Mencari keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif adalah tantangan abadi dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). Hal ini menjadi semakin pelik ketika hakim dihadapkan pada situasi di mana kebenaran materiil suatu perkara, yang terungkap selama persidangan, justru berada di luar ruang lingkup delik atau pasal yang didakwa oleh jaksa penuntut umum.
Kepastian hukum adalah salah satu prinsip fundamental dalam sistem hukum yang mengacu pada kejelasan, keteraturan, dan prediktabilitas hukum yang dapat diartikan pula secara normatif sebagai suatu aturan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat dan diundangkan dengan pasti, sehingga mengatur suatu hal atau peristiwa dengan jelas dan logis tanpa menimbulkan ambiguitas atau pertentangan makna.
Pada sisi yang lain, keadilan substantif adalah gagasan keadilan yang berfokus pada hasil akhir yang adil dan benar dalam suatu perkara, bukan hanya pada ketaatan terhadap prosedur atau aturan hukum semata. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya dilihat sebagai seperangkat aturan formal yang harus dipatuhi, tetapi juga sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu keadilan yang dirasakan oleh masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat. Namun, patut diingat bahwa keadilan juga bersifat relatif, di mana apa yang dianggap adil oleh satu pihak belum tentu adil bagi pihak lain, dan skala keadilan dapat bervariasi sesuai dengan nilai-nilai maupun ketertiban umum suatu masyarakat.
Dalam perkara pidana, kebenaran materiil (materiële waarheid) adalah prinsip utama yang menjadi tujuan pencarian dalam setiap proses peradilan yaitu kebenaran yang sesungguhnya atau selengkap-lengkapnya tentang suatu peristiwa pidana, yaitu tentang apa yang benar-benar terjadi dan siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa pidana tersebut. Kebenaran materiil tidak hanya berdasarkan pada apa yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum maupun terdakwa dan/atau penasihat hukumnya (kelengkapan formalitas) semata, melainkan lebih menekankan pada fakta-fakta riil yang terungkap melalui alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang mengadili perkara tersebut.
Dalam proses peradilan pidana, hal yang menjadi litis contestatio adalah surat dakwaan yang dibuat dan disusun oleh jaksa penuntut umum. Fungsi surat dakwaan menjadi sangat krusial bagi hakim, karena hal tersebut menjadi dasar pemeriksaan, pertimbangan, dan pengambilan putusan mengenai bersalah atau tidaknya terdakwa. Secara prinsip, hakim terikat pada surat dakwaan yang berarti pengadilan tidak dibenarkan untuk memutus hal-hal yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan (vide Pasal 182 ayat (4) KUHAP).
Hal yang menjadi problematika adalah ketika terjadi kekurangcermatan jaksa penuntut umum dalam penyusunan surat dakwaan. Sebagai contoh, dalam dakwaan penuntut umum yang berbentuk dakwaan tunggal, ia mendakwa seseorang karena telah melakukan pencurian dalam sebuah rumah dengan Pasal 363 ayat (1) ke-5 KUHP yaitu “Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu” yang dikualifikasi sebagai salah satu bentuk pencurian dalam keadaan memberatkan.
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, diketahui bahwa terdakwa mengambil barang milik korban dengan kondisi pintu rumah korban telah dalam keadaan terbuka karena korban lupa mengunci pintu rumahnya serta tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan pada rumah korban, sehingga tidak terbukti adanya unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal a quo.
Dalam kerangka hukum formil yang mengedepankan asas kepastian hukum, terdakwa tersebut haruslah dinyatakan bebas, karena perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum kepadanya tidak terbukti. Akan tetapi, jika kita menitikberatkan pada argumentasi bahwa tujuan hukum adalah memberikan keadilan substantif, maka hakim harus berani melakukan judicial activism dengan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (vide Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) yang dalam konteks contoh perkara a quo dapat diwujudkan dengan putusan yang mengandung asas contra legem yaitu, tetap menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pasal yang terbukti sesuai fakta persidangan yakni Pasal 362 KUHP yang dikualifikasi sebagai pasal pencurian biasa.
Penerapan judicial activism yang demikian, dapat dilihat dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986, di mana para terdakwa didakwa dengan dakwaan subsidiairitas yaitu dakwaan primer Pasal 365 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dan dakwaan subsider Pasal 362 juncto Pasal 55 KUHP. Pada pengadilan tingkat pertama, majelis hakim menyatakan para terdakwa melanggar Pasal 365 ayat (1) dan ayat (2) KUHP sesuai dakwaan primer penuntut umum yang kemudian terhadap putusan tersebut dikuatkan pada tingkat banding. Akan tetapi, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperbaiki amar putusan pengadilan tingkat banding dan mengubah kualifikasi pidana dengan menyatakan bahwa pasal yang dilanggar oleh para terdakwa adalah Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP yang sejatinya tidak didakwakan oleh penuntut umum.
Dalam pertimbangan putusan tersebut, Mahkamah Agung menyatakan, apabila para terdakwa telah didakwa dengan pasal pencurian dalam keadaan memberatkan (gekwalificeerde diefstal) sebagaimana Pasal 365 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, maka dengan sendirinya delik dalam bentuk pencurian-pencurian yang lebih ringan (in casu Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP) telah terpenuhi pula, meskipun tidak didakwakan.
Yurisprudensi ini memberikan kaidah hukum secara implisit bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa di luar dari apa yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya, dengan ketentuan bahwa delik pidana tersebut masih dalam satu rumpun atau genus yang sama dan dengan jenis delik yang lebih ringan.
Namun demikian, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang Rumusan Hukum Rapat Pleno Kamar Pidana Tahun 2015 dan Tahun 2017 memberikan penegasan bahwa selain hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara tetap mendasarkan putusannya pada fakta hukum yang terbukti di persidangan, musyawarah juga harus didasarkan atas surat dakwaan sebagaimana dimaksud Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP.
Peristiwa yang dicontohkan dalam SEMA tersebut adalah dalam hal penuntut umum mendakwakan Pasal 111 atau Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”), namun berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan ternyata terdakwa terbukti sebagai penyalah guna narkotika bagi dirinya sendiri (Pasal 127 UU Narkotika) yang mana pasal ini tidak didakwakan, terdakwa terbukti sebagai pemakai dan jumlahnya relatif kecil, maka hakim tetap memutus sesuai pasal surat dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup.
Apabila kita cermati menggunakan logika induktif, maka secara mutatis mutandis kaidah hukum tersebut harus dipedomani pula pada delik pidana yang lain, di mana apabila surat dakwaan tidak selaras dengan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, maka hakim tidak diperkenankan menjatuhkan pidana kepada terdakwa di luar dari apa yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya, yang dapat dipandang sebagai penyanjungan atas prinsip kepastian hukum.
Kondisi yang demikian menimbulkan dilema bagi hakim di dalam mengadili suatu perkara pidana, apakah ia harus berpegang teguh pada norma hukum acara secara letterlijk yang melekat nilai kepastian hukum ataukah ia dapat mewujudkan gagasan keadilan yang berfokus pada hasil akhir yang adil dan benar sesuai dengan kebenaran materiil sebagaimana konsep keadilan substantif.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Nasional”) pada tanggal 2 Januari 2026, dapat diamati ketentuan Pasal 53 ayat (2) tentang Pedoman Pemidanaan yang pada pokoknya mengatur bahwa apabila hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka hakim wajib mengutamakan keadilan. Sebelum KUHP Nasional berlaku efektif, ketentuan pasal a quo secara opsional dapat pula dijadikan rujukan oleh hakim dalam pertimbangan hukumnya dengan menggunakan metode interpretasi futuristis.
Norma hukum yang mengatur pedoman pemidanaan tersebut menjadi angin segar bagi hakim akan ketidaksempurnaan peraturan perundang-undangan maupun ketidakcermatan penyusunan suatu surat dakwaan dalam penerapannya pada kejadian atau peristiwa konkret. Sehingga, apabila dalam penerapan atas fakta hukum yang konkret terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim sedapat mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana secara progresif mulai bergeser dari arah positivisme hukum menuju pendekatan yang lebih berorientasi pada nilai demi mencapai keadilan substantif.