Neraca Keadilan dan Layar Gawai: Dilema Etis Hakim di Abad ke-21

Hakim harus mendapatkan edukasi yang relevan tentang cara berinteraksi di dunia digital secara etis
Ilustrasi hakim. Foto : Ilustrasi menggunakan Gemini AI Plus
Ilustrasi hakim. Foto : Ilustrasi menggunakan Gemini AI Plus

Hakim memegang peran krusial sebagai penjaga utama keadilan, sebuah posisi yang menuntut kepercayaan dan rasa hormat dari seluruh masyarakat. Jauh melampaui sekadar menafsirkan undang-undang, mereka adalah penentu nasib, pemutus perkara, dan penjamin hak-hak fundamental setiap warga negara. 

Oleh karena itu, posisi mereka haruslah independen, bebas dari segala bentuk intervensi, baik dari pihak eksekutif, legislatif, maupun tekanan publik.

Namun di tengah dinamika kehidupan modern posisi ini semakin rentan. 

Media sosial, arus informasi yang tak terkendali, dan polarisasi opini publik bisa mengikis kredibilitas mereka. Disinilah integritas menjadi pondasi utama yang tak tergantikan. 

Integritas bukanlah sekadar tidak menerima suap, melainkan juga mencakup kejujuran, konsistensi, dan komitmen teguh terhadap prinsip-prinsip moral. 

Integritas adalah benteng yang melindungi seorang hakim dari godaan, prasangka, dan pengaruh-pengaruh eksternal yang dapat mencemari putusan.

Tanpa integritas independensi seorang hakim hanyalah ilusi. Tanpa integritas, putusan yang diambil akan kehilangan bobotnya dan kepercayaan publik akan runtuh.

Di era dimana setiap langkah dan ucapan bisa menjadi sorotan, integritas bukan lagi sekadar nilai tambah, melainkan kebutuhan mutlak. 

Ini adalah harga yang harus dibayar untuk mempertahankan kehormatan profesi dan menjaga keadilan tetap tegak, kokoh, dan tak tergoyahkan.

Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik INdonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Berangkat dari 10 pedoman ini kemudian haruslah senantiasa direlevasikan dengan keadaan modern, termasuk dunia digital. 

Hakim harus mendapatkan edukasi yang relevan tentang cara berinteraksi di dunia digital secara etis. Ini bukan hanya soal menghindari unggahan yang provokatif, tetapi juga memahami nuansa halus dari interaksi daring. 

Misalnya, sebuah "suka" atau "ikuti" di media sosial bisa diartikan sebagai dukungan terhadap salah satu pihak yang sedang berperkara. Tanpa pemahaman mendalam, hal-hal kecil ini bisa merusak kredibilitas dan menimbulkan konflik kepentingan.

Munculnya era digital telah mengubah cara kita berinteraksi dan memandang dunia, termasuk bagi para hakim. 

Ponsel pintar, media sosial, dan internet kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, namun di balik kemudahan ini tersimpan dilema etis yang rumit. 

Peran hakim, yang menuntut independensi dan integritas tanpa kompromi, kini dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menjaga netralitas saat setiap tindakan dan interaksi di dunia maya berpotensi memengaruhi persepsi publik?

Jembatan antara kehidupan pribadi yang terekspos dan tuntutan profesionalisme yang ketat menjadi semakin tipis. 

Sebuah unggahan sederhana, komentar "suka" pada sebuah kiriman, atau bahkan pertemanan virtual dengan pihak tertentu bisa memicu spekulasi dan meragukan objektivitas seorang hakim. 

Opini pribadi yang diungkapkan di media sosial bisa dianggap sebagai cerminan dari putusan di ruang sidang.

Dilema ini tidak hanya tentang menjaga reputasi, tetapi juga tentang mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Jika publik mulai meragukan kenetralan hakim karena jejak digital mereka, fondasi keadilan akan terkikis. 

Oleh karena itu, para hakim di abad ke-21 tidak hanya dituntut untuk mahir dalam ilmu hukum, tetapi juga bijak dalam berinteraksi di dunia digital. 

Mereka harus menyadari bahwa layar gawai adalah perpanjangan dari ruang sidang, di mana setiap tindakan memiliki konsekuensi terhadap martabat dan kehormatan profesi.

Dalam dunia hukum yang terus berkembang, artikel ini hadir dengan tujuan spesifik untuk mengurai persoalan etika yang dihadapi hakim di era modern. 

