Forum Deliberatif: Pilar Baru Legitimasi Putusan Pengadilan di Era Pembaruan Peradilan Indonesia

Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip deliberasi demokratis ke dalam fungsi peradilan, pengadilan Indonesia dapat membangun fondasi legitimasi yang lebih kuat dan tahan lama.
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto  Unsplash
Ilustrasi putusan pengadilan. Foto Unsplash

Dalam lanskap keadilan Indonesia yang terus berevolusi, peradilan kita berada di persimpangan penting. Di tengah meningkatnya tuntutan akan transparansi dan akuntabilitas, pengadilan ditantang untuk tidak hanya menghasilkan putusan yang berkualitas, tetapi juga diterima secara luas oleh masyarakat.

Ketika kepercayaan publik terhadap institusi peradilan menghadapi berbagai ujian, kita perlu mempertimbangkan kembali cara pengadilan berinteraksi dengan beragam suara dalam masyarakat.

Forum deliberatif menawarkan jalan transformatif untuk memperkuat legitimasi putusan pengadilan dan membawa sistem peradilan Indonesia menuju era baru pembaruan yang substantif.

Legitimasi Pengadilan di Indonesia

Legitimasi pengadilan di Indonesia memiliki sejarah panjang yang mencerminkan perjalanan bangsa. Pada masa kolonial, pengadilan lebih menjadi alat penguasa daripada institusi pencari keadilan. (Adriaan Bedner, 2016).

Pascakemerdekaan, upaya pembaruan dihadapkan pada tantangan untuk merekonsiliasi tradisi hukum kolonial dengan nilai-nilai keadilan Indonesia. Selama era Orde Baru, legitimasi pengadilan sering dikompromikan oleh intervensi politik, menjadikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan berada pada titik rendah (Sebastian Pompe, 2005).

Reformasi 1998 membuka lembaran baru dengan amandemen UUD 1945 yang mengamanatkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Mahkamah Konstitusi dibentuk, Komisi Yudisial diberi mandat untuk menjaga integritas hakim, dan berbagai inisiatif diimplementasikan untuk meningkatkan profesionalisme dan transparansi pengadilan. Namun, reformasi struktural ini belum sepenuhnya mengatasi krisis legitimasi yang lebih mendalam.

Survei terkini menunjukkan, meskipun terdapat peningkatan kepercayaan publik terhadap pengadilan dibandingkan dengan era sebelumnya, tingkat kepercayaan terhadap sistem peradilan masih berada di bawah tergolong rendah. (Indkator, 2024). Data ini mengindikasikan, reformasi institusional perlu diperkaya dengan pendekatan yang lebih berakar pada prinsip demokrasi deliberatif.

Krisis Legitimasi Kontemporer

Pengadilan Indonesia saat ini menghadapi tantangan legitimasi yang muncul dari berbagai dimensi. Ruang digital telah melahirkan fenomena "pengadilan jalanan" di media sosial. Di mana, kasus-kasus hukum diadili oleh opini publik sebelum bahkan persidangan formal dimulai. Putusan-putusan kontroversial sering disambut dengan skeptisisme publik, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan korupsi atau isu-isu sensitif terkait korporasi, kebebasan beragama dan politik.

Masyarakat Indonesia yang semakin terdidik dan terhubung digital tidak lagi bersedia menerima begitu saja otoritas pengadilan. Mereka menuntut transparansi yang lebih besar dan partisipasi yang lebih bermakna dalam proses peradilan. Fenomena ini bukan sekadar tantangan legitimasi tetapi juga peluang untuk memikirkan kembali hubungan antara pengadilan dan masyarakat yang dilayaninya.

Mahkamah Agung Indonesia sendiri memang sejak 2010 telah meluncurkan program reformasi peradilan yang komprehensif melalui "Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035" yang menetapkan visi untuk mewujudkan peradilan yang agung. Namun, sebagian besar inisiatif masih berfokus pada aspek teknis dan manajemen, seperti digitalisasi administrasi dan peningkatan efisiensi prosedural. Meskipun penting, langkah-langkah ini belum sepenuhnya mengatasi defisit legitimasi yang lebih substansial.

Forum Deliberatif sebagai Solusi

Forum deliberatif menawarkan paradigma baru dalam pembaruan peradilan Indonesia. Konsep ini berakar pada teori demokrasi deliberatif yang dikembangkan oleh pemikir seperti Jürgen Habermas dan Amy Gutmann, yang menekankan pentingnya diskusi inklusif dan beralasan dalam pengambilan keputusan publik. (Jürgen Habermas, 1996).

Dalam konteks peradilan, forum deliberatif dapat diimplementasikan melalui berbagai mekanisme yang memfasilitasi dialog bermakna antara hakim, akademisi, praktisi hukum, dan publik yang lebih luas.

Pengalaman dari yurisdiksi lain menunjukkan potensi transformatif dari pendekatan ini. Di Kanada, Supreme Court secara rutin mengadakan dialog publik tentang isu-isu hukum kontroversial, menciptakan ruang untuk memediasi perbedaan pendapat dan membangun pemahaman bersama (Emmett Macfarlane, 2013).

Di Afrika Selatan, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi pascaapartheid mendapatkan legitimasi yang kuat karena proses deliberatif yang melibatkan berbagai suara masyarakat sipil (Theunis Roux, 2013).

Indonesia sebenarnya memiliki tradisi musyawarah yang kaya, yang dapat menjadi landasan budaya untuk forum deliberatif di lingkungan peradilan. Konsep "musyawarah untuk mufakat" yang berakar dalam filosofi Pancasila meresonansikan prinsip-prinsip deliberasi demokratis. Mengaktifkan kembali warisan ini dalam konteks modern dapat menciptakan model forum deliberatif yang otentik secara kultural dan efektif secara institusional.

Model Forum Deliberatif untuk Pengadilan Indonesia

Bagaimana forum deliberatif dapat diintegrasikan ke dalam realitas pengadilan Indonesia? Ada beberapa skema atau model konkret yang menurut penulis dapat dipertimbangkan menjadi bagian dari program reformasi peradilan baik yang bersifat formal maupun substansial, beberapa di antaranya seperti:

1. Kolaborasi Antar Institusi

Forum deliberatif tidak perlu beroperasi secara terpisah dari institusi yang sudah ada. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, perguruan tinggi hukum, dan organisasi masyarakat sipil dapat berkolaborasi untuk menciptakan platform dialog yang berkelanjutan. Misalnya, konferensi tahunan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan ini dapat membahas tren yurisprudensi dan tantangan dalam penegakan hukum.

Memang trend model ini, sedikit banyak telah diterapkan Mahkamah Agung. Misalnya, dengan pembentukan tim pembaharuan peradilan yang terdiri banyak stakeholder termasuk akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Meskipun demikian, dalam pandangan penulis kerja tim pembaharuan peradilan sudah seharusnya tidak lagi hanya mencakup aspek reformasi birokrasi dan peningkatan akses terhadap pengadilan, program tersebut harus juga menyasar upaya membangun legitimasi pengadilan di hadapan publik.

2. Deliberasi Pra dan Pasca Putusan

Untuk kasus-kasus penting yang memiliki implikasi luas, pengadilan dapat mengadopsi mekanisme deliberasi pra dan pasca putusan. Sebelum persidangan, forum publik dapat diadakan untuk mengidentifikasi berbagai perspektif dan kepentingan yang terlibat. Setelah putusan, forum serupa dapat diselenggarakan untuk menjelaskan penalaran di balik putusan dan menjawab pertanyaan dari masyarakat.

Sebagai contoh, Mahkamah Agung dapat mengembangkan program "Pengadilan untuk Semua" dengan mengadakan dialog publik tentang kasus-kasus yang memiliki dampak signifikan pada masyarakat luas. Ini tidak hanya akan meningkatkan pemahaman publik tentang penalaran konstitusional tetapi juga memberikan masukan berharga bagi hakim konstitusi.

3. Jurnal Deliberatif Digital

Di era digital, forum deliberatif tidak harus dibatasi oleh ruang fisik. Platform digital dapat dibangun untuk memfasilitasi diskusi berkelanjutan tentang isu-isu hukum penting. "Jurnal Deliberatif Digital" dapat menjadi ruang di mana putusan-putusan penting dianalisis dari berbagai perspektif dan masyarakat dapat memberikan tanggapan yang terstruktur.

Pengadilan di daerah, misalnya, dapat meluncurkan platform "Distric Court Commons" yang memungkinkan praktisi hukum, akademisi, dan publik untuk mendiskusikan praktik terbaik dan pembelajaran dari kasus-kasus kompleks.

Platform semacam ini akan menciptakan umpan balik yang berharga untuk perbaikan sistem peradilan sekaligus membangun komunitas yang peduli terhadap isu-isu hukum.

Dampak Forum Deliberatif terhadap Legitimasi Putusan

Implementasi forum deliberatif akan menghasilkan dampak multidimensi terhadap legitimasi putusan pengadilan di Indonesia, di mana dari aspek prosedural forum deliberatif memperkuat legitimasi prosedural dengan mengubah proses pengambilan keputusan menjadi lebih inklusif dan transparan.

Ketika masyarakat merasa suara mereka didengar dalam proses peradilan, mereka lebih cenderung menerima hasilnya bahkan jika tidak sepenuhnya setuju dengan substansinya. Ini menciptakan apa yang disebut oleh ahli teori hukum sebagai "prosedural justice" - keadilan yang dirasakan dari proses itu sendiri.

Secara substantif, kualitas putusan pengadilan juga dapat ditingkatkan melalui proses deliberatif. Dengan mempertimbangkan berbagai perspektif dan pengetahuan, hakim dapat mengembangkan analisis hukum yang lebih komprehensif dan kontekstual. Ini sangat penting dalam sistem hukum pluralistik seperti Indonesia, di mana hukum nasional berinteraksi dengan norma adat dan agama.

Terakhir, secara sosiologis, dan mungkin dampak terpenting dari forum deliberatif adalah  penerimaan luas putusan pengadilan oleh masyarakat. Ketika pengadilan terlibat dalam dialog yang bermakna dengan publik, mereka dapat membangun narasi bersama tentang keadilan yang menghubungkan doktrin hukum formal dengan nilai-nilai dan keprihatinan masyarakat. Ini membuat putusan pengadilan menjadi lebih relevan dan dapat diakses oleh warga biasa.

Tantangan dan Strategi Implementasi

Mengintegrasikan forum deliberatif ke dalam sistem peradilan Indonesia tentunya menghadapi berbagai tantangan. Resistensi institusional, keterbatasan sumber daya, dan risiko politisasi perlu diantisipasi dan diatasi.

Salah satu kekhawatiran adalah bahwa forum deliberatif dapat mengganggu independensi yudisial. Namun, perlu dibedakan antara independensi dan isolasi. Forum deliberatif tidak dimaksudkan untuk mendiktekan hasil putusan tetapi untuk memperkaya proses pengambilan keputusan dengan perspektif yang beragam. Hakim tetap memiliki otoritas akhir untuk memutuskan kasus berdasarkan hukum dan fakta.

Strategi implementasi bertahap dapat membantu mengatasi tantangan ini. Dimulai dengan proyek percontohan (pilot project) di pengadilan terpilih, kemudian melakukan evaluasi komprehensif sebelum memperluas ke yurisdiksi lain. Kemitraan dengan perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil dapat membantu mengatasi keterbatasan sumber daya dan memastikan kualitas proses deliberatif.

Menuju Peradilan yang Lebih Deliberatif

Pembaruan peradilan Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam dua dekade terakhir. Namun, untuk mencapai visi "peradilan yang agung," diperlukan lebih dari sekadar perbaikan teknis dan administratif. Diperlukan transformasi dalam cara pengadilan berhubungan dengan masyarakat dan membangun legitimasinya.

Forum deliberatif menawarkan jalur yang menjanjikan untuk transformasi ini. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip deliberasi demokratis ke dalam fungsi peradilan, pengadilan Indonesia dapat membangun fondasi legitimasi yang lebih kuat dan tahan lama. Ini bukan sekadar tentang meningkatkan citra publik tetapi tentang mengembangkan model peradilan yang benar-benar responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.

Ketika Indonesia melangkah maju dalam perjalanan pembaruan peradilannya, forum deliberatif dapat menjadi pilar penting yang tidak hanya memperkuat legitimasi putusan pengadilan tetapi juga memperdalam kualitas demokrasi konstitusional kita. Inilah saatnya untuk memikirkan kembali hubungan antara pengadilan dan masyarakat, antara hukum dan keadilan, dan membangun sistem peradilan yang berakar kuat dalam nilai-nilai deliberatif.