Yurisprudensi MA RI: Keabsahan Pengajuan Gugatan Rekonvensi Bersamaan Duplik

Gugatan rekonvensi dapat diajukan selama masih berlangsung jawab menjawab, karena Pasal 158 Rbg/Pasal 132 HIR, hanya disebut jawaban saja.
Dokumentasi sampul Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2016
Dokumentasi sampul Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2016

Sengketa keperdataan, dalam bentuk gugatan terbagi dalam dua pihak berperkara, yakni penggugat dan tergugat, baik seorang atau lebih. Hal mana pembagian kedudukan pihak penggugat dan tergugat sudah terjadi sejak pendaftaran/pengajuan gugatan, sebagaimana ketentuan Pasal 118 HIR/1 Pasal 142 Rbg  

Dalam suatu gugatan, penggugat dapat menarik subjek hukum, baik individu maupun badan hukum, sebagai turut tergugat dengan tujuan agar mereka patuh dan melaksanakan isi putusan. Kedudukan turut tergugat berbeda dengan tergugat, karena turut tergugat tidak dituduh melakukan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi

Sesuai ketentuan Pasal 121 Ayat (2) HIR dan Pasal 145 Ayat (2) RBg, tergugat memiliki hak untuk mengajukan bantahan atau jawaban atas gugatan secara tertulis. Hak untuk memberikan jawaban ini dianggap telah diketahui tergugat sejak menerima panggilan pertama untuk hadir dalam persidangan.

Tergugat juga diberikan hak sama, guna menguatkan dalil bantahan, dengan menyampaikan pembuktian, sebagaimana Pasal 163 HIR/Pasal 283 Rbg. Jenis alat bukti perkara perdata sendiri, terdiri dari bukti surat (tertulis), saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah, berdasarkan Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg

Selain menyampaikan dalil bantahan atas gugatan, beserta pembuktiannya, Tergugat berhak mengajukan gugatan balik (rekonvensi) terhadap penggugat. Kewenangan ajukan gugatan rekonvensi, diatur ketentuan Pasal 132a HIR/Pasal 167 Ayat 1 Rbg.

Walaupun diperbolehkan sesuai hukum, ketentuan gugatan rekonvensi memiliki beberapa syarat, antara lain tergugat asal saat mengajukan rekonvensi wajib sama kualitasnya dalam gugatan konvensi (asal), wajib diajukan dalam pengadilan negeri yang sama dengan perkara konvensinya dan bukan perkara perlawanan eksekusi.

Selain itu, bilamana persidangan tingkat pertama tidak ajukan gugatan rekonvensi, di mana tidak dapat diajukan saat upaya hukum banding (vide Pasal 132a HIR/Pasal 167 Ayat 2 Rbg).
Pasal 132b HIR/Pasal 158 Ayat 1 Rbg, menerangkan hak tergugat dalam gugatan asal, harus mengajukan gugatan rekonvensinya, bersamaan jawaban, baik secara tertulis atau lisan.

Atas ketentuan waktu pengajuan gugatan rekonvensi tersebut, timbul pertanyaan. Apakah diperbolehkan mengajukan gugatan rekonvensi, ketika diajukannya duplik? Hal tersebut, dikarenakan adanya opini hukum, yang menerangkan pengajuan replik dan duplik, masih dalam konteks, jawab jinawab pada penyelesaian gugatan perdata. 

Guna menjawab pertanyaan dimaksud, penulis akan jabarkan kaidah hukum pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 239 K/Sip/1968, yang diperiksa dan diputus Majelis Hakim Agung Prof. R Subekti, S.H. (Ketua Majelis), dengan didampingi Sardjono, S.H. dan Bustanul Arifin, S.H. (masing-masing Hakim Anggota).

Kaidah hukum pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 239 K/Sip/1968, menjelaskan, gugatan rekonvensi dapat diajukan selama masih berlangsung jawab menjawab, karena Pasal 158 Rbg/Pasal 132 HIR, hanya disebut jawaban saja. Padahal duplik termasuk jawaban, walaupun bukan jawaban pertama.

Maka, dapat ditarik kesimpulan pengajuan gugatan rekonvensi dapat tergugat ajukan dalam proses jawab jinawab, tidak hanya terbatas saat pengajuan jawaban, melainkan juga duplik, yang dinilai sebagai bagian dari jawab jinawab atau jawaban kedua.

Larangan pengajuan gugatan rekonvensi, bilamana telah selesai proses jawab jinawab, termasuk saat proses pembuktian. Adapun pengajuan gugatan rekonpensi, yang telah selesai proses jawab jinawab, wajib dinyatakan gugatan rekonvensi tidak dapat diterima, sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 642 K/Sip/1972, yang telah diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim Agung Prof. R Subekti, S.H. (Ketua Majelis), dengan didampingi D.H. Lumbanradja, S.H., dan Sri Widojati Wiratmo Soekito, S.H., (masing-masing Hakim Anggota).

Dua Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, telah menjadi Yurisprudensi MA RI, sebagaimana tertuang dalam buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI seri Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata, yang diterbitkan sebagai proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung 

Harapannya artikel penulis, dapat sebagai referensi bagi hakim dalam mengadili perkara serupa dan menambah pengetahuan para pembacanya, terutama akademisi hukum
 

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews