PN Tubei Tegaskan Zero Tolerance terhadap Kekerasan: Sinergi Forkopimda Lebong Lindungi Perempuan dan Anak

Pertemuan lintas lembaga ini menegaskan kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtP/A) bukan sekadar persoalan individu, tetapi masalah struktural
Sosialisasi pelayanan perlindungan anak dan perempuan di PN Tubei. Foto : Dokumentasi PN Tubei
Sosialisasi pelayanan perlindungan anak dan perempuan di PN Tubei. Foto : Dokumentasi PN Tubei

MARINews, Tubei - Kabupaten Lebong kembali menunjukkan komitmennya dalam melawan meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

Dalam sebuah sosialisasi yang digelar pada 11 Desember 2025, seluruh unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) berkumpul untuk menyatukan langkah menghadapi ancaman kekerasan multidimensi yang masih menghantui masyarakat. 

Acara ini dihadiri antara lain oleh Pengadilan Negeri Tubei, Pengadilan Agama Lebong, Kemenag Lebong, Polres Lebong, Kodim 0409/Rejang Lebong, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, hingga Ketua PKK Lebong dan seorang psikolog RSUD setempat.

Pertemuan lintas lembaga ini menegaskan kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtP/A) bukan sekadar persoalan individu, tetapi masalah struktural yang dipengaruhi kondisi sosial dan budaya. 

Teori Ecological Model dan Realitas Lapangan

Secara teoretis, fenomena ini sering dibaca melalui Ecological Model, yang menjelaskan kekerasan dipengaruhi oleh faktor personal, relasional, komunitas, hingga kebijakan publik.

Di lapangan, kasus-kasus KDRT dan kekerasan seksual terhadap anak masih menjadi laporan tertinggi, dengan hambatan pelaporan dan lambatnya proses hukum yang kerap menjadi tantangan.

Salah satu sorotan utama dalam acara ini datang dari pemaparan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tubei, Ria Ayu Rosalin, S.H., M.H. 

Ia menegaskan seluruh bentuk kekerasan—baik fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran—harus diselesaikan melalui jalur hukum yang sah. 

Namun, ia menekankan proses hukum tidak melulu soal pembalasan. Pengadilan kini mengedepankan penyelesaian yang lebih humanis dengan fokus pada pemulihan korban.

Ria Ayu menjelaskan pentingnya pendekatan keadilan restoratif, di mana pelaku, korban, keluarga, dan masyarakat terlibat dalam dialog konstruktif untuk memulihkan kerugian dan memperbaiki relasi yang rusak. 

Pendekatan ini dinilai lebih efektif dalam mencegah kekambuhan sekaligus memberikan keadilan yang lebih bermakna bagi korban.

Penegakan Hukum sebagai Muara Akhir

Ia menegaskan bahwa pendekatan ini tidak mengurangi ketegasan hukum. Sistem peradilan tetap menerapkan prinsip zero tolerance terhadap pelaku kekerasan, namun proses pemulihan menjadi elemen esensial untuk menciptakan keadilan yang berkelanjutan.

“Perempuan yang hebat itu akan melahirkan anak-anak yang kuat sehingga dapat diharapkan membentuk keluarga yang bahagia,” ujarnya.

Pesan tersebut menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap perempuan bukan hanya upaya penegakan hukum, tetapi investasi sosial jangka panjang untuk membentuk generasi masa depan yang kuat, sehat, dan bebas dari kekerasan.

Sosialisasi ini menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam memerangi kekerasan, sekaligus memperkuat komitmen Lebong sebagai daerah yang berani bergerak melawan kekerasan multidimensi. 

Dengan sinergi Pengadilan, Kepolisian, lembaga agama, pemerintah daerah, dan komunitas, perlindungan perempuan dan anak diharapkan semakin kuat dan efektif.

Penulis: M. Yanis Saputra
Editor: Tim MariNews