Sidang perkara penganiayaan yang melibatkan dua terdakwa, Mimin Suhadi dan Ferdy Ferial, di Pengadilan Negeri Sinabang, Kamis (4/12/2025), berlangsung dalam situasi menegangkan.
Bukan hanya karena perkara ini menyangkut aksi kekerasan yang terjadi di ruang publik, tetapi juga karena guncangan gempa 6,5 magnitudo yang sempat menggoyang Gedung PN Sinabang di tengah jalannya sidang.
Majelis hakim yang dipimpin Riswandy, S.H., dengan anggota Rio Rinaldo Agusshandy, S.H. dan Tommy Andrian, S.H., terpaksa menskors sidang beberapa menit.
Para pihak segera diarahkan keluar ruang sidang untuk memastikan keselamatan hingga kondisi dinilai stabil. Namun getaran keras itu tidak menghentikan proses pencarian keadilan. Setelah situasi dinyatakan aman, majelis melanjutkan pemeriksaan dengan tetap menjaga ketertiban dan memastikan seluruh pihak siap mengikuti persidangan.
Kesepakatan Damai Tercapai Meski Di Tengah Kepanikan Gempa
Menariknya, setelah majelis hakim melanjutkan kembali persidangan pasca-guncangan gempa, suasana ruang sidang yang semula tegang seketika berubah haru.
Di hadapan majelis hakim, korban Adnal Fahri berdiri dan kembali menegaskan bahwa dirinya bersama para terdakwa telah mencapai kesepakatan damai pada 26/11/2025 sebuah perjanjian yang dibuat secara sadar, tanpa paksaan, dan disaksikan oleh para saksi serta perangkat desa dari kedua belah pihak.
Di tengah ruangan yang beberapa menit sebelumnya dipenuhi kepanikan, korban telah mengikhlaskan peristiwa tersebut, memahami emosi yang sempat memuncak pada hari kejadian, dan memilih jalan perdamaian sebagai penyelesaian terbaik.
Korban menuturkan kedua Terdakwa telah meminta maaf secara langsung, dan korban menerima permohonan maaf itu dengan lapang dada. Pernyataan korban tersebut, bukan hanya menenangkan suasana, tetapi juga memperlihatkan proses hukum tidak selalu berakhir dengan permusuhan, melainkan dapat menjadi jalan menuju pemulihan hubungan sosial.
Para terdakwa, dengan suara bergetar, turut menyatakan penyesalan mendalam dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Mereka menyampaikan terima kasih kepada korban yang telah memberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
Momen ini menjadi salah satu titik paling emosional dalam persidangan yang sebelumnya sempat terhenti karena goncangan gempa 6,5 magnitudo.
Penuntut Umum Tetap Menuntut 1 Tahun Penjara, Majelis Hakim Pertimbangkan Restorative Justice
Sebelumnya, Penuntut Umum menuntut kedua terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama satu tahun karena dinilai terbukti melakukan kekerasan secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Namun Majelis Hakim mengambil sikap berbeda. Dengan merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Majelis Hakim menilai bahwa perkara ini telah memenuhi seluruh unsur yang memungkinkan penerapan keadilan restoratif.
Hal tersebut, tampak dari ancaman pidana yang berada di bawah lima tahun, hubungan sosial para pihak yang telah kembali pulih, serta kesediaan korban untuk memaafkan para terdakwa dan memilih penyelesaian secara damai. Para terdakwa pun mengakui kesalahan dan menunjukkan penyesalan, sehingga tujuan pemidanaan dinilai dapat dicapai tanpa pemenjaraan.
Dengan mempertimbangkan keseluruhan fakta yang terungkap di persidangan, Majelis Hakim dalam pembacaan putusan yang dibacakan pada hari Jumat (5/12/2025), memutuskan tidak mengikuti tuntutan Penuntut Umum dan memilih menjatuhkan pidana bersyarat kepada para terdakwa.
Berdasarkan Pasal 14a KUHP, dalam amar putusan para terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan, yang tidak perlu dijalani kecuali jika dalam masa percobaan para terdakwa kembali melakukan tindak pidana. Majelis menetapkan masa percobaan selama 1 (satu) tahun.
Putusan tersebut dibacakan secara terbuka untuk umum. Dengan amar demikian, Majelis Hakim memerintahkan agar para terdakwa seketika itu juga dikeluarkan dari tahanan setelah putusan diucapkan.
Gempa Bumi Tak Menghentikan Keadilan
Peristiwa gempa 6,5 magnitudo yang sempat mengagetkan seluruh pihak justru menjadi pengingat bahwa proses peradilan tidak hanya diuji oleh fakta hukum, tetapi juga oleh keteguhan para pihak dalam mencari kebenaran dan keadilan. Meski bumi berguncang dan suasana ruang sidang sempat diliputi kepanikan, persidangan tetap dilanjutkan setelah kondisi dinyatakan aman. Putusan tetap dibacakan, dan perdamaian tetap terwujud sebagaimana komitmen para pihak.
Proses hukum berjalan tanpa terhenti, dan pemulihan hubungan sosial tujuan utama dari penerapan keadilan restoratif akhirnya dapat dicapai sepenuhnya. Peristiwa itu seakan menjadi perwujudan dari adagium klasik “Fiat Justitia Ruat Caelum”, yang berarti “Keadilan harus ditegakkan, meskipun langit runtuh.”
Dalam konteks persidangan ini, bahkan guncangan bumi sekalipun tidak mampu menghalangi majelis hakim, para pihak, maupun institusi peradilan untuk menuntaskan proses hukum dan menghadirkan keadilan yang berpihak pada pemulihan.

