Menilik Sistem Tilang Elektronik (ETLE): Inovasi, Tantangan, dan Peran Peradilan

Sistem ETLE dapat menjadi sarana penegakan hukum yang efektif, adil, dan terpercaya bagi masyarakat.
Korlantas Polri menerapkan sistem tilang elektronik (ETLE) di sejumlah ruas jalan tol. Foto korlantas.polri.go.id
Korlantas Polri menerapkan sistem tilang elektronik (ETLE) di sejumlah ruas jalan tol. Foto korlantas.polri.go.id

Sistem tilang elektronik atau electronic traffic law enforcement (ETLE) merupakan terobosan baru penegakan hukum lalu lintas di Indonesia. Berdasarkan, bantuan kamera pengawas yang terintegrasi dengan sistem milik kepolisian, pelanggaran lalu lintas dapat terekam secara otomatis dan dijadikan dasar penindakan, tanpa kehadiran fisik petugas di lapangan.

ETLE memiliki sejumlah kelebihan yang patut diapresiasi. Pertama, sistem ini mengurangi praktik pungutan liar, karena proses penilangan tidak lagi dilakukan secara langsung. Kedua, efektivitas pengawasan dapat ditingkatkan, tanpa mengandalkan kehadiran polisi di setiap titik rawan pelanggaran. Ketiga, proses penindakan lebih tertib dan tersistem melalui dokumentasi digital.

Namun demikian, ETLE menghadirkan tantangan tersendiri. Salah satu kelemahan utama, sistem ini mengenakan sanksi kepada pemilik kendaraan, sebagaimana tercatat di BPKB dan bukan pelaku pelanggaran sebenarnya. Hal ini menimbulkan ketidakadilan, bilamana kendaraan yang digunakan merupakan hasil sewa, pinjam, atau telah berpindah tangan, tanpa pembaruan data BPKB. Surat tilang otomatis dikirimkan ke alamat terdaftar, yang dapat saja bukan alamat pelanggar.

ETLE hanya berlaku pada ruas jalan yang telah dipasangi kamera pengawas dan terhubung ke sistem kepolisian. Bagi wilayah yang belum terjangkau, tilang manual masih diberlakukan sesuai prosedur standar lalu lintas. Mekanisme pembayaran tilang ETLE, dilakukan melalui transfer bank atau kanal pembayaran digital yang ditentukan, namun banyak masyarakat belum memahami detail teknis atau tata cara keberatan atas denda tersebut.

Kekhawatiran lain, denda yang dikenakan cenderung menggunakan nilai maksimal. Meskipun hakim akhirnya akan menetapkan besar denda yang harus dibayar, informasi terkait pengembalian kelebihan pembayaran, masih belum transparan dan membingungkan masyarakat. Di sinilah peran penting Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi diperlukan untuk memberikan pedoman yang lebih jelas.

Demi menjamin kepastian hukum dan keadilan, disarankan agar Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran khusus yang mengatur praktik peradilan, terkait sistem ETLE. Surat Edaran, dapat menjelaskan kewenangan hakim menentukan denda, tata cara pengembalian kelebihan pembayaran, hingga perlindungan bagi pemilik kendaraan yang bukan pelaku pelanggaran. Dengan regulasi yang komprehensif dan mudah dipahami, sistem ETLE dapat menjadi sarana penegakan hukum yang efektif, adil, dan terpercaya bagi masyarakat.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews
Copy