MARINews, Jakarta-Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. memberikan pembinaan kepada Hakim Pengadilan Tingkat Pertama Pada Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia di Ballroom Hotel Grand Mercure Harmoni Jakarta, Jumat (13/6), setelah sebelumnya 1451 hakim angkatan IX MA tersebut, dikukuhkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama dengan Presiden Republik Indonesia.
Dalam pembinaannya, Prof. Sunarto menyampaikan enam pesan penting kepada hakim angkatan IX sebagai bentuk tanggung jawab moral, profesional, dan institusional, bagi hakim angkatan IX dalam menjalani profesi sebagai hakim, yakni:
1. Ketua MA mengucapkan selamat kepada para hakim yang telah berhasil sampai pada tahapan ini. Ketua MA tersebut mengetahui untuk dapat sampai pada tahapan ini, diperlukan kesungguhan dan kesabaran yang tidak sedikit.
Sejak menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, lalu menjadi Pegawai Negeri Sipil dengan jabatan Klerek-Analis Perkara Peradilan, dilanjutkan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang disertai dengan magang, hingga akhirnya para hakim angkatan IX dinyatakan lulus.
Perjuangan itu kini membuahkan hasil yang manis. Tentu saja, tidak hanya para hakim yang baru dikukuhkan tersebut yang merasakan manisnya perjuangan, namun juga orang tua, suami/isteri, anak-anak, keluarga, dan orang-orang yang mengenal, yang saat ini mendampingi, ikut bangga karena telah berhasil menjadi seorang hakim.
Untuk itu, momen ini harus dijadikan sebagai titik tolak perjalanan karir sebagai hakim, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membalas setiap doa dan dukungan adalah dengan menjadi hakim yang cerdas dan berintegritas.
Perlu diingat, untuk menjadi hakim yang cerdas selain diperlukan pembiasaan budaya belajar kapanpun dan di manapun (long life education). Untuk menjadi hakim berintegritas, tidak ada ketentuan mengenai batas waktu pendidikan dan tidak ada ujian akhir, karena ujian integritas sejatinya sepanjang masa selama menjadi hakim.
2. Ketua MA ingin mengajak semua untuk mengintrospeksi diri dengan bertanya pada hati nurani: apa yang telah dan akan diberikan pada institusi?
Agar kiranya ada rasa memiliki (sense of belonging) terhadap organisasi semakin menguat, dan diharapkan dapat menjadi motivasi untuk tidak menodai instansi yang dicintai ini. Sense of belonging dapat menjadi sebuah kunci untuk mencapai visi Mahkamah Agung. Rasa memiliki tersebut menjadi penggerak untuk memiliki kinerja yang baik dan profesional sehingga dapat mendorong produktivitas.
Rasa memiliki akan menimbulkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap organisasi, termasuk dalam mewujudkan visi dan misi Mahkamah Agung. Hakim yang memiliki sense of belonging terhadap organisasi, akan termotivasi agar pekerjaannya tidak sekadar mencari penghasilan, namun menjadikan tempat bekerja sebagai bagian dari dirinya. Sehingga, urusan pekerjaan atau kantor akan dianggap sama pentingnya dengan urusan pribadi, hal inilah yang akan menumbuhkan sikap loyalitas kepada organisasi.
3. Ketua MA ingin mensugesti para hakim agar berani bermimpi bahwa suatu saat nanti, akan menjadi Hakim Agung dan bahkan menjadi pimpinan Mahkamah Agung. Ketua MA menyampaikan bahwa tidak mengapa mengawali cita-cita dengan mimpi, namun harus diingat, mimpi saja tidak cukup. Oleh sebab itu, memerlukan action plan dengan cara meningkatkan intelektualitas, menjaga integritas, dan meng-upgrade kapabilitas keterampilan. Selain itu juga para hakim diingatkan untuk harus mampu menjawab tantangan zaman dengan menguasai teknologi informasi.
4. Para hakim harus menyadari, menjadi hakim berarti menjadi orang yang tidak bebas, namun ketidakbebasan tersebut merupakan pilihan sendiri. Oleh sebab itu, perlu direnungi secara mendalam bahwa profesi hakim adalah “profesi sunyi”. Di tengah kesunyian itu, harus senantiasa menjunjung tinggi etika profesi sebagaimana termuat dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Dalam upaya menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Mahkamah Agung juga melaksanakan fungsi pengawasan dengan tiga pendekatan yaitu: pertama, pendekatan preemtif yang dijalankan dengan program-program peningkatan kapasitas (pelatihan) dan peningkatan kesejahteraan, kedua, pendekatan preventif, dilakukan dengan pemantauan persidangan dan pemantauan terhadap hakim tertentu secara rutin atau incidental dan ketiga, pendekatan represif yang dijalankan dengan program pemanggilan dan pemeriksaan, serta penjatuhan sanksi.
5. Ketua MA menyebutkan, hakim harus menjaga etika komunikasi dalam persidangan, agar tidak terjadi miskomunikasi dengan para pihak, dan agar tidak terjadi distorsi informasi, serta untuk menjaga kondusifitas persidangan. Sebagai hakim tidak boleh reaktif dan emosional ketika menghadapi masalah. Namun sebaliknya, harus merespons segala permasalahan yang dihadapi dengan sabar dan bijaksana.
Etika komunikasi menjadi kunci untuk menciptakan suasana persidangan yang kondusif. Persidangan akan berjalan lancar, bilamana hakim yang memimpin persidangan menguasai hukum acara atau hukum formal. Ketua MA mengingatkan bahwa harus diketahui fungsi hukum acara adalah menegakkan hukum materiil, oleh sebab itu hukum acara disebut juga sebagai rule of the game persidangan.
6. Ketua MA mengingatkan bahwa Presiden Republik Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan hakim. Untuk itu, sebagai respons menyambut upaya pemerintah tersebut,
Mahkamah Agung secara tegas akan menegakkan prinsip “zero tolerance”, yaitu kebijakan tidak ada toleransi terhadap segala bentuk pelanggaran dan penyimpangan, termasuk terhadap pelayanan transaksional, sehingga perlu diingat, sekali saja terjerumus melakukan pelayanan transaksional, maka ibarat meminum air laut, para hakim angakatan IX tidak akan pernah puas, karena semakin diminum justeru semakin terasa haus.
Pesan-pesan ini pastinya tidak hanya ingin disampaikan kepada hakim angkatan IX yang hadir dalam acara pembinaan tersebut, namun pastinya ingin disampaikan juga kepada seluruh hakim di seluruh Indonesia, agar terus merawat dan menjaga integritas.