Dengan pesatnya kemajuan teknologi dan kehadiran layar gawai dalam kehidupan sehari-hari, muncul tantangan baru yang menguji integritas profesi hukum. 

Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana teknologi, terutama media sosial dan interaksi digital, menghadirkan dilema etis yang rumit bagi hakim.

Lebih dari sekadar memaparkan masalah, tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk memberikan panduan praktis dan solusi nyata. Akan diuraikan kiat-kiat yang dapat diterapkan oleh para hakim untuk menjaga keseimbangan yang esensial. 

Keseimbangan ini mencakup bagaimana mereka dapat tetap memenuhi tuntutan profesionalisme dan independensi di satu sisi, sambil menjalani kehidupan pribadi di era digital di sisi lain.

Menghadapi tantangan ini, manajemen diri dan disiplin digital menjadi benteng pertahanan utama bagi setiap hakim. Berikut adalah beberapa kiat praktis yang dapat diterapkan:

1. Digital Detox

Theda Radtke, seorang Health Psychology and Applied Diagnostic asal Jerman menulis dalam jurnalnya yang berjudul “Digital detox: An effective solution in the smartphone era? A systematic literature review” memberikan pemahaman bahwa adanya urgensi mengenai masa rehat dan melepaskan diri dari belenggu sosial media yang adiktif. 

Sama seperti membersihkan berkas fisik yang tidak relevan, hakim perlu melakukan digital detox. Ini adalah proses membersihkan jejak digital yang berpotensi menimbulkan masalah di masa depan. 

Salah satu implementasinya ialah mulai membatasi ruang sosial media, memilah akun-akun yang bersifat personal, hingga arsipkan atau hapus konten yang bisa disalahartikan atau dijadikan bahan spekulasi yang mungkin tidak lagi relevan dengan posisi seorang pengadil. 

Langkah ini penting untuk mencegah adanya "jejak digital" yang bisa disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

2. Kebijakan Privasi Total

Era dimana informasi pribadi sangat berharga, mengadopsi kebijakan privasi total adalah langkah bijaksana. 

Hakim hendaknya membatasi pertemanan atau pengikut hanya pada orang-orang terdekat yang benar-benar dipercaya. 

Dengan cara ini kiranya dapat mengendalikan siapa saja yang memiliki akses ke kehidupan pribadi. Ini juga akan meminimalisir risiko ancaman yang bersifat digital maupun langsung kepada keluarga terdekat hingga dapat menimbulkan prasangka.

3. Berpikir Dua Kali Sebelum Berbagi

Setiap tindakan di dunia maya adalah catatan permanen yang dapat dilihat oleh siapapun, kapanpun. Prinsip "berpikir dua kali sebelum berbagi” adalah “golden thumb rule” yang harus dipegang teguh. 

Sebelum mengunggah foto, status, atau berkomentar, seorang hakim harus bertanya pada diri sendiri: "Apakah ini akan merusak kredibilitas saya? Apakah ini akan menimbulkan konflik kepentingan?Apakah instansi dan satuan kerja akan terdampak dengan perbuatan saya?" 

Menyadari bahwa setiap tindakan, bahkan yang paling sepele, dapat memiliki implikasi besar adalah kunci untuk menjaga integritas.

Dengan menerapkan kiat-kiat di atas, hakim tidak hanya menjaga reputasi pribadi, tetapi juga memastikan bahwa neraca keadilan tetap tegak. 

Manajemen diri di dunia digital adalah bagian tak terpisahkan dari integritas profesional di abad ke-21. Ini adalah komitmen yang harus dijaga agar kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan tidak luntur.

Menjaga neraca keadilan di tengah gempuran teknologi bukanlah tugas yang bisa dipikul oleh satu pihak saja. Ini adalah tantangan kolektif yang harus dihadapi bersama, baik oleh para hakim maupun oleh masyarakat. 

Di era setiap jejak digital terekam, integritas seorang hakim menjadi fondasi yang lebih krusial dari sebelumnya. 

Dengan kesadaran akan risiko yang ada dan tindakan proaktif untuk mengelola kehadiran digital, seorang hakim dapat terus menegakkan keadilan tanpa harus kehilangan integritas di tengah realitas modern.

Pada akhirnya, menjaga integritas di era serba digital adalah sebuah pilihan etis. 

Apakah kita membiarkan teknologi mengikis fondasi keadilan, atau justru kita menggunakannya sebagai sarana untuk memperkuatnya? Pilihan ada di tangan kita.

Penulis: Ahmad Hizam Fajri
Editor: Tim MariNews