Seri KUHP Nasional: Nasional Pasif, Asas yang Melintasi Batas Negara

Asas nasional pasif berdasar pada hak suatu negara berdaulat untuk melindungi kepentingan hukum negaranya, meskipun perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh setiap orang di luar teritoral negara berdaulat tersebut.
Ilustrasi KUHP. Foto pinterest.com
Ilustrasi KUHP. Foto pinterest.com

Asas keberlakuan KUHP, baik itu asas teritorial maupun asas nasional pasif, keduanya berfokus pada locus atau tempat dimana perbuatan pidana dilakukan. Namun, keduanya memiliki perbedaan mencolok yakni jika asas teritorial menuntut perbuatan pidana itu dilakukan di dalam wilayah (teritorial) suatu negara yang berdaulat, maka asas nasional pasif adalah kebalikannya yakni mengatur perbuatan pidana itu dilakukan di luar wilayah negara tersebut.

Jika asas teritorial bertitik tolak pada hak suatu negara berdaulat untuk menegakkan hukum demi mewujudkan keamanan dan ketertiban di wilayah negaranya. Maka asas nasional pasif berdasar pada hak suatu negara berdaulat untuk melindungi kepentingan hukum negaranya, meskipun perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh setiap orang di luar teritoral negara berdaulat tersebut.

Pada umumnya, suatu perbuatan pidana yang dilakukan dalam suatu negara akan dituntut oleh negara dimana pelaku melakukan perbuatannya. Akan tetapi, pada kejahatan tertentu untuk menjamin kepentingan suatu negara yang dirugikan, maka negara yang dirugikan tersebutlah yang paling berhak untuk menuntut dan mengadili pelaku kejahatan tersebut.

Asas nasional pasif telah diberlakukan baik dalam KUHP lawas maupun dalam KUHP Nasional. Sehingga bagi setiap orang tanpa memandang kewarganegaraannya melakukan tindak pidana tertentu yang telah diatur secara limitatif dalam KUHP, yang telah merugikan kepentingan nasional Indonesia meskipun perbuatannya dilakukan di luar wilayah teritorial Indonesia. Maka, hukum pidana Indonesia tetap dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kejahatan tersebut. Pada pokoknya asas nasional pasif diberlakukan untuk melindungi kepentingan nasional suatu negara, sehingga asas ini pun sering disebut sebagai asas perlindungan.

Dalam KUHP lama asas nasional pasif dapat dilihat pada Pasal 4 yang menyatakan “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di luar negeri”. yang kemudian secara limitatif diatur pada tersebut terhadap kejahatan berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108, dan 131; suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia; Pemalsuan surat utang atau sertifikat utang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan calon, tanda deviden atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu; Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

Pada KUHP Nasional yang diatur pada Pasal 5 yang berbunyi, “ketentuan pidana dalam undang-undang berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana terhadap kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berhubungan dengan: keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan; martabat presiden, wakil presiden, dan/atau pejabat Indonesia di luar negeri; mata uang, segel, cap negara, materai, atau surat berharga yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, atau kartu kredit yang dikeluarkan oleh perbankan Indonesia; perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia; keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan; keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara Indonesia; keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik, kepentingan nasional Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang; atau warga negara Indonesia berdasarkan perjanjian internasional dengan negara tempat terjadinya tindak pidana.”

Mencermati pengaturan asas nasional pasif baik dalam KUHP lawas dan KUHP Nasional, nampak perbedaan yang mencolok. Meskipun keduanya telah secara limitatif menetapkan perbuatan pidana apa saja yang dilarang, namun pada KUHP Nasional tidak menentukan pasal-pasal secara spesifik yang dapat diberlakukan dengan asas nasional pasif tersebut, berbeda dengan KUHP Nasional yang secara rigid mengatur pasal-pasal apa saja yang diberlakukan.

Menelisik pada penjelasan Pasal 5 KUHP Nasional, memang secara tegas bahwa pengaturan pasal tersebut dirumuskan dengan limitatif dan terbuka, yang berarti ruang lingkup kepentingan nasional yang akan dilindungi ditentukan secara limitatif, tetapi penentuan tindak pidananya tidak ditentukan secara pasti. Jenis tindak pidana terkait dengan perbuatan yang menyerang atau membahayakan kepentingan nasional diserahkan dalam praktik secara terbuka dalam batas yang ditentukan dalam peraturan pidana Indonesia.

Perumusan limitatif terbuka tersebut bertujuan agar memberikan fleksibilitas praktik dan memberikan ruang adanya perkembangan formulasi tindak pidana oleh pembentuk undang-undang di masa yang akan datang. Akan tetapi fleksibilitas tersebut tetap dalam batas kepastian menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Penentuan tindak pidana yang menyerang kepentingan nasional hanya terbatas pada perbuatan tertentu yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan nasional yang dilindungi.

Alasan penerapan asas nasional pasif dalam KUHP Nasional dijelaskan oleh karena pada umumnya tindak pidana yang merugikan kepentingan hukum suatu negara, oleh negara tempat tidak pidana terjadi tidak selalu dianggap sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.

Keberlakuan asas ini tentunya memiliki hambatan-hambatan karena keberlakuannya mengharuskan terlibatnya negara berdaulat lainnya yang sifatnya transnasional. Maka asas ini menuntut adanya kerjasama antar negara dalam penyelesaian suatu permasalahan menyangkut pemberlakuan asas nasional pasif tersebut. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, mengatur bahwa untuk tindak pidana yang bersifat transnasional, diperlukan kerjasama antar negara dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana, akan tetapi pemberlakuan undang-undang tersebut harus pula didukung dengan meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional, di antaranya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters (Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana) yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas lembaga penegak hukum terkait kerjasama bantuan timbal balik dalam masalah pidana, guna mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional oleh Pemerintah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Selain itu adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pengesahan Perjanjian tentang Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss (Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Between The Republic of Indonesia and The Swiss Confederation). Hal tersebut merupakan upaya untuk mendukung keberlakuan asas nasional pasif tersebut.

Copy