitung. Foto : PN Rangkasbitung

MARINews, Rangkasbitung - Penerapan keadilan restoratif kembali menunjukkan hasil positif melalui perkara pidana pencurian di Pengadilan Negeri (PN) Rangkasbitung, Banten, dengan Nomor 188/Pid.B/2025/PN Rkb. 

Dalam proses persidangan yang digelar pada Kamis, (27/11), tercapai kesepakatan damai antara pihak Korban Bayu Falian dengan Terdakwa Fikri.

Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Rafi Maulana, S.H., M.H., bersama Anggota Majelis, Murdian, S.H., M.H., dan Amjad Fauzan Ahmadushshodiq, S.H., serta dibantu Gladys Damayanti, S.H., M.H. selaku Panitera Pengganti, menjadi bukti, mekanisme penyelesaian melalui jalur restoratif dapat diimplementasikan secara nyata dalam praktik peradilan.

Perkara ini berawal pada Senin, 1 September 2025 sekitar pukul 03.00 WIB, ketika terdakwa pergi memeriksa rumah orang tuanya yang telah lama tidak dihuni di Desa Kaudagung Timur, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, yang letaknya berdekatan dengan rumah korban. 

Setelah selesai melihat rumah tersebut, Terdakwa melintas di gang di samping rumah korban dan melihat jendela kamar yang kemudian dibukanya. 

Melalui jendela itu, terdakwa masuk ke dalam rumah korban dan menemukan sebuah laptop merek Acer di atas tumpukan pakaian, lalu mengambil dan menyimpannya. 

Terdakwa kemudian menuju kamar korban dan melihat satu unit ponsel Samsung A8 yang sedang diisi daya di atas meja televisi serta satu unit ponsel Samsung A35 di atas kasur. 

Kedua ponsel tersebut turut diambil oleh terdakwa. Setelah mengambil seluruh barang milik korban, terdakwa keluar melalui jendela yang sebelumnya digunakan untuk masuk dan pergi membawa barang-barang tersebut tanpa izin maupun sepengetahuan korban.

Korban yang terbangun, kemudian mendapati, laptop serta dua telepon genggam miliknya telah hilang. 

Korban berupaya mencari barang-barang tersebut, namun tidak berhasil menemukannya. Atas peristiwa itu, Korban melaporkannya ke kantor polisi setempat agar dapat ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. 

Berdasarkan laporan tersebut, kepolisian berhasil menangkap dan menahan terdakwa, kemudian memproses perkara ini lebih lanjut hingga akhirnya berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan.

Dalam proses persidangan, Majelis Hakim tidak semata-mata menelusuri fakta-fakta perkara, melainkan juga memberikan pemahaman mengenai prinsip restorative justice sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. 

Penjelasan tersebut diterima dengan baik oleh korban dan terdakwa.

Kedua belah pihak kemudian sepakat menuangkan perdamaian dalam sebuah perjanjian tertulis. 

Dalam dokumen tersebut, terdakwa menyampaikan permohonan maaf kepada korban dan berkomitmen untuk tidak mengulangi perbuatannya. 

Sementara itu, korban menyatakan memberikan maaf dengan ketentuan, pemberian maaf tersebut tidak dimaksudkan untuk menghapuskan proses hukum terhadap terdakwa.

Setelah menelaah isi kesepakatan, Majelis Hakim berpendapat, perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan karenanya dapat diterima sebagai bahan pertimbangan dalam perkara.

Kendati demikian, Majelis Hakim menekankan, adanya perdamaian tidak serta-merta menghapus kemungkinan pemidanaan terhadap terdakwa apabila terbukti bersalah. 

Namun demikian, kesepakatan tersebut tetap dapat dijadikan dasar pertimbangan yang meringankan dalam penjatuhan putusan.

Ketua Majelis Hakim juga menegaskan bahwa konsep restorative justice tidak hanya berhenti pada perdamaian formal, melainkan berfungsi sebagai sarana pemulihan hubungan sosial antara korban dan terdakwa agar tidak berkembang menjadi rasa dendam ataupun kebencian.

Atas penjelasan tersebut, kedua belah pihak menyatakan memahami dan menerimanya.

Sidang kemudian dilanjutkan ke agenda pembacaan tuntutan, namun Jaksa Penuntut Umum menyampaikan belum siap untuk membacakannya. 

Oleh karena itu, Ketua Majelis Hakim menunda persidangan guna memberi kesempatan kepada Jaksa menyusun tuntutan, sekaligus menutup jalannya sidang.

Penulis: Murdian
Editor: Tim MariNews