Dinamisasi Penempatan Hakim: Antara Amanah Jabatan, Pembinaan Karier, dan Penegakan Keadilan Substantif

Pembinaan karier, melalui sistem mutasi berkeadilan, tidak hanya menciptakan peradilan adaptif dan kredibel di mata publik, tetapi juga memperkuat pondasi moral peradilan yang bersih, bermartabat.
ilustrasi hakim sedang mendiskusikan kasus. Foto freepik.com
ilustrasi hakim sedang mendiskusikan kasus. Foto freepik.com

Pelaksanaan mutasi pegawai di Indonesia, berlandaskan prinsip keadilan, transparansi, dan berbasis kompetensi, yang menjadi fondasi utama pengembangan manajemen SDM aparatur negara.

Landasan hukum reformasi birokrasi yang menegaskan prinsip-prinsip tersebut, tertuang dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PANRB) No. 25 Tahun 2021 tentang Penyederhanaan Struktur Organisasi.

Dalam regulasi ini, pemerintah menegaskan pentingnya penataan ulang struktur organisasi dan sistem kerja, untuk mendorong efisiensi, serta efektivitas pelayanan publik. Mutasi pegawai, dipahami, bukan semata sebagai pemindahan administratif, melainkan sebagai instrumen strategis yang mendorong terciptanya birokrasi dinamis, inklusif, dan berbasis kinerja.

Selanjutnya Permen PANRB No. 60 Tahun 2021, mempertegas mekanisme pengelolaan sumber daya manusia aparatur, termasuk pengaturan proses mutasi antarjabatan. Regulasi dimaksud, mengatur setiap keputusan mutasi, harus melalui penilaian mendalam terhadap kesesuaian antara kompetensi pegawai dengan tuntutan jabatan yang akan diemban.

Dengan demikian, mutasi tidak dilakukan secara acak, melainkan berdasarkan analisis kompetensi yang komprehensif. Pendekatan tersebut, bertujuan menciptakan struktur organisasi yang ramping, namun adaptif, sehingga mampu mengakomodasi perubahan kebijakan dan dinamika sosial secara cepat, serta efektif. 

Keterbukaan dan akuntabilitas, tetap menjadi prinsip utama dalam implementasi mutasi sesuai dengan Permen PANRB No. 60 Tahun 2021, di mana setiap proses mutasi harus dilaksanakan secara objektif dan bebas dari intervensi subjektif.

Lebih jauh, perkembangan kebijakan mutasi ASN, semakin disempurnakan melalui Permen PANRB No. 1 Tahun 2025, yang berikan dimensi baru, terhadap penyetaraan jabatan dan penempatan pegawai. Regulasi tersebut, mengamanatkan proses penempatan pegawai, dilakukan secara akurat berdasarkan hasil penilaian kinerja dan kompetensi, guna memperkuat profesionalisme ASN. 

Penyesuaian penempatan tersebut, mendorong ASN lebih adaptif menghadapi dinamika organisasi, serta mampu menjawab kompleksitas tantangan kerja ke depan. Selain itu regulasi ini, juga membangun kerangka penilaian yang objektif, terukur, dan sistematis, sehingga memungkinkan pimpinan instansi lakukan rotasi, berdasarkan evaluasi menyeluruh dan tidak hanya untuk efisiensi struktur, tetapi dalam rangka membangun motivasi dan keterlibatan pegawai pada proses reformasi birokrasi berkelanjutan.

Sejalan dengan pengelolaan SDM di lingkungan ASN, sistem mutasi hakim juga menerapkan prinsip serupa, sebagaimana diatur Mahkamah Agung dalam Surat Keputusan promosi dan mutasi hakim. Di dalam regulasi Mahkamah Agung, prinsip keadilan, objektivitas, dan integritas, dijadikan landasan utama pengambilan keputusan mutasi hakim.

Setiap mutasi hakim mempertimbangkan nilai-nilai sosial yang hidup di tengah masyarakat, memperhatikan kode etik profesi, serta menjunjung tinggi marwah lembaga peradilan. Dengan penerapan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas, proses mutasi hakim berjalan dalam kerangka yang sah, terukur, dan dapat diawasi publik, sehingga kepercayaan masyarakat atas lembaga peradilan tetap terjaga.

Mahkamah Agung, juga menerapkan kebijakan mutasi berbasis tour of duty, khususnya bagi hakim ad hoc yang telah menyelesaikan masa tugasnya, periode lima tahun pertama. Kebijakan ini, bertujuan memperluas cakrawala pengalaman, memperkaya wawasan yudisial, serta mencegah terjadinya keterikatan jangka panjang di satu wilayah hukum, yang berpotensi memunculkan konflik kepentingan.

Proses tour of duty tersebut, dilaksanakan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja, yang tetap menjaga kesinambungan pengembangan hakim, sekaligus memperkuat profesionalisme dan integritas kelembagaan peradilan Indonesia.

Dalam implementasinya, prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan berbasis kompetensi dalam pelaksanaan mutasi, tidak hanya berdampak pada sistem manajemen birokrasi dan peradilan secara struktural, tetapi miliki konsekuensi personal bagi aparatur negara, termasuk bagi Hakim Ad Hoc. Ketika penempatan pegawai, dilakukan kembali di tempat yang sama untuk periode kedua, tanpa adanya rotasi atau perubahan lingkungan kerja, kondisi tersebut berpotensi menimbulkan penurunan motivasi kerja, stagnasi pengembangan profesional, hingga tekanan psikologis, yang berujung pada kelelahan struktural. 

Penempatan berkepanjangan di satuan kerja yang sama, juga menutup peluang berharga memperluas wawasan dan kompetensi, melalui pengalaman lintas wilayah. Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh atas implementasi kebijakan mutasi sangat diperlukan, agar tetap selaras dengan tujuan pengembangan aparatur negara yang profesional, adaptif, dan berkeadilan.

Dengan demikian, penerapan prinsip keadilan, transparansi, dan berbasis kompetensi dalam kebijakan mutasi hakim, tidak semata berfungsi sebagai instrumen manajerial pengelolaan sumber daya manusia peradilan, tetapi jadi bagian dari tanggung jawab moral, sebagaimana pesan moral Ketua Mahkamah Agung dalam pengukuhan Hakim Angkatan IX.

Setiap rotasi dan penempatan tugas, hendaknya dimaknai, bukan sekadar sebagai penugasan administratif, melainkan sarana penguatan karakter, integritas, dan profesionalisme hakim, dalam menjaga marwah lembaga peradilan. Dengan mutasi berkeadilan, tidak hanya akan mendorong peningkatan profesionalisme setiap hakim, tetapi juga meringankan beban pimpinan Mahkamah Agung, karena semua hakim akan senantiasa menjaga marwah dan integritasnya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela. 

Ketika prinsip keadilan, dalam mutasi diterapkan dengan konsisten, hakim yang ditempatkan secara berimbang dan berjenjang di berbagai wilayah peradilan, akan terus terdorong menjaga sikap profesional dan etis, dimanapun mereka bertugas. Pada akhirnya, pembinaan karier, melalui sistem mutasi berkeadilan, tidak hanya menciptakan peradilan adaptif dan kredibel di mata publik, tetapi juga memperkuat pondasi moral peradilan yang bersih, bermartabat, dan senantiasa menegakkan keadilan substantif, bagi seluruh lapisan masyarakat.

Penulis: Unggul Senoadji
Editor: Tim MariNews
Copy