Kepada adik-adikku,
Calon Hakim Angkatan IX yang saya hormati dan banggakan
di seluruh penjuru tanah air,
Izinkan saya menyampaikan sepucuk surat ini sebagai sapaan tulus dari seorang yang lebih dahulu melangkah di jalan sunyi peradilan.
Saya tidak menulis surat ini untuk menggurui atau memberi nasihat. Surat ini bukan sekadar ajakan, melainkan sebuah pesan yang saya tulis dengan keyakinan bahwa kalianlah generasi penerus yang akan menentukan wajah peradilan di masa depan.
Saya menulis surat ini dari sebuah ruang kerja sederhana di Pengadilan Negeri Pulau Punjung, tempat saya menjalani hari-hari pengabdian dengan segala keterbatasan, namun juga dengan penuh kesungguhan. Saya ingin kalian tahu menjadi hakim bukan sekadar profesi ini adalah panggilan jiwa, ini adalah bentuk pengabdian kepada republik.
Proses rekrutmen dan pendidikan calon hakim saat ini telah dirancang dengan ketat, transparan, dan profesional. Inilah sebuah kemajuan besar yang patut disyukuri dan dijaga. Maka menjadi tanggung jawab moral kita bersama untuk menjaga kepercayaan ini. Jangan pernah mencederai proses baik itu dengan menggadaikan integritas. Jabatan ini adalah amanah, bukan peluang untuk memperkaya diri.
Dan izinkan saya mengingatkan satu hal penting yang kerap luput jangan sampai panggilan “Yang Mulia” membuat kalian terkejut badan. Ada kalanya orang biasa, begitu dipanggil “Yang Mulia”, justru berubah bukan ke arah yang positif, tetapi malah menjadi angkuh, tinggi hati, dan merasa berkuasa atas segalanya. Padahal sesungguhnya, panggilan itu bukan untuk diagungkan, tapi untuk mengingatkan beban tanggung jawab yang maha berat.
Tetaplah membumi. Jangan lupa bahwa kehormatan hakim bukan terletak pada baju toga, ruang sidang, atau panggilan kehormatan, melainkan pada sikap hidup sederhana, integritas yang tak tergoyahkan, serta kepatuhan terhadap etika. Pegang teguh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) sebagai kompas moral dalam setiap langkah. Dan jangan abaikan Surat Edaran Dirjen Badilum Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penerapan Pola Hidup Sederhana Aparatur Peradilan Umum. Ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan pernyataan sikap bahwa kekuasaan kehakiman yang agung tidak pernah boleh menjelma menjadi kemewahan hidup pribadi.
Beberapa waktu ke depan kalian akan menerima SK penempatan. Mungkin tidak sedikit dari kalian akan ditugaskan jauh dari pusat kota di daerah pelosok, di kabupaten sunyi, bahkan mungkin di wilayah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan). Maka satu hal yang perlu kalian tanamkan sejak awal yaitu jangan pernah berkecil hati.
Tugas hakim tidak ditentukan oleh nama besar pengadilan tempatnya bertugas, tetapi oleh kesungguhan hatinya dalam menegakkan keadilan di mana pun dia berpijak. Justru di tempat-tempat terpencil itulah kehadiran seorang hakim menjadi lebih bermakna. Ketika layanan hukum masih jauh dari ideal, ketika rakyat kecil nyaris tak bisa membedakan antara rasa takut dan rasa hormat terhadap hukum di situlah kalian benar-benar dibutuhkan.
Selama kalian masih bertugas di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka di sanalah Ibu Pertiwi memanggil kalian. Di sanalah rakyat menanti hadirnya keadilan yang nyata, bukan sekadar slogan. Menjadi hakim adalah tugas kenegaraan. Ini adalah bentuk bela negara dalam wujud yang paling sunyi.
Tempat tugas boleh terpencil, tapi jika kalian tetap teguh menjaga integritas, maka sesungguhnya kalian sedang berdiri di pusat moral republik ini. Di tengah keterbatasan, Jadilah sosok yang membawa keadilan bagi yang terpinggirkan yang menjaga keseimbangan dalam kekuasaan, dan yang menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dalam hukum.
Pesan Ketua Mahkamah Agung patut kita genggam erat “Pergunakan nalar, naluri, dan nurani dalam memutus perkara.” Itulah fondasi dari keadilan yang hidup. Jangan hanya terpaku pada teks hukum, tetapi bacalah juga konteksnya, jeritan manusianya, dan getar nurani yang terkadang lebih jujur dari seribu pasal. Bila kalian hanya mengandalkan logika, kalian bisa menjadi ahli hukum. Tetapi hanya dengan naluri dan nurani, kalian bisa menjadi hakim yang utuh.
Profesi ini menuntut tidak hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga kekuatan spiritual. Seorang hakim tidak hanya diminta untuk memahami hukum, tapi juga takut kepada Tuhan. Takut bukan karena lemah, tapi karena sadar bahwa kekuasaan yang diberikan kepadanya akan dipertanggungjawabkan kelak, di dunia dan di akhirat.
Maka dari itu, Mari terus menyalakan semangat pengabdian ini.
Tetaplah menjadi hakim yang bekerja dengan hati, menjaga integritas tanpa pamrih, dan menghadirkan keadilan di mana pun kita ditugaskan. Karena pada akhirnya,
seorang hakim sejati adalah cahaya negara hukum. Ia tidak memilih di mana harus bersinar, tetapi ia tetap menyala, bahkan di tempat tergelap sekalipun.
Dan lebih dari itu, mari bersama-sama mewujudkan visi Mahkamah Agung: menjadi badan peradilan yang agung yang berwibawa, bersih, transparan, dan terpercaya di mata rakyat dan Tuhan.
Selamat menjalankan tugas-tugas pengabdian beberapa waktu ke depan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membimbing langkah-langkah kalian, meneguhkan hati kalian, dan menjaga nurani kalian dalam tugas yang panjang ini.