Landmark Decision TUN: Hakim Tidak Dapat Menilai Keputusan Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan

Keputusan yang masuk ranah akademis tidak dapat diajukan gugatan dan dinilai oleh hakim atau pengadilan.
Gedung Mahkamah Agung. Foto: dokumentasi MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto: dokumentasi MA

MARINews, Jakarta-Keputusan Rektor menganugerahkan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) tidak dapat dinilai oleh hakim atau pengadilan. 

Seperti itulah kaidah hukum yang terkandung dalam landmark decision dari Putusan Peninjauan Kembali nomor: 79 PK/TUN/2013. 

Majelis Hakim Agung kasasi dalam putusan peninjauan kembali nomor: 79 PK/TUN/2013 ini adalah Marina Sidabutar, S.H.,M.H (Ketua Majelis), Dr. Irfan Fachrudin, S.H., C.N (Anggota), dan Dr. H.M. Hary Djatmiko, S.H.,M.S (Anggota). 

Landmark decisions merupakan putusan pengadilan yang dicadangkan Mahkamah Agung melalui laporan tahunannya untuk dijadikan yurisprudensi untuk kemudian dijadikan acuan dan panduan bagi hakim lainnya jika menghadapi perkara serupa. 

Putusan nomor: 79 PK/TUN/2013 ini telah dijadikan landmark decision dan telah dituangkan dalam Buku Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2023 (Buku Laptah 2023).

Landmark decision 79 PK/TUN 2013 merupakan sebuah putusan yang bertolak belakang dengan putusan judex factie, baik pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding. 

Putusan 79 PK/TUN 2013 bertolak belakang dengan dua putusan terdahulu, yakni Putusan Nomor: 43/G/2011/PTUN.SBY dan putusan Nomor: 18/B/2012/PT.TUN.SBY. 

Sementara itu, landmark decision ini sejalan dengan putusan tingkat kasasi Nomor: 294 K/TUN/2012 tanggal 8 Agustus 2012 yang telah lebih dulu membatalkan putusan tingkat banding.

Objek gugatan dalam perkara ini adalah Keputusan Rektor Nomor: 067/SK/R/III/2011 tentang Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) kepada Alim 
Markus pada 10 Maret 2011.

Dalam gugatannya maupun di dalam Memori PK, para pemohon PK mendalilkan objek sengketa surat keputusan tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemohon PK mendalilkan objek sengketa tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan secara limitatif sebagaimana dimaksud di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 25 ayat (1), ayat (4) jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980 tentang Pedoman Pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) Pasal 2 ayat (1), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1), dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 178/U/2001 tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi.

Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya dalam putusannya Nomor 43/G/2011/PTUN.SBY pada 17 Nopember 2011 memutuskan membatalkan objek sengketa Surat Keputusan Rektor tersebut. 

Keputusan tingkat pertama ini selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya  Nomor: 18/B/2012/PT.TUN. SBY tanggal 6 Maret 2012.

Mahkamah Agung dalam putusan tingkat kasasi Nomor : 294 K/TUN/20012 tanggal 8 Agustus 2012 telah membatalkan putusan judex factie tersebut. 

Pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat banding pada pokoknya menyimpulkan fungsi rektor dalam posisi keilmuan atau substansi akademis tentang kemampuan ilmiah ataupun akademis dari seseorang, tidak dapat dinilai dan dikontrol oleh otoritas di luar Perguruan Tinggi dan mutlak merupakan wewenang serta monopoli otoritas ilmiah.

Majelis Hakim tingkat banding menilai objek sengketa merupakan produk hasil penilaian akademis dari otoritas Perguruan Tinggi melalui sektor, senat universitas, atau senat fakultas ekonomi. 

Otoritas perguruan tinggi itu kesemuanya merupakan badan/organ akademis, di mana penilaiannya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat keilmuan

Oleh karena pertimbangannya bersifat keilmuan, Majelis Hakim tingkat kasasi mempertimbangkan, itu bukan ranah hukum yang dapat dinilai oleh pengadilan. 

Atas dasar itulah, Majelis Hakim menilai keputusan yang masuk ranah akademis tidak dapat diajukan gugatan dan dinilai oleh hakim atau pengadilan. 

Putusan tingkat kasasi tersebut, kemudian dimohonkan peninjauan kembali. 

Mahkamah Agung RI dalam tingkat peninjauan kembali dalam Putusannya Nomor 79 PK/TUN/2013 tanggal 20 Agustus 2013 memutuskan menolak permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK.

Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK) menilai, objek sengketa berupa keputusan penganugerahan gelar doktor kehormatan itu tidak dapat dinilai atau dikontrol di luar otoritas Perguruan Tinggi.

Hal itu dikarenakan keputusan rektor menyangkut penganugerahan gelar doktor berada dalam ranah keilmuan untuk meninjau dari substansi akademis mengenai kemampuan ilmiah dari seseorang.

Oleh sebab, itu Majelis Hakim PK memutuskan hakim atau pengadilan tidak dapat melakukan penilaian terhadap keputusan rektor menyangkut penganugerahan gelar doktor tersebut karena merupakan kompetensi dan otoritas ilmiah dari setiap rektor yang memimpin Perguruan Tinggi.

Atas dasar itulah Majelis Hakim PK memutuskan sejalan dengan Majelis Hakim tingkat kasasi dan menyatakan objek sengketa tersebut tidak dapat diajukan gugatan untuk dinilai oleh hakim atau pengadilan.