Hakim Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) harus mendahulukan keadilan substantif ketika terjadi benturan antara kaidah formal dan kaidah substantif.
Asas personal responsibility merupakan asas penting yang dapat digunakan Hakim Peratun untuk mendahulukan keadilan substantif tersebut.
Kaidah hukum tersebut, terdapat dalam Putusan nomor: 54/K/TUN/2014 yang telah menjadi yurisprudensi dalam lingkungan Peratun dan tertuang di dalam katalog yurisprudensi dengan nomor katalog: 2/Yur/TUN 2018.
Mahkamah Agung juga telah menuangkan kaidah hukum ‘Keadilan Subtantif di atas Keadilan Formal’ di dalam SEMA No.1 Tahun 2017.
Berdasarkan catatan di Direktori Putusan Mahkamah Agung, sudah terdapat dua putusan yang mengikuti kaidah hukum ini, yakni Putusan Nomor: 193/PK/TUN/2017 dan 533/K/TUN/2014.
Kaidah hukum ini lahir dari Putusan Nomor: 54/K/TUN/2014, di mana dalam perkara di tingkat kasasi, pemohon kasasinya adalah Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) dan termohon kasasinya adalah Maizon Hendri (Staf Sekretariat DPRD Provinsi Sumatera Barat pada Sekretariat DPRD Provinsi Sumatera Barat).
Objek gugatan dalam perkara ini adalah Surat Keputusan Kepala Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) Nomor: 077/KPTS/BAPEK/2012 tanggal 6 Juli 2012 berisi Penguatan Hukuman Disiplin atas nama Maizon Hendri sebagaimana tercantum dalam Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor: 862.2.2//3210/BKD-2010, tanggal 31 Desember 2010 berupa Pemberhentian Dengan Hormat Tidak Atas Permintaan Sendiri Sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pemberhentian termohon kasasi sebagai PNS merupakan buntut dari penipuan yang dilakukan oleh termohon kasasi terhadap seseorang bernama Kartini.
Termohon kasasi menjanjikan kepada Kartini untuk memasukkan anak Kartini menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tanpa melalui tes.
Akan tetapi Kartini kemudian diminta untuk mengirimkan uang secara bertahap yang totalnya adalah Rp 30 Juta.
Namun, anak Kartini tidak pernah bisa masuk sebagai CPNS dan perbuatan termohon kasasi akhirnya diadukan ke instansi di mana yang bersangkutan bertugas.
Pemohon kasasi kemudian dalam putusannya bernomor: 077/KPTS/BAPEK/ 2012, kemudian memperkuat Keputusan Gubernur Sumatera Barat yang memberhentikan dengan hormat termohon kasasi.
Namun, di tingkat banding pemohon kasasi dikalahkan karena pemohon kasasi dianggap menyimpangi prosedur dalam menjalankan kewenangannya karena BAPEK (pemohon kasasi) memberikan keputusan melampaui tenggang waktu 180 hari sebagai diatur dalam Pasal 9 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan Kepegawaian.
Dalam permohonan kasasinya, pemohon kasasi mendalilkan Majelis Hakim tingkat banding salah menerapkan hukum dan tidak menggunakan bukti-bukti yang seharusnya dapat digunakan dalam pertimbangan hukumnya.
Majelis Hakim tingkat kasasi berpendapat tidak ada aturan yang mengatur mengenai akibat dari terlampauinya tenggang waktu 180 hari sehingga tidak ada ruang bagi hakim untuk menafsirkan ketentuan Pasal 9 ayat 1 PP 24 Tahun 2011 tersebut.
Majelis Hakim tingkat kasasi lebih menekankan pertimbangan terhadap “asas personal responsibility” dalam mempertimbangkan perkara tersebut.
Asas personal responsibility merupakan asas yang mengajarkan bahwa masing-masing orang atau institusi bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri.
Arti lainnya adalah kesalahan seseorang atau institusi tidaklah menyebabkan orang lain bebas dari kesalahannya sendiri.
Oleh karena itu Majelis Hakim tingkat kasasi menilai, sangat tidak adil apabila kesalahan BAPEK (pemohon kasasi) tidak mengeluarkan keputusan dalam waktu 180 hari membuat termohon kasasi terbebas dari kesalahan dan pertanggungjawaban hukumnya atas pelanggaran disiplin yang dilakukannya.
Berdasarkan asas personal responsibility, menurut Majelis Hakim Kasasi, seharusnya walaupun BAPEK memutus setelah melewati tenggang waktu, judex factie (tingkat banding) seharusnya tetap memeriksa dan memutus substansi pokok perkara tentang pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh termohon kasasi.
Atas dasar itulah kemudian Majelis Hakim tingkat kasasi memenangkan pemohon kasasi karena secara substantif memang termohon kasasi memang terbukti melakukan pelanggaran.
Inilah bagaiamana asas personal responsibility digunakan dalam putusan perkara kepegawaian untuk tetap mendahulukan keadilan substantif ketika keadilan substantif berbenturan dengan keadilan formal.