Pagi ini di Beijing terasa lebih padat dari biasanya. Tumbler tertinggal di meja restoran hotel, sementara pikiran sudah terbagi antara urusan visa dan exit permit PDLN ke Australia, keberangkatan dijadwalkan hari Minggu, sepulang dari China pada Kamis malam.
Sarapan di restoran hotel pun saya buat sederhana: Pop Mie yang dibawa dari Jakarta, ditemani dua telur rebus, umbi-umbian rebus, dan sedikit sayuran.
Menu praktis yang terasa mewah di tengah padatnya agenda Studi Strategis Luar Negeri (SSLN) Lemhannas RI Angkatan XXVI.

Hari itu, saya bersama rombongan SSLN Lemhannas RI Angkatan XXVI melanjutkan agenda kunjungan ke SenseTime Beijing, perusahaan kecerdasan buatan (AI) terkemuka yang berkantor pusat di Shanghai.
SenseTime dikenal sebagai pionir teknologi AI di berbagai sektor publik dan industri.
Rombongan diterima oleh Zhang Wang, Vice President sekaligus Chairman of AI Ethics and Governance Committee, didampingi Manda Mei dari sekretariat komite tersebut.
Dalam suasana presentasi yang hangat dan interaktif, Zhang Wang menjelaskan bagaimana SenseTime membangun ekosistem AI yang berfokus pada inovasi, etika, dan kebermanfaatan sosial.
Lebih dari 50 persen kota cerdas (smart city) di Tiongkok berhasil berkat dukungan solusi SenseTime, mulai dari sistem keamanan publik berbasis face recognition, manajemen lalu lintas cerdas, hingga analisis data perkotaan secara real time.
Di Shanghai, lebih dari satu juta kamera cerdas beroperasi dalam sistem AI yang mendukung keamanan dan efisiensi tata kelola kota.
Perusahaan ini telah menjalin kerja sama dengan Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Thailand, serta kini mulai menjajaki kemitraan dengan Indonesia.
Pada Juni lalu, SenseTime menandatangani nota kesepahaman dengan Pemerintah Indonesia, disaksikan langsung oleh Wakil Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Dalam sesi tanya jawab, saya melalui Harry Andrian Simbolon, S.E., M.Ak., M.H., QIA, Ak., CA — Vice President Internal Audit Telin PT Telkomsel, menyampaikan pertanyaan mengenai potensi penerapan AI dalam sistem peradilan di Tiongkok.
Pertanyaan tersebut mendapat perhatian besar dan dijawab secara terbuka oleh Zhang Wang:
“Potensi penggunaan AI dalam sistem peradilan di China sangat besar. Namun kami belum mengembangkannya secara penuh, karena ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan, terutama aspek emosional masyarakat. Di China, faktor emosional sangat menentukan proses di pengadilan. AI memang dapat membantu menganalisis data, bukti, dan preseden hukum, tetapi untuk memahami dimensi emosional dan kemanusiaan para pihak, peran hakim tetap tidak tergantikan.”
Sementara itu, Manda Mei menambahkan:
“AI tidak mengenal standar tetap, masa depan bisa diciptakan sesuai kebutuhan dan visi manusia.”
Di dinding depan kantor mereka terpampang kalimat yang kuat maknanya:
“AI for a Better Tomorrow.”\

Sebuah semboyan yang mencerminkan keyakinan bahwa masa depan bukanlah sesuatu yang ditunggu, melainkan diciptakan melalui inovasi dan keberanian berpikir maju.
Jawaban itu menjadi sorotan penting, menegaskan bahwa di balik kemajuan teknologi, nilai kemanusiaan tetap menjadi fondasi utama keadilan.
Zhang Wang menutup pertemuan dengan pesan yang berkesan:
“AI bukan untuk menggantikan manusia, tetapi membantu manusia membuat keputusan yang lebih baik.”
Usai kunjungan ke SenseTime, rombongan SSLN kembali menaiki bus untuk melanjutkan perjalanan menuju Restoran Hong Ding Lou, restoran halal khas Muslim Tiongkok yang cukup terkenal di Beijing.
Langit siang itu tampak biru bersih, udara sejuk, dan suasana kota terasa tenang.
Setibanya di restoran, aroma rempah dan daging panggang khas Xinjiang menyambut hangat.
Menu siang hari ini sama seperti kemarin: nasi, sayuran tumis, tahu, sup jagung, dan daging domba berbumbu kuat.
Percakapan ringan dan tawa kecil mewarnai meja makan, di tengah refleksi mendalam tentang AI dan kemanusiaan yang baru saja dibahas pagi tadi.
Beijing siang itu terasa hangat, bukan semata karena sinar matahari, melainkan karena semangat kebersamaan dan rasa syukur bisa belajar langsung dari negeri yang berpacu dengan masa depan.
Menjelang sore, sebelum kembali ke hotel, saya menyempatkan diri berhenti sejenak di Masjid Zhuhui (Shucun Qingzhen Si), salah satu masjid tua di kawasan Haidian, Beijing.
Udara dingin, langit cerah, dan suasana pekarangan masjid terasa teduh.
Di bawah rindangnya pepohonan, saya berwudu dan melaksanakan salat.
Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan, seolah seluruh perjalanan hari ini menemukan maknanya.
Tulisan ini saya selesaikan setelah salat di Masjid Zhuhui, dengan hati yang lebih ringan dan pandangan yang lebih jernih: bahwa kecerdasan buatan memang penting, tetapi kecerdasan hati tetaplah segalanya.
Hari ini, 11 November 2025, saya menutup catatan ini dari Beijing dengan mengucapkan:
Selamat ulang tahun untuk istriku tercinta di Jakarta, doa dan kasihmu selalu menyertai langkah pengabdian ini.





