“Until philosophers rule as kings or those who are now called kings and leading men genuinely and adequately philosophize... there will be no rest from evils... for states nor, I think, for the human race.”
Plato (The Republic V, 473c-d).
Hal-hal etis seperti hati nurani boleh jadi merupakan persoalan perenial yang tidak akan pernah berhenti diperdebatkan oleh para filsuf etika. Namun demikian, tidak mudah melibatkan elemen yang bersifat mental itu dalam tatanan hukum, terutama karena penalaran merupakan fondasi dari Ilmu Hukum. Plato dalam Republik (Politeia) menyatakan, kekuasaan seharusnya dikendalikan oleh mereka yang memahami kebijaksanaan sejati (philosopher kings).
Pemikiran Plato tersebut, mengarah pada fondasi naturalisme dalam filsafat hukum yang berakar pada mazhab idealisme. Prinsip ini pulalah yang menjadi dasar relasi top-down tentang penguasa yang adil (iustum), benar (verum), dan rasional.
Namun demikian, apa yang dicita-citakan Plato ini dapat dibaca dengan cara yang berbeda, terutama saat dihadapkan dengan konsep pencapaian (merit). Secara tidak langsung Plato memberikan dukungan terhadap pencapaian sebagai cara berada (mode of being) dari seseorang.
Dalam pemahaman kapitalistik, siapapun yang berhasil meraih prestasi dalam pemerolehan kekayaan secara manusiawi lebih layak daripada mereka yang tidak mendapatkan apapun dalam hidup (the least well-off). Baik dalam civil law maupun common law, perspektif naturalisme yang diangkat Plato dapat didistorsi menjadi tatanan hukum yang bersifat memihak golongan tertentu-terutama mereka yang masuk dalam daftar orang-orang terkaya di sebuah negara.
Dengan kata lain, gagasan Plato tersebut ironisnya dapat dijadikan fondasi dari keberadaan oligarki baru-wirausahawan dan mereka yang berkecimpung dalam dunia ekonomi dan bisnis.
Meritokrasi berpeluang menciptakan tatanan yang bersifat noninklusif, sebagaimana yang terjadi pada periode pertama pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat. Bahkan, kemenangan Trump dalam pemilihan umum periode kedua didukung sepenuhnya oleh salah satu orang terkaya di negara tersebut yang berasal dari industri teknologi, Elon Musk.
Publik pernah disuguhkan kenyataan bahwa Mark Zuckerberg, pemilik raksasa komunikasi Meta (yang membawahi Facebook, WhatsApp, dan Instagram), terlibat dalam kampanye yang menjadi skandal Cambridge Analytica, yakni penjualan data pribadi demi memenangkan salah satu calon presiden. Hal tersebut menunjukkan, kemenangan Trump saat itu merupakan “kemenangan kedua” bagi para mogul industri high tech.
Dengan karakter hukum yang adaptif, bukan tidak mungkin instrumen legal berubah menjadi alat kekuasaan yang pada akhirnya menegasi tujuan utama keberadaannya dalam masyarakat.
Realitas dan Karakter Otoritarian Meritokrasi
Realitas yang dihidupi manusia menurut Plato (Pappas, 2024) tidaklah nyata (ta phainomena). Dunia yang sesungguhnya (ta eidos), berada di luar jangkauan sisi material manusia. Manusia yang ragawi tidak akan pernah rasional (entheoi ontes kai katechomenoi).
Oleh karena itu, kebaikan dan keadilan tidak akan pernah dicapai dari mereka yang terbelenggu hasrat (epithymētikon) atau emosi (thymoeides). Seturut Plato, hukum yang memberi penghargaan terhadap martabat manusia selalu berjalan beriringan dengan peraturan yang perundang-undangan yang bekerja dalam sebuah negara.
Sehingga dalam garis pemikiran Plato, kekuasaan yang bekerja lewat hukum (“is”) adalah yang memiliki cita-cita yang luhur (“ought”). Orang awam (temperance dalam istilah dari pemikir Garrett Hardin) cenderung eratik dan irasional (Hardin, 1968:1246). Tujuan dari legislasi adalah untuk mengembalikan rasio ke warga negara.
Pemikir C. Wright Mills mengingatkan, orang-orang dalam lingkar kekuasaan yang bekerja dengan cara menggiring rasionalitas konstituennya akan berujung pada ekses yang irasional. Lebih lanjut bagi Mills: “The long-time tendency of business and government to become more intricately and deeply involved with each other has […] reached a new point of explicitness” (Kecenderungan jangka panjang antara dunia usaha dan pemerintahan untuk terlibat secara semakin rumit dan mendalam satu sama lain […] menjadi semakin eksplisit) (Mills, 1956:274); orang bahkan tidak merasa malu saat melakukan tindakan koruptif.
