Yurisprudensi MA : Korporasi Bebas Pidana Namun Tetap Bertanggung Jawab Perdata Lingkungan

Tanggung jawab mutlak atau Strict Liability merupakan pertanggungjawaban yang dikenakan tanpa menilai adanya kesalahan
Ilustrasi yurisprudensi MA. Foto facebook.com/YMRI.co.id/
Ilustrasi yurisprudensi MA. Foto facebook.com/YMRI.co.id/

 “Tanggung jawab mutlak atau Strict Liability merupakan pertanggungjawaban yang dikenakan tanpa menilai adanya kesalahan, cukup dengan adanya kerugian yang timbul dan ada hubungan kausalitas. Meskipun ada putusan pidana yang memutus bebas atau tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana lingkungan oleh korporasi, namun dalam per kara perdata tetap dimungkinkan korporasi tersebut dimint akan pertanggungjawaban karena sifat kegiatan usahanya yang menimbulkan risiko besar bagi lingkungan hidup”.

Hal itu tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 297 PK/Pdt/2024
 
Duduk Perkara : 

Perkara: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat perusahaan perkebunan kelapa sawit (PT Kumai Sentosa) atas kebakaran lahan seluas 2.358 hektar yang merusak lahan gambut.

Putusan Tingkat Pertama PN Pangkalan Bun Nomor perkara 39/Pdt.G/LH/2020/PN.Pbu:  

Pertimbangan Majelis Hakim: Gugatan KLHK dikabulkan dengan dasar strict liability (pertanggungjawaban mutlak), menghukum Tergugat membayar ganti rugi Rp175.179.930.000,00 ke kas negara dan melakukan pemulihan lingkungan.

Putusan Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nomor Perkara 102/PDT.G-LH/PT.PLK:

Membatalkan putusan Tingkat pertama, Pertimbangan Majelis Hakim:

  • Tidak mungkin Tergugat membakar sendiri kebun sawit yang sudah ditanami.
  • Api berasal dari Taman Nasional Tanjung Puting.
  • Tergugat sudah melakukan upaya pencegahan dan pemadaman.

Peninjauan Kembali Pertama Mahkamah Agung Nomor Perkara 527 PK/Pdt/2023: Membatalkan putusan PT Palangkaraya dan menguatkan kembali putusan PN Pangkalan Bun.

Pertimbangan Majelis Hakim : bahwa strict liability tetap berlaku tanpa memperhitungkan unsur kesalahan; cukup terbukti kebakaran terjadi di lahan Tergugat.

Peninjauan Kembali Kedua Mahkamah Agung: Menolak Permohonan Peninjauan Kembali.

Pertimbangan Majelis Hakim: Tergugat mengenai adanya putusan pidana yang membebaskan tidak dapat membatalkan putusan perdata, karena perdata dan pidana memiliki dasar pertanggungjawaban berbeda. Tergugat tetap dihukum membayar ganti rugi Rp175.179.930.000,00 dan melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup.

Pertimbangan Hukum : 

Bahwa meskipun ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap yang memutus bebas/tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) oleh koorporasi. 

Namun, dalam perkara perdata tetap dimungkinkan koorporasi tersebut dimintakan pertanggungjawaban secara perdata karena sifat dari kegiatan usahanya yang menimbulkan resiko yang besar bagi lingkungan hidup dan masyarakat, sehingga tanggung jawab tetap melekat pada pelaku usaha tersebut tanpa harus membuktikan adanya kesalahan /strict liability sepanjang ada kerugian yang timbul dan kausalitas;