MARINews, Rangkasbitung - Penerapan keadilan restoratif kembali membuahkan hasil positif dalam perkara pidana pencurian yang ditangani Pengadilan Negeri Rangkasbitung, Banten, dengan register Nomor 202/Pid.B/2025/PN Rkb.
Pada persidangan yang berlangsung Kamis, (3/12), Korban Sukma Wiaya dan Terdakwa Holil berhasil mencapai kesepakatan damai.
Sidang tersebut dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Rafi Maulana, S.H., M.H., didampingi Hakim Anggota Murdian, S.H., M.H., dan Amjad Fauzan Ahmadushshodiq, S.H., serta Panitera Pengganti Guntoro, S.H., M.H.
Proses ini menjadi contoh nyata, penyelesaian perkara melalui pendekatan restoratif dapat diterapkan secara efektif dalam praktik peradilan.
Korban dan Terdakwa diketahui telah menjalin pertemanan sejak lama. Bahkan, menurut pengakuan Korban, kedekatan mereka sudah layaknya karakter “Upin dan Ipin”.
Namun, hubungan baik tersebut diuji pada Jumat, 8 Agustus 2025, sekitar pukul 10.00 WIB, ketika keduanya bermain catur di rumah Korban di Kampung Cimules, Desa Bojongmenteng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
Perselisihan mulai muncul ketika Korban menuduh terdakwa bermain curang. Perdebatan pun terjadi hingga terdakwa yang tersulut emosi menendang ayam milik korban yang berada di dekat lokasi permainan, lalu kembali ke rumahnya di Kampung Leuwi Dahu Hilir.
Sekitar satu jam kemudian, pukul 11.15 WIB, korban mendatangi rumah terdakwa untuk meminta penjelasan.
Alih-alih mereda, situasi justru semakin memanas. Keduanya kembali bertengkar, saling menyalahkan, hingga berujung tindakan kekerasan.
Terdakwa mencekik korban, yang kemudian mendorongnya hingga terjatuh. Terdakwa bangkit dan mendorong kembali Korban ke luar rumah.
Tak berhenti di situ, terdakwa masuk ke dapur, mengambil sebilah golok, lalu mengejar korban.
Korban yang panik berusaha melarikan diri, namun terdakwa mengayunkan golok hingga mengenai bagian belakang kepala korban.
Saat Korban mencoba kabur menggunakan sepeda motor, terdakwa kembali menebaskan golok ke arah tangan kiri korban hingga melukai ibu jarinya. Korban akhirnya berhasil meloloskan diri.
Atas kejadian tersebut, korban melaporkan tindakan terdakwa ke pihak kepolisian.
Terdakwa kemudian ditangkap dan diproses secara hukum hingga perkara masuk ke tahap persidangan.
Di hadapan Majelis Hakim, korban menyayangkan tindakan terdakwa mengingat kedekatan mereka selama ini.
Ia menuturkan, karakter terdakwa memang cenderung temperamental, yang turut memicu perkelahian tersebut.
Korban juga menjelaskan bahwa luka pada ibu jarinya menyebabkan keterbatasan gerak yang tidak lagi normal.
Menanggapi keterangan tersebut, Majelis Hakim melalui Ketua Majelis meminta tanggapan Terdakwa.
Terdakwa menyatakan penyesalan dan ingin meminta maaf. Korban kemudian menyatakan, ia memaafkan Terdakwa.
Ketika Hakim Ketua menawarkan kesempatan bagi korban untuk menuntut ganti rugi biaya pengobatan, korban menolak dengan alasan memahami kondisi ekonomi terdakwa yang kurang mampu.
Meski telah terjadi perdamaian, Majelis Hakim menegaskan, hal itu tidak otomatis menghapus proses hukum.
Jika terdakwa terbukti bersalah, hukuman tetap akan dijatuhkan secara proporsional, sementara kesepakatan damai akan menjadi bahan pertimbangan.
Majelis juga mengapresiasi tercapainya perdamaian yang dianggap mampu meredakan konflik sosial di antara kedua pihak dan mencegah timbulnya dendam di kemudian hari.
Korban dan Terdakwa menyatakan memahami penjelasan tersebut dan sepakat menuangkan perdamaian dalam sebuah perjanjian tertulis.
Setelah mempelajari isi perjanjian, Majelis Hakim menilai, kesepakatan tersebut sah dan tidak bertentangan dengan hukum sehingga layak dijadikan pertimbangan dalam perkara.
Sidang kemudian berlanjut pada agenda pembacaan tuntutan.
Namun, Jaksa Penuntut Umum belum siap membacakannya, sehingga Ketua Majelis Hakim menunda persidangan untuk memberi waktu penyusunan tuntutan, sekaligus menutup jalannya persidangan pada hari itu.