Lebih lanjut teoretikus John Kenneth Galbraith bahkan mengatakan, pada tahapan akut, negara akhirnya menjadi perpanjangan tangan dari korporasi. Galbraith menengarai, kekuasaan negara yang terlalu sentral hanyalah perpanjangan tangan dari praktik monopoli, yang menurutnya: “When the modern corporation disenfranchises its stockholders, grows to gargantuan size, expands into wholly unrelated activities, is a monopoly where it buys and a monopoly where it sells, something is wrong” (Ketika korporasi modern mencabut hak-hak pemegang sahamnya, tumbuh menjadi raksasa korporasi, melakukan ekspansi ke berbagai bidang, memonopoli pembelian dan penjualan, pasti ada yang salah yang sedang terjadi) (Galbraith, 1967:84).
Mekanisme politik seperti ini akhirnya menjadi oligarki yang bersifat otokratik. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018:95-97) mencatat secara historis bahwa otokrasi berdampak langsung pada penyelenggaraan proses hukum. Hakim Mahkamah Agung dalam sejarah menjadi pihak pertama yang terdampak dari naiknya seorang despot ke tampuk kekuasaan, seperti yang terjadi di Hungaria di bawah Victor Orbán, Peru di masa Alberto Fujimori, dan Argentina di pemerintahan Juan Perón.
Konsolidasi kekuasaan dari ketiga pemimpin otoriter tersebut dilakukan dengan cara mengendalikan Mahkamah Agung lewat intimidasi atau ancaman pemecatan. Yuval Noah Harari (2024) mengatakan, Mahkamah Agung adalah salah satu elemen terpenting dalam demokrasi, karena inti dari demokrasi adalah dialog yang dilakukan dengan terbuka antara badan eksekutif, yudikatif, legislatif, dan juga termasuk pers.
Dilema Kapitalisme dan Ekses Pencapaian
Sejak runtuhnya monarki, secara perlahan tetapi pasti potret ideal warga negara tidak lagi diletakkan di bingkai istana, tetapi di konvensi kultural. Sosiolog Max Weber menengarai bahwa pascaaristokrasi sosok individu yang diidamkan beralih ke pencapaian, terutama karena ada nilai-nilai etik yang diadaptasi dari nilai-nilai religius, yang berkembang di Barat (Weber, 2001).
Etos yang baru ini, mengerucut ke satu titik fokus: hal-hal yang sudah diraih dalam hidup seseorang menentukan status dan martabat orang tersebut. Salah satu sisi paling pejal dari prestasi adalah penguasaan properti yang bersifat material atau finansial, dan ini mengubah pola kerja dan pola konsumsi masyarakat. Revolusi industri di awal Abad ke-20 membuat orang harus bekerja 3.500 jam per tahun (Huberman & Minns, 2007).
Seabad lebih kemudian, di 2018 ada 1,4 miliar orang yang melakukan perjalanan wisata konsumtif ke berbagai destinasi di dunia (World Tourism Barometer, 2019). Berwisata telah menjadi salah satu cerminan dari gaya hidup di Era Revolusi Industri ke-4. Singkatnya, sekarang masyarakat modern meletakkan konsumsi sebagai titik sentral nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam situasi semacam ini, kecenderungan bagi kekuasaan untuk menekuk sistem hukum menjadi sangat tinggi. Filsuf Noam Chomsky mengatakan bahwa masuknya korporasi dan media ke dalam lingkar penentu kebijakan menjadi tantangan serius terhadap imparsialitas hakim dalam mengambil keputusan (Chomsky, 2016).
Dalam konteks ini, keputusan yang diambil atas nama welas asih (compassion) menjadi semakin sulit. Yang “is” menjadi semakin terpisah jauh dengan yang “ought”. Ekses terberat dari fenomena ini adalah dead letter laws yang akhirnya tidak menjadi bagian dari marwah hukum itu sendiri, untuk mengayomi nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat. Banyak putusan pengadilan yang dalam pandangan awam terlihat pincang dari sisi kemanusiaan, sekalipun putusan-putusan tersebut secara yuridis-formal terlihat bersih dan apik.
Dengan demikian, membaca gagasan Plato tentang philosopher kings dapat ditafsirkan ke arah yang berbeda, yang akhirnya menghasilkan distorsi pencapaian sebagai bagian integral dari kekuasaan. Untuk dapat mengembalikan pembacaan ide Plato tentang rasio dalam logistikon sebagai elemen sentral dari menjadi manusia yang bebas dan luhur, memisahkan hukum dari cita-cita asalinya adalah sesuatu yang kontra-produktif terhadap hakikat dari hukum itu sendiri.
Tugas iuris termasuk para hakim adalah untuk menjadi jembatan antara ta pheinomena dengan ta eidos. Ini tidak berarti pencapaian (merit) tidak penting, namun sebaliknya, dengan mengultuskan meritokrasi sebagai fondasi dari kekuasaan, prestasi akhirnya direduksi dan dipisahkan dari martabat manusia.