Dengan keberadaan Indonesia sebagai bagian dari negara pada Asia Tenggara, kesamaan iklim hukum tentunya lebih mirip dengan negara tetangganya. Akan tetapi, ternyata ada beberapa hal yang dapat menjadi poin perbandingan ataupun perkembangan dari praktik hukum di Italia.
Pada webinar bertajuk Peningkatan Kapasitas Hakim: Perbandingan Indonesia-Italia dan Negara-Negara Lain yang diadakan Komisi Yudisial, Konsul Kehormatan Italia di Indonesia Signore Jacopo Cappuchio, menyampaikan pengalaman praktik hukum di Italia.
Italia sebagai bagian dari Eropa layaknya Belanda dan negara Eropa kebanyakan, mengadopsi sistem hukum civil law. Dengan sistem hukum tersebut, Italia menganut hukum positif dalam bentuk peraturan perundang-undangan dibandingkan preseden yurisprudensi layaknya sistem hukum common law. Atas latar belakang tersebut, peraturan perundang-undangan walaupun menjadi dasar hukum yang kokoh, namun juga menjadi faktor pembenar atas inefisiensi hukum di Italia.
Dalam konteks penyelesaian perkara, hingga sekarang administrasi perkara dari pelimpahan perkara, persidangan, hingga finalisasi upaya hukum dapat menghabiskan waktu bertahun-tahun (misalnya perkara penipuan atas nama pelaku Bachis yang dimulai pada 2008 dan baru berkekuatan hukum tetap pada 2014).
Lamanya proses hukum di Italia tersebut, mendorong Pemerintah Italia untuk membuat peraturan perundang-undangan, yang mewajibkan para pihak berkonflik hukum untuk melakukan negosiasi atau mediasi sebelum mendaftarkan atau melimpahkan permasalahan tersebut menjadi perkara ke pengadilan. Konsep tersebut dikenal dengan istilah keadilan negosiasi. Lebih lanjut, keadilan negosiasi adalah keadilan yang mendasarkan pada prinsip berorientasi maju-ke-depan melalui kesepakatan dan persamaan persepsi atas peraturan yang mengikat.
Keadilan negosiasi tersebut menjadi asas pada berbagai pelaksanaan proses hukum dan telah menjadi perangkat untuk mendukung terwujudnya sistem peradilan hukum Italia yang lebih efektif. Keadilan negosiasi di Italia juga dapat dieksekusi oleh subjek nonperadilan seperti hakim ataupun panitera. Baik advokat di luar peradilan hingga kepala desa dapat menjadi penengah dalam proses negosiasi tersebut. Praktik ini juga yang memberikan legitimasi penyelesaian permasalahan secara mandiri dan merakyat pada Italia.
Berkaca pada Italia, Indonesia juga telah menerapkan keadilan negosiasi sebagaimana diatur dalam Perma Mediasi. Namun, mediasi yang dimaksud dalam peraturan tersebut masih terbatas pada mediasi perdata. Hal itu wajar mengingat bahwa mediasi dalam perihal privat memang membutuhkan kesepakatan dari dua belah pihak, sedangkan pidana menyangkut kepentingan publik tidak dapat disederhanakan dalam mediasi begitu saja tanpa dasar hukum yang jelas mengingat sistem hukum civil law yang dianut Indonesia.
Dalam perkembangannya, Indonesia menyadari urgensi Keadilan Negosiasi di Indonesia terutama berkaitan dengan hukum pidana, sehingga dibentuk Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dengan peraturan-peraturan tersebut, aparatur penegak hukum dapat menengahi permasalahan antara pelaku perbuatan pidana, dengan pihak yang dirugikan agar dapat dipulihkan. Sehingga keadilan restoratif bersamaan dengan keadilan negosiasi terwujud.
Gagasan keadilan restoratif sebagai upaya memenuhi keadilan negosiasi ini memang masih patut dilihat sebagai suatu perspektif saja, karena keadilan negosiasi yang dimaksud Cappuchio adalah kesadaran dari masyarakat sendiri. Sehingga, efisiensi hukum tidak hanya ditimbulkan dari aparatur penegak hukum melainkan dari masyarakat itu sendiri. Untuk itu, perlu ada pengaturan secara khusus dalam hukum acara pidana berkaitan dengan penyelesaian perselisihan pidana yang bermuara pada masyarakat itu sendiri dengan cara atau sistem musyawarah yang wajar dan terkendali.