Yurisprudensi MA RI: Kedudukan Kuitansi dalam Pembuktian Perkara Perdata

Sesuai Pasal 165 HIR/Pasal 285 Rbg, akta autentik merupakan bukti sempurna yang mengikat para pihak dan ahli warisnya, yang mendapatkan segala hak dari akta tersebut dan pembuatnya merupakan pejabat yang berwenang.
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA

Prinsip pembuktian perdata, didasarkan pada mencari kebenaran formil sesuai alat bukti yang disajikan dalam persidangan. Pembuktian perdata tidak memerlukan keyakinan hakim.  Bahkan menurut kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 290 K/Sip/1973 yang telah ditetapkan sebagai Yurisprudensi MA RI, menjelaskan pembuktian perdata tidak memerlukan adanya keyakinan hakim. 

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 290 K/Sip/1973 tersebut, diputus oleh Majelis Hakim Agung RI Dr. R. Santosa Poedjosoebroto, S.H., (Ketua Majelis), dengan didampingi Indroharto, S.H. dan BRM NG Hanindyopoetro Sosropranoto, S.H. (masing-masing Hakim Anggota).

Dalam ketentuan Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg/Pasal 1866 KUHPerdata, alat bukti perkara perdata antara lain surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Bukti surat sendiri dikualifikasikan dalam dua bentuk, yakni akta autentik dan akta dibawah tangan, sebagaimana ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata. 

Sesuai Pasal 165 HIR/Pasal 285 Rbg, akta autentik merupakan bukti sempurna yang mengikat para pihak dan ahli warisnya, yang mendapatkan segala hak dari akta tersebut dan pembuatnya merupakan pejabat yang berwenang.

Sedangkan berdasarkan Pasal 1874 KUHPerdata/Pasal 286 Rbg, akta di bawah tangan, adalah segala jenis tulisan dapat berupa surat, register dan bentuk lainnya, yang dibuat tanpa perantara pejabat berwenang dan penandatanganan akta dibawah tangan, sama halnya dengan membubuhkan cap jempol.

Terhadap akta di bawah tangan, seandainya diakui kebenarannya oleh para pihak yang membuatnya, maka nilai pembuktiannya sempurna seperti akta autentik, sebagaimana ketentuan Pasal 1875 KUHPerdata.

Sesuai Pasal 1877 KUHPerdata, bilamana, salah satu pihak atau ahli warisnya berikan bantahan atau sangkalan terhadap keaslian tanda tangan akta dibawah tangan, dimana Majelis Hakim dapat memerintahkan pemeriksaan keaslian tanda tangan di pengadilan. 

Nilai kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan, terletak pada akta aslinya. Bilamana aslinya ada, salinan dan ikhtisar baru dapat dipercaya, dan itu sesuai Pasal 1888 KUHPerdata. 

Apakah kuitansi dalam suatu perikatan, serta merta merupakan bukti surat yang memiliki nilai pembuktian sempurna? Apakah diperlukan kualifikasi tertentu, untuk jadikan kwitansi sebagai alat bukti surat dipersidangan?

Penggunaan kuitansi sering digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bukti telah terjadi perjanjian, khususnya ikatan jual beli atau sewa menyewa suatu benda,

Guna menjawab persoalan dimaksud, penulis akan uraikan kaidah hukum pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 102 K/Sip/1972 yang diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum tanggal 23 Juli 1973, oleh Majelis Hakim Agung RI R. Sardjono, S.H. (Ketua Majelis), dengan didampingi Bustanul Arifin, S.H., dan Indroharto, S.H. (masing-masing Hakim Anggota)

Kaidah hukum pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, menjelaskan surat berbentuk bukti kuitansi, tidaklah merupakan ikatan dibawah tangan, karena pihak lainnya tidak terlibat menulis isi kwitansi atau paling sedikit selain tanda tangan para pihak, harus ditulis dengan tangan pihak lainnya, berupa suatu persetujuan yang memuat jumlah uang yang diterima.

Maka, sesuai kaidah hukum Putusan MA RI tersebut, ditarik kesimpulan kuitansi sebagai bukti surat, yang menunjukan ada serah terima pembayaran sejumlah uang dalam rangka transaksi jual beli, sewa menyewa atau perikatan keperdataan lainnya, minimal selain tanda tangan para pihak diperlukan penulisan sendiri oleh pihak penerima, berupa persetujuan atas jumlah uang yang diterima.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 102 K/Sip/1972 telah menjadi Yurisprudensi MA RI, sebagaimana tertuang dalam buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI seri Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata, yang diterbitkan sebagai proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung. 

Semoga artikel ini, dapat menjadi referensi bagi hakim dalam mengadili perkara serupa dan pengetahuan baru bagi para pembacanya, terutama para akademisi hukum.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews