Dalam hiruk pikuk perdebatan hukum, dua kata selalu hadir sebagai poros utama, yaitu kebenaran dan keadilan. Namun, pertanyaannya belum selesai sampai di situ. Apakah keduanya bersifat objektif atau hanya sekadar konstruksi sosial? Apakah hukum benar karena ia adil atau adil karena ia benar? Dari sinilah filsafat ontologi hukum memberi ruang kontemplasi yang dalam tentang makna terdalam hukum sebagai entitas keberadaan.
Ontologi hukum berbicara bukan tentang isi hukum semata, melainkan tentang esensinya. Ia menelusuri apakah hukum itu ada?, dan jika ada, dalam bentuk dan hakikat yang seperti apa. Dalam perspektif ontologi, hukum bukan hanya kumpulan peraturan, tetapi suatu keberadaan normatif yang mengandung nilai-nilai fundamental bagi kehidupan manusia.
Kebenaran hukum dalam perspektif ini, bukan sekadar fakta legal yang dibuktikan secara prosedural. Kebenaran hukum adalah harmoni antara realitas, nilai, dan penalaran. Ia tidak hanya ditemukan di ruang sidang, tetapi juga dirasakan dalam lubuk nurani yang tulus. Kebenaran bukan hasil pengukuran semata, tetapi pancaran dari realitas yang dipahami secara utuh.
Keadilan pun tidak cukup dimaknai sebagai kesetaraan atau distribusi hak. Dalam dimensi ontologis, keadilan adalah perwujudan keteraturan moral yang selaras dengan kodrat kemanusiaan. Ketika hukum tidak selaras dengan keadilan, maka hukum itu kehilangan eksistensinya yang sejati. Sebab hukum bukan hanya harus ada, tetapi harus berarti.
Dalam dunia hukum positif, sering terjadi dikotomi antara fakta dan nilai. Namun, ontologi hukum mengajarkan bahwa keberadaan hukum tak dapat dilepaskan dari nilai. Hukum yang mengatur tanpa mengakar pada nilai kebenaran dan keadilan hanyalah simulakra, bayangan hukum yang kosong dari roh kebaikan.
Hukum sejatinya hidup dalam kesadaran kolektif. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan hadir sebagai bagian dari upaya manusia mencapai kebaikan bersama. Maka, pertanyaan tentang eksistensi hukum selalu bertaut dengan pertanyaan moral, untuk siapa hukum itu berlaku? Mengapa ia harus ditaati? Apa yang membuatnya sah dan bermakna?
Filsafat ontologi mengingatkan bahwa hukum harus bersumber dari nilai transenden. Hukum dapat juga dipahami sebagai bagian dari amanah Ilahi yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Kebenaran dan keadilan tidak hanya dibatasi oleh nalar manusia, tetapi juga disinari oleh cahaya petunjuk dari Yang Maha Adil.
Ketika hukum menyatu dengan nilai kebenaran dan keadilan, maka ia menjadi terang yang menuntun masyarakat menuju keteraturan yang bermartabat. Hukum tidak lagi menjadi alat kekuasaan, tetapi menjadi medium penyucian struktur sosial. Ia membebaskan, bukan membelenggu. Ia membimbing, bukan menyesatkan.
Dalam konteks ini, para pemikir hukum, pembentuk kebijakan, dan penegak hukum perlu memandang hukum bukan sekadar perangkat teknis, tetapi sebagai bagian dari perjuangan etis dan spiritual. Hukum adalah jalan menuju ketenangan sosial yang hanya bisa dicapai jika ia berpijak pada kebenaran dan menjunjung tinggi keadilan.
Kebenaran dalam hukum menuntut keberanian untuk menolak manipulasi dan kepalsuan. Keadilan dalam hukum menuntut kepekaan terhadap penderitaan dan ketimpangan. Keduanya adalah fondasi eksistensial yang membuat hukum layak disebut hukum. Tanpa keduanya, hukum hanyalah struktur kosong yang bisa diruntuhkan oleh angin ketidakpercayaan.
Hukum yang benar dan adil akan meneguhkan rasa aman, membangun kepercayaan publik, dan menyuburkan kebajikan sosial. Sebaliknya, hukum yang mengabaikan makna ontologisnya akan menimbulkan krisis legitimasi yang dalam. Masyarakat akan taat karena takut, bukan karena percaya.
Ontologi hukum membuka ruang refleksi agar hukum tidak semata menjadi teks normatif, tetapi menjadi perwujudan nilai-nilai abadi. Dalam keheningan dan kontemplasi, lahirlah kesadaran bahwa hukum bukan hanya tentang apa yang terlihat, tetapi juga tentang apa yang tak terlihat, yaitu nilai, makna, dan tujuan.
Dengan demikian, hukum yang membawa kesejukan adalah hukum yang dilandasi oleh pencarian kebenaran dan cita keadilan. Dalam ketiadaan dua hal ini, hukum kehilangan jiwanya. Namun ketika keduanya hadir, hukum menjelma menjadi rahmat bagi semesta, menjadi suluh di tengah gelap, dan menjadi pengingat bahwa hidup bersama harus dibangun di atas fondasi kasih dan kebaikan yang hakiki.