MARINews, Kupang-Keputusan berani Pengadilan Tinggi Kupang membebaskan tiga terdakwa kasus pencemaran nama baik membuka ruang diskusi baru tentang pengakuan terhadap hukum adat sebagai benteng keadilan masyarakat. Putusan ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga tentang martabat dan keberanian komunitas lokal melawan ketidakadilan formal.
Ketiganya yaitu Yakobus Ture Boro alias Kobus (Terdakwa I), Fenasius Dae (Terdakwa II), dan Imelda Goti (Terdakwa III), awalnya dijatuhi hukuman pidana penjara oleh Pengadilan Negeri Bajawa karena meneriakkan yel-yel adat di ruang publik yang dianggap sebagai bentuk pencemaran nama baik terhadap Yohanes Dhosa Nay. Namun konteks di balik tindakan itu jauh lebih dalam.
Fenasius dan Imelda, pasangan suami istri, sebelumnya melaporkan Yohanes ke polisi atas dugaan kekerasan seksual terhadap Imelda. Namun laporan itu kandas, tak diproses lebih lanjut. Merasa tak mendapatkan keadilan, mereka pun menempuh jalur adat dengan mengadukan kasus tersebut ke Lembaga Pemangku Adat (LPA), tempat Yakobus menjabat sebagai tokoh adat.
Proses adat pun berjalan. Yohanes, sebagai pihak yang dituduh, dipanggil untuk menyatakan, sumpah adat sebagai bentuk pembelaan diri. Namun, Yohanes menolak. Dalam tradisi setempat, penolakan bersumpah dalam forum adat dinilai sebagai bentuk pengakuan diam-diam. Maka, seperti yang telah berlangsung turun-temurun, sanksi adat dijatuhkan: yel-yel sebagai bentuk stigma sosial yang disuarakan terbuka di ruang publik.
Namun, sistem hukum formal melihatnya berbeda. Ketiganya dinilai telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, baik tahap kepolisian, kejaksaan hingga hakim tingkat pertama menjatuhkan vonis masing-masing dua hingga empat bulan penjara.
Beruntung, angin keadilan akhirnya berpihak dalam tingkat banding. Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Pujo Saksono dengan dua hakim anggota, Slamet Suripto dan Agnes Hari Nugraheni, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kupang membatalkan putusan sebelumnya.
“Perbuatan Terdakwa I, Terdakwa II, dan Terdakwa III berupa meneriakkan yel-yel tersebut telah diatur atau dilindungi oleh ketentuan hukum adat setempat yang masih hidup dalam masyarakat, dalam arti masih relevan untuk diberlakukan,” ujar Majelis dalam pertimbangannya.
Majelis juga menilai bahwa korban, yang mengaku merasa martabatnya diserang, justru sebelumnya telah melukai kehormatan Terdakwa II dan III melalui perbuatan kekerasan seksual terhadap istri orang. Dalam konteks hukum adat, perbuatan tersebut merupakan pelanggaran terhadap norma-norma adat.
Dengan demikian, ketiga terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan. Hak-haknya dipulihkan dan barang bukti dikembalikan. Negara, yang dalam hal ini gagal memberikan rasa keadilan sejak awal, menanggung biaya perkara.
Putusan ini membuka lembaran baru bahwa dalam negara dengan adat yang majemuk seperti Indonesia, keadilan tidak semata-mata dimonopoli oleh hukum formal. Hukum adat, selama masih hidup dan relevan, adalah bagian sah dari sistem keadilan nasional. Dan hari ini, dari Kupang, suara masyarakat adat kembali menggema bahwa keadilan sosial itu bergema.