“To make justice the creature of convention is to deprive it of its critical character, even if allowance is made for competing interpretations of what the relevant tradition requires.” – Michael J. Sandel dalam Public Philosophy, Harvard University Press (254)
Michael Sandel merupakan filsuf hukum dan politik yang berbasis di Harvard, terkenal dengan upayanya tanpa henti untuk memperkenalkan konsep keadilan menjadi bagian dari ruang publik, karena ke luar dari kungkungan pagar konseptual akademik dan akademisi.
Salah satu karyanya yang diterima sangat luas, Justice: What’s the Right Thing to Do (2009), mencoba mendiseminasikan artikulasi semacam ini. Dengan gaya penuturan cair khas Sandel selama memberikan kuliah di Harvard University, tempat Sandel memegang jabatan guru besarnya, konsepsi keadilan menjadi bahan diskusi res publica yang sangat bernas.
Pertanyaan Sandel (2009) dalam bukunya tersebut dibuka dengan sebuah kasus di Florida, setelah bencana badai berbagai pihak mengambil keuntungan pribadi untuk menaikkan biaya jasa seperti prasarana air bersih hingga beberapa kali lipat. Singkatnya, berbagai pihak mengambil keuntungan finansial dari korban bencana alam. Karena masyarakat di wilayah itu cenderung melek argumentasi, terbitlah sebuah undang-undang baru yang mencegah tindakan memeras korban bencana alam dengan menaikkan harga di luar kewajaran.
Hal itulah yang kemudian membuat konsep keadilan menjadi sangat problematis: berbagai pihak mengambil posisi pro dan kontra. Polemik ini menjadi sangat tajam karena melibatkan berbagai pertanyaan tentang hak individu dan hak warga negara.
Namun demikian, ada satu poin unik yang dipetikkan Sandel dalam sebuah kuliah umumnya di Sanders Theatre di 2005. Bahwa ada risiko personal dan kolektif dari pemahaman warga negara tentang konsep-konsep fundamental dalam filsafat hukum seperti keadilan.
Dalam Public Philosophy (2005), Sandel memberi argumen bahwa dilema moral dalam kehidupan kewarganegaraan memang sudah semestinya menjadi konsumsi publik. Sikap kritis publik dalam pembelajaran filosofis setidaknya berdampak pada individu dan masyarakat.
Tiket Abstraksi Satu Arah
Filsafat bekerja dengan mencoba menarik garis batas epistemik dari persepsi tentang realitas dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Sandel, filsafat tidak bekerja dengan kebaruan. Sebaliknya, prinsip filosofis mulai dengan mengasingkan yang akrab. Di bagian introduksi, Sandel menghadirkan kembali contoh populernya “Runaway Trolley” (2005:17-18) sebagai sebuah demonstrasi tentang bagaimana yang biasa menjadi yang asing.
Contoh seminalnya bekerja ala teknik maieutiknya (metode filosofis yang menggunakan dialog dan pertanyaan untuk menggali pengetahuan dari seseorang) Sokrates. Sandel mulai dengan bertanya pada publik tentang hal-hal yang mereka ketahui.
Selanjutnya, Sandel menarik alur diskusi hingga pengetahuan audiensnya mencapai marjin titik debat. Dari batas argumentasi inilah, pengetahuan Sokratik dimunculkan-bukan oleh pihak yang mengajar-tetapi oleh pihak yang belajar. “Some moral dilemmas arise from conflicting moral principles. […]. Other moral dilemmas arise because we are uncertain how events will unfold” – “beberapa dilema moral muncul dari prinsip-prinsip moral yang bertentangan […]. Dilema moral lainnya muncul karena kita merasa ragu tentang bagaimana sebuah kejadian dapat terjadi” (Sandel, 2005:18).
Dengan kata lain, secara individual, bagi Sandel, mereka yang belajar fondasi konseptual seperti argumentasi tentang keadilan, tidak pernah akan berpikir sama atau seperti biasa tentang gagasan yang terlihat sangat sederhana.
Berfilsafat tentang keadilan seperti memberi sebuah tiket satu arah pada pengembara argumen, tanpa kemungkinan untuk kembali ke pemahaman awam tentang seberapa adil sebuah tindakan. Dampak berfilsafat secara individual adalah seperti memecah sebuah lukisan yang ada di ruang makan dalam potongan-potongan pazel dan kemudian melepaskannya dari dinding dan menyusunnya ulang. Imaji yang tadinya sangat akrab dan biasa menjadi sangat ganjil dan di luar kebiasaan. Inilah yang dimaksud Sandel sebagai pengasingan.
Alir Masyarakat Heraklitean
Adalah Heraklitos, filsuf Yunani pra-Sokratik yang mengatakan bahwa kita tidak akan mungkin masuk ke dalam sungai yang sama dua kali (“potamoisi toisin autoisin embainousin hetera kai hetera hudata epirrei” – Daniel W. Graham, 2023). Ini terjadi karena dua hal: sungai yang kita jejaki dialiri oleh air berbeda, dan kita sebagai manusia tidak pernah menjejakkan kaki yang sama.
Yang pertama, air sungainya selalu berbeda lebih mudah untuk kita pahami karena semuanya mengalir. Yang kedua, kita menjejakkan kaki yang berbeda mungkin memerlukan refleksi lebih lanjut. Secara biologis regenerasi sel tubuh manusia berlangsung setiap detik. Dengan kata lain, tubuh kita manusia adalah tubuh yang selalu baru. Realitas adalah aliran (flux) bagi Heraklitos, sehingga untuk memami realitas kita mesti memahaminya dari perspektif kebaruan.
Cara pandang inilah yang perlu kita pahami dalam menelaah pernyataan Sandel, yang menyebut, dampak sosial dalam pemahaman filosofis secara kolektif adalah kewarganegaraan yang terus mengalir. Tipologi masyarakat seperti ini menjadi tantangan baru untuk pembuat kebijakan manapun. Seperti konsekuensi personalnya, dampak komunalnya adalah sebuah reaksi yang fluktuatif yang terus menerus menggelegak. Dalam kondisi semacam ini, konsep menemukan rumah (habitus)-nya karena selalu berada dalam wilayah perdebatan tanpa henti tentang cara memaknai keadilan.
Bahkan, kecenderungan dari disposisi konseptual yang mengalir ini adalah reaksi publik yang memiliki ciri yang serupa dengan fenomena gelombang: basis opini tidak akan pernah berlaku sama untuk waktu yang sama. Konteks menjadi sangat penting untuk dapat membaca gerak argumentasi masyarakat. Bukan hanya aspek negatif seperti disinformasi dan misinformasi yang mengalibrasi ulang persepsi publik, namun gradasi informasi faktual pun menjadi elemen penting dalam pewacaan sosial.
Peran Media Sosial dalam Pemahaman Filosofis
Sandel sepertinya membaca kecenderungan gerak diseminasi digital dalam masyarakat 5.0 yang dibentuk oleh konstruksi media sosial dengan menggerus peran media cetak konvensional yang mulai masuk masa senja. Di dalam masyarakat seperti ini, flux yang digagas Sandel bekerja. Ceramahnya di Sanders Theater pun memberikan pesan mitigasi yang sama.
Bagi Sandel, adalah naif untuk berpijak pada asumsi bahwa virtue (kebijaksanaan) adalah elemen inheren dari keterpaparan masyarakat terhadap pola pikir logis dan filosofis. Menurut Sandel, selalu ada risiko dalam pemaknaan konsep-konsep dasar yang bisa saja menjadi antitesis dari pesan dalam teks filsafat hukum tersebut. Seperti sebuah pisau, masyarakat dapat menjadi lebih aktif dalam peran politisnya, atau sebaliknya, berada pada jalur regresi dan bahkan destruktif.
Tambah lagi, realitas media sosial adalah sebuah ranah yang dibentuk oleh teknologi algoritmik. Algoritma yang membuat kita memiliki linimasa (timeline), dan menjadi patokan dari apa yang dapat kita lakukan. Teknologi yang mengendalikan opini dan arus argumentasi menjadi konsekuensi yang tidak dapat kita abaikan.
Pemikir kontemporer Bruno Latour memberikan jaminan dalam argumennya tentang Actor-Network Theory. Menurut Latour, manusia memiliki peran konstan dalam meredefinisi persepsi masyarakat dalam ruang hidup teknologis (Latour, 2005:72). Peranan inilah mungkin yang menjadi misi dari gaya berfilsafat Sandel.
Dengan dibukanya keran argumentasi filosofis di berbagai institusi sosial, maka dampak positif dan negatif memiliki kecenderungan yang setara. Masyarakat yang sadar dengan guliran argumen ke ruang publik dapat lebih bertanggung jawab dengan keputusan yang mereka ambil.
Publik dan Pembelajaran Konseptualnya
Pada akhirnya, kita dapat bertanya ke mana ruang-ruang diskusi ala Sandel bermuara. Seperti yang telah disinggung di paragraf sebelumnya, masyarakat yang sadar memiliki sikap tanggung jawab yang lebih menyeluruh. Namun demikian, berbagai pilihan sulit saat konsep keadilan dibawa ke tataran praktis tidak lagi dapat dianggap sepi.
Dengan kata lain, argumen besar Sandel mengarah pada sebuah proses deliberasi masif yang melibatkan ratusan juta warga negara yang menghuni wilayah geografis tertentu. Namun dengan individu yang dipenuhi berbagai konsep asing dalam pikirannya, dan masyarakat dengan fluktuasi opini dan argumentasi yang semakin tajam, mengelola berbagai abstraksi yang menjadi dasar dari penyusunan peraturan dan undang-undang memerlukan pendekatan yang berbeda.
Sekarang, perlukah kita mengambil pelajaran dari pendekatan yang diusung oleh Sandel? Dalam ruang-ruang komunikasi yang sangat cair dan terbuka ini sangat sulit untuk berasumsi bahwa argumentasi publik tidak akan memiliki dampak yang signifikan.
Justru sebaliknya, sekalipun ada dampak personal dan komunal, sikap yang paling mendasar dan relevan untuk tetap memeriksa konsep-konsep filosofis sederhana dalam filsafat hukum adalah pilihan yang tepat. Setidaknya, dengan lebih banyak masyarakat bertanggung jawab dengan tindakan yang dilakukannya, dunia hukum di Indonesia dapat bergerak dengan leluasa dalam menghadapi perkembangan zaman